Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Telunjuk Abdullah Bagus, 53 tahun, menunjuk pada sebidang kolam, ketika Tempo sampai di salah satu sumber mata air Ciloa, di kawasan Cisitu Indah, Dago, Kota Bandung, Selasa, 12 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kolam itu berada di tengah lahan perkebunan yang ditanami sejumlah pohon loa--di tengah padatnya pemukiman penduduk di kawasan Dago dan Ciumbuleuit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari dasar kolam tersebut air hampir tak pernah berhenti menyembul ke permukaan. Kualitas airnya jernih. Cukup laik untuk digunakan keperluan sehari-hari masyarakat. Dari permukaan kolam tersebut terlihat sejumlah selang yang berfungsi menyedot air dari kolam ke tempat penampungan air.
"Itu seke (mata air) Ciloa. Airnya gak pernah surut-surut," kata Abdullah yang juga merupakan ketua Forum Jaga Seke. Ini merupakan komunitas yang bergerak pada penyadaran masyarakat untuk menjaga seke atau mata air di Jawa Barat.
Di sekitar sumber mata air tersebut terdapat lahan-lahan hijau yang masih terjaga. Terdapat sejumlah tanaman hingga pohon-pohon tua. Di sekelilingnya terdapat pemukiman penduduk dan gedung-gedung apartemen hingga hotel. Meski demikian, kondisi mata air ini masih terjaga dan menghasilkan air bersih, bahkan saat kemarau panjang.
Abdullah menyebutkan, rata-rata mata air di cekungan Bandung masih mengeluarkan air di musim kemarau kendati tidak semaksimal ketika musim hujan. Namun, kondisi tersebut harus dengan syarat kawasan resapan di sekitar mata air masih memadai.
“Kalau musim hujan mata air suka diabaikan. Kalau udah masuk kemarau baru inget,” ucap Abdullah.
Abdullah menyebutkan, Mata Air Ciloa merupakan salah satu mata air di Kota Bandung yang masih menghasilkan air bersih dalam jumlah cukup besar. Mata air ini mampu mengalirkan air sebanyak 10 liter perdetik. Menurutnya, jumlah debet air tersebut cukup untuk 1000 keluarga atau setara penduduk satu kelurahan.
"Kalau mata air asli seperti ini airnya terus mengalir gak terpengaruh musim," ujarnya.
Mata air tersebut kini dikelola oleh masyarakat setempat yang juga dibantu oleh Forum Jaga Seke. Forum ini melakukan gerakan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya sumber air alternatif, yakni mata air atau seke. Mereka pun bergerak untuk mendorong masyarakat agar bisa membuat infrastruktur pendistribusian air dari mata air secara patungan.
"Sebelumnya, sekitar tahun 2000, mata air ini ditemukan oleh mahasiswa ITB," kata Abdul.
Di kawasan tersebut, terdapat sebuah sarana MCK yang airnya bersumber dari mata air. Selain itu terdapat sejumlah tempat penampungan air seperti toren dan galon-galon yang menampung air dari mata air tersebut. Airnya jernih dan dingin.
"Ini air bisa diminum tapi dimasak dulu," kata Abdullah.
Kendati demikian, masyarakat di sekitar mata air belum seluruhnya bisa memanfaatkan sumber air tersebut. Disebabkan infrastruktur untuk mendistribusikan air masih belum maksimal. Terutama untuk mendistribusikan air ke daerah yang lebih tinggi dari mata air.
Selain itu, kesadaran masyarakat untuk patungan membuat infrastruktur pendustribusian air masih kecil. Padahal, untuk membuat jaringan pipa sampai ke rumah warga, setiap kepala keluarga hanya perlu mengeluarkan uang sebanyak Rp 5 ribu-Rp 10 ribu perbulan.
Masalah ini menjadi tantangan bagi komunitas ini. Abdullah menyebutkan, kesadaran masyarakat untuk patungan membuat jalur pendistribusian air masih rendah. Masyarakat malah lebih memilih membeli air dari PDAM, kendati selisih harganya terpaut jauh.
"Masyarakat jadi lebih memilih PDAM karena praktis. Padahal kalau PDAM itu bayar bisa sampai Rp 40 ribu perbulan. Kalau patungan buat pipa paling mengeluarkan uang Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu per kepala keluarga," katanya.
Untuk mendistribusikan air ke rumah warga, Jaga Seke memerlukan sejumlah peralatan. Di antaranya, selang pipa dan mesin untuk mengalirkan air. Apabila jarak rumah warga berada di bawah mata air tentu lebih memudahkan untuk pendistribusian.
"Sulitnya itu kalau rumah warga ada di atas mata air. Itu harus pakai pompa submersible," katanya.
Abdullah mengakui Komunitas Jaga Seke belum bisa menjangkau seluruh mata air yang berada di cekungan Bandung. Berdasarkan data Jaga Seke, mata air yang berada di Kota Bandung saat ini kurang dari 200. Padahal, pada tahun 2000-an awal, mata air di Bandung berjumlah sekitar 400.
"Sekarang setengahnya juga gak ada," katanya.
Sementara itu, berdasarkan data dari ppid.bandung.go.id, jumlah mata air yang tersisa di Kota Bandung saat ini berjumlah 80. Dalam data tersebut disebutkan ada dua mata air yang telah diurug oleh pemilik lahan.
"Belum ada yang menginventarisir dengan baik jumlah mata air di Bandung. Sebab sudah banyak yang ada di lahan-lahan milik pribadi,” kata Abdullah.
Kawasan yang memiliki sumber mata air selalu menjadi titik yang diperebutkan. Banyak pihak pengembang yang mencari kawasan yang mempunyai sumber mata air. Seperti di kawasan Seke Ciloa. Di sekitar seke tersebut banyak berdiri bangunan-bangunan komersial seperti apartemen, hotel dan kost-kostan.
Bahkan, sebagian lahan di Seke Ciloa kini telah dimiliki oleh sebuah perusahaan properti. Perusahaan tersebut sempat akan membangun apartemen di lahan tersebut. Namun, warga sekitar dengan keras menolak rencana tersebut.
“Saat mendengar akan dibuat apartemen warga langsung protes,” ujar Abdul.
Abdul menyebutkan,Forum Jaga Seke selalu melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang memiliki mata air di wilayahnya untuk menjaganya. Salah satu upaya untuk menjaga seke ini adalah dengan mempertahankan kawasan resapan di sekitar mata air. Hal itu sangat penting untuk menjaga neraca air di dalam tanah.
“Yang paling penting dalam menjaga mata air adalah menyeimbangkan neraca airnya. Jadi kawasan resapannya harus bagus,” kata dia.
Selain itu, tantangan warga untuk mempertahankan mata air adalah masalah kepemilikan lahan. Banyak sumber mata air yang kini telah beralih fungsi menjadi bangunan. Ketika itu yang terjadi, Forum Jaga Seke pun tidak bisa berbuat banyak. Karena, lahan tersebut secara hukum sudah dimiliki perorangan.
“Seperti apartemen Jarrdin di Cihampelas itu dulunya mata air,” kata dia.
Namun, apabila ada pihak yang menyerobot mata air milik warga, forum ini kerap melakukan pendampingan kepada masyarakat. Seperti yang dialami oleh warga Desa Sunten Jaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, yang sumber mata airnya hampeir diserobot oleh pengembang agrowisata. Masyarakat Desa Sunten Jaya didampingi Forum Jaga Seke melakukan protes terhadap pengembang tersebut.
“Biasanya kita viralkan agar banyak orang yang tahu dan juga ampai kepada pihak terkait,” ucapnya.
Mata Air Sebagai Alternatif
Abdullah menyebutkan, seke r bisa menjadi salah satu sumber air bersih alternatif untuk masyarakat Bandung. Wilayah cekungan Bandung, ia katakan, merupakan ladang air. Seharusnya masyarakat Bandung tidak perlu khawatir kekurangan air bersih.
Ia mencontohkan salah satu kelurahan di kawasan Dago, Kota Bandung, yang hampir seratus persen warganya menggunakan sumber dari mata air Dago. Warga di sana memanfaatkan Seke Dago dengan cara urunan untuk membangun dan merawat jalur pendistribusian air.
Abdullah mengatakan, ada sekitar tiga mata air yang dimanfaatkan maksimal oleh warganya. Selain Seke Dago, ada Seke Areng dan Seke Cimenyan. Di sana warga memanfaatkan mata air untuk kebutuhan sehari-hari. Sama seperti Seke Ciloa, debet mata air di sana rata-rata 10 liter perdetik.
"Di sana 100 persen masyarakat menggunakan mata air," ujarnya.
Guru Besar Fakultas Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Lambok Hutasoit menyebutkan, cekungan Bandung merupakan wilayah yang memiliki topografi berbukit-bukit. Wilayah seperti itu merupakan salah syarat munculnya mata air.
"Mata air merupakan air tanah yang muncul ke permukaan. Biasanya muncul pada lapisan tanah yang terpotong kondisi topografi yang ada aquifer," ujar Lambok kepada Tempo.
Ia menyebutkan, saat ini pihaknya tengah membantu melakukan penelitian ihwal air tanah di Bandung. Menurutnya, apabila mata air dimanfaatkan secara baik Bandung tidak akan kekurangan air ketika memasuki musim kemarau.
"Tapi sekarang banyak juga mata air yang hilang. Salah satunya disebabkan pengambilan air tanah yang berlebihan," ujarnya.
Ketersediaan sumber air bersih bagi masyarakat Bandung khususnya Kota Bandung semakin berkurang. Saat ini masyarakat Kota Bandung sebanyak 70 persen mengandalkan pasokan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening Bandung.
Kepala Subbidang Humas PDAM Tirtawening, Indra Pribadi menyebutkan, untuk Kota Bandung saja air bersih yang dibutuhkan warga sekitar 6000 liter perdetik. Sedangkan PDAM hanya bisa mengeloah air sebanyak 2600-2800 liter perdetik.
"Masih jauh dari kebutuhan air warga Kota Bandung. Bahkan kalau kemarau bisa 1200-1400 liter perdetik," kata Indra.
Menurutnya, sumber air di Bandung semakin menipis. PDAM memanfaatkan tiga sumber air yakni air permukaan (mata air), air tanah dalam, dan aliran sungai. Dari tiga sumber air tersebut, PDAM masih mengandalkan air dari sungai.
Bahkan salah satu sumber air dari air tanah dalam sudah menghilang separuh. Dari 32 sumber air tanah kini tersisa tak lebih dari 15 titik.
"Sampai saat ini menghilang hampir 50 persen. Penyebabnya Kota Bandung sudah masuk zona merah kritis air," katanya.
PDAM pun masih memanfaatkan mata air sebagai bahan baku air bersih untuk pelanggannya. Sampai saat ini perusahaan pelat merah itu menguasai 15 titik mata air. Dari sejumlah mata air tersebut maksimal menghasilkan 190 liter perdetik.
Apabila aliran air dari mata air tersebut konsisten, dalam sehari bisa menghasilkan 16.416.000 liter air. Apabila satu warga membutuhkan 100 liter perhari, dengan jumlah air tersebut bisa menutupi kebutuhan air bersih bagi 164 ribu orang.
Indra menyebutkan, mata air bisa menjadi salah satu sumber air bersih bagi warga. Namun, kondisinya sumber mata air kini sudah banyak beralih fungsi menjadi bangunan. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk mengembalikan sumber mata air yang sudah dikuasai oleh perorangan.