TIGA ribu sukarelawan itu berkumpul di Desa Winong, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Mereka siap untuk bergerak. "Musnahkan musuh petani. Saya tak mau dengar lagi mereka masih merajalela," ujar H. Haroen Alrasyid, Bupati Trenggalek, memberikan aba-aba. Mereka memang tengah memburu hama kutu loncat yang dalam dua-tiga bulan terakhir melahap hampir 3 juta pohon lamtoro atau petai cina (Leucaena leucocephala) di daerah itu. Setelah dibakar, dahan dan ranting tersebut dipotong. Yang ditinggalkan cuma dahan yang bersih dan serangan si kutu loncat. Laskar yang akhir bulan lalu mulai bergerak di Desa Winong itu merupakan sebagian dari 20.000 sukarelawan yang ada di Kabupaten Trenggalek. Korpri Trenggalek menyumbangkan sekitar 7.000 orang. Selebihnya dari AMPI, pelajar, dan Pramuka. Semangat mereka memerangi hama ini bisa dipahami. Sebab, dengan terserangnya tanaman lamtoro ini berarti sekitar 1,5 juta pohon cengkih di kabupaten itu kehilangan perlindungan. "Tanpa pohon peneduh, produktivitas cengkih bisa menurun," ujar Riono, Kepala Humas Pemda Trenggalek. Apalagi, tahun lalu, berkat cengkih ini Trenggalek berhasil menjadi juara ketiga Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan tingkat nasional. "Perang" serupa terjadi juga di daerah lain. Scjak masuk ke Indonesia pada Januari 1986, hama ini praktis telah menjadi "musuh nasional". Hanya dalam beberapa bulan, kutu loncat (Heteropsylla SD.) telah meloncat hampir ke semua provinsi di Indonesia, kecuali Maluku dan Irian Jaya. Daerah yang terparah terkena serangan adalah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari sekitar 402,4 juta pohon lamtoro yang berdiameter di atas 5 cm, 30%-40% diduga terserang kutu loncat. Serangga berukuran 1,5-2,2 mm ini merusakkan tanaman dengan mengisap cairan tanaman yang menyebabkan pucuknya kering, lalu gugur. Kerusakan utama disebabkan oleh nimfa pada pucuk tanaman yang kemudian diselubungi embun madu. Pucuk daun kemudian melengkung (Jawa: mlungker) dan mengering, lalu mati. Penanggulangan terhadap kutu loncat ini dianggap penting, "Karena tanaman lamtoro ini termasuk tanaman yang mempunyai banyak kegunaan," tutur Prof. Dr. Gunawan Satari, Ketua Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, yang juga mengetuai Tim Kcrja Nasional Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro, kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. Antara lain, untuk mencegah erosi, menambah kesuburan tanah, terutama bahan organik dan nitrogen dan menjadi tanaman peneduh bagi tanaman perkebunan. Daunnya juga bisa dipergunakan untuk makanan ternak, kayu bakar, dan bisa juga sebagai bahan pembuat kertas. "Malah bijinya, kadang-kadang, dimakan manusia untuk dijadikan botok," tambah Gunawan. Untuk melawan "musuh nasional" ini, telah dibentuk Tim Kerja Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro, sejak Juni 1986. Menurut Gunawan Satari, untuk mengendalikan hama ini telah disusun Konsep Pengendalian Terpadu yang sebagian telah dijalankan. Program jangka pendek, yang sudah mulai dilaksanakan, dilakukan dengan menggunakan insektisida. "Pengendalian dengan insektisida dapat dengan cara disemprot atau secara sistemik artinya obat tersebut dimasukkan ke dalam batang," kata Gunawan. Contohnya, dengan takikan: batang disayat atau dilukai dengan parang yang kemudian diolesi dengan insektisida. Atau dengan jalan mengebor batang pohon yang bersangkutan. Cara-cara itu harus diulang setiap empat minggu. Menurut Dr. Ir. Ida Nyoman Oka, Koordinator Subtim Peneliti dan Pengendalian Hama Kutu Loncat, cara takikan dan pengeboran lebih efektif dibandingkan dengan semprotan, karena residunya lebih tahan lama. Sebab, dengan cara ini cairan akan terangkat melalui pembuluh tapis sampai ke pucuk-pucuk daun. Serangga yang mengisap cairan beracun akan mabuk dan mati. Insektisida yang dapat dipergunakan adalah jenis Gusadrin dan Lusadrin, yaitu insektisida yang bersifat monokrofos. Namun, cara-cara itu belum mampu menekan populasi si kutu loncat yang terus bertambah banyak. Oka mengatakan, untuk membasmi hama yang tergolong baru di Indonesia ini, perlu didatangkan musuh alami (predator) dari daerah hama ini berasal. Untuk itu, awal Agustus lalu, Tim Kerja Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro telah mengirimkan tiga orang ahlinya ke Hawaii untuk mempelajari seluk-beluk hama ini. Sekaligus mengambil musuh alami serta varietas-varietas resisten yang telah dikembangkan di sana. Mengapa dipilih Hawaii? Pada awal 1984, Hawaii juga pernah diserbu oleh hama ini dan para ahli di sana mampu mengendalikan dengan bantuan musuh alami dan varietas yang resistan. Musuh alami itu adalah sejenis kumbang dari famili Coccinellidae (ordo Coleoptera), yang disebut Curinus coeruleus Mulsant. Dua pekan lalu, telah tiba di Indonesia rombongan pertama kumbang, yang lebih dikenal dengan sebutan ladybird sebanyak 1.300 ekor. Kumbang sebesar biji kacang hijau dengan warna biru pekat mengkilap ini di Hawaii dikenal sebagai general predator, karena di samping dipergunakan sebagai pembasmi kutu loncat, ia juga dipergunakan untuk membasmi kutu kelapa. Sesampai di Indoncsia, ladybird langsung dikarantinakan di Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Bogor. "Kemampuannya memakan hama kutu loncat sangat memuaskan," ujar Prof. Dr.Ir. Soemartono Sosromarsono, anggota subpeneliti dan pengendalian hama ini. Menurut Soemartono, begitu dilepaskan ke dalam sangkar 60 cm3 ladybird langsung menyantap si kutu loncat yang disediakan. Bahkan, predator yang baru tiba ini langsung menjelajahi dahan-dahan lamtoro untuk mencari mangsa. Namun, musuh alami ini tidak bisa langsung disebarluaskan ke daerah-daerah yang terserang. "Paling tidak diperlukan waktu sekitar tiga bulan, sebelum disebarluaskan," ujar Oka. Predator ini perlu diteliti lebih lanjut. Misalnya, apakah predator ini membawa parasit atau tidak, bagaimana daya tahannya terhadap iklim setempat, bagaimana peri laku kehidupannya, persentase kematiannya, serta aspek biologi lainnya. "Bersamaan dengan penelitian di atas, ladybird juga dikembangbiakkan untuk diperbanyak. Dan nantinya yang akan disebarluaskan adalah turunan kedua (F2) atau ketiga (F3)," tutur Oka, salah seorang peneliti yang berangkat ke Hawaii. Sedangkan induknya tetap akan diteliti di BPTP Bogor, sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bisa ditanggulangi sedini-dininya. HAL itu dibenarkan Soemartono, karena diperkirakan siklus hidup ladybird berkisar antara 3 dan 5 minggu. Untuk pengembangbiakan dan penyebarluasan di daerah, 24 provinsi di seluruh Indonesia telah dipersiapkan. "Tentunya provinsi yang memiliki fasilitas penelitian, seperti Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan," kata Soemartono. Daerah yang menjadi prioritas utama penyebaran predator ini NTT, NTB, Bali, dan Pulau Jawa. Seperti halnya hama wereng, upaya membendung hama ini dilakukan juga dengan mencari varietas lamtoro yang resisten terhadap kutu loncat. Beberapa galur murni yang resisten juga tersedia di Hawaii, seperti, Leucaena leucocephala jenis K 527, 538, 584, 591, 636, 656, dan 658. Selain itu masih ada jenis L. colinsii, L. esculenta dan L. retusa. Tetapi jenis itu masih perlu diteliti kembali untuk pengembangannya di Indonesia. "Keunggulannya, telur kutu loncat jika hinggap di daunnya tidak akan menetas dan nimfa-nimfanya tidak bisa menjadi dewasa," tutur Oka. Di Indonesia sendiri sudah ditemukan pohon lamtoro yang resisten, yaitu jenis Leucaena glaberima. Memang untuk memberantas hama ini secara tuntas tidak mungkin. "Hanya saja, bagaimana menekan populasinya serendah mungkin dengan bantuan musuh alami serta menanam varietas-varietas yang resisten," ujar Oka. Rudy Novrianto Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini