Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cia masuk kampus: sebuah tawaran ...

Cia berusaha menarik calon peminat ke kampus. suka-duka agen cia. ada yang terlibat skandal sekuriti. pengalaman kevin ward dan ann lowell yang dipersiapkan menjadi agen cia. beberapa hambatan merekrut. (sel)

30 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA ingin mengembangkan karier? Bergabunglah dengan CIA! Central Intelligence Agency, dinas rahasia Amerika Serikat yang penuh kontroversi itu? Ya! Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada 1986 ini brosur-brosur "iklan" CIA dibuat lebih lebar dan lebih mengkilat, dan rayuannya pun lebih menakjubkan. Misalnya, "Selain mengumpulkan keterangan-keterangan rahasia sebagai tugas pokok, dinas ini juga berusaha mengubah musuh menjadi sahabat, atau paling tidak menetralisasikannya, melalui operasi-operasi terselubung dengan menggunakan cara-cara politis, psikolois, atau paramiliter." Untuk membuat imbauan ini lebih menggoda, terutama di kalangan anak muda yang merindukan petualangan, dicantumkan pula kalimat-kalimat yang mengingatkan orang pada cerita-cerita James Bond. Misalnya, "Calon-calon yang diterima adalah mereka yang mudah membaur, dan berdisiplin tinggi. Mereka akan mendapat identitas terselubung sehingga tetap tersamar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka akan menjadi kelompok elite dalam dunia yang sangat khusus." Lebih jauh brosur-brosur itu menggambarkan betapa gawatnya tugas yang dipikul orang-orang yang terpilih untuk dinas ini. "Mereka bisa dipanggil pada suatu tengah malam, atau Minggu pagi yang penuh hujan. Mereka bisa diminta meninggalkan sebuah jamuan makan malam, bahkan diperintahkan untuk tidak menghadiri upacara wisuda anak perempuannya. Pertemuan dengan mereka bisa diselenggarakan di taman yang lengang, di meja sebuah kedai minuman, atau di dalam sebuah gudang." * * * Ya! "CIA, seperti halnya perusahaan-perusahaan yang biasa, mulai melangkah melalui brosur-brosur yang didesain untuk menarik calon peminat," kata David Wise dalam tulisannya di The New York Times Magazine, Juni lalu. Wise, pengarang sejumlah buku nonfiksi yang berkisar di sekitar masalah inteligen itu, kemudian menambahkan, "Sekali lagi, CIA menempatkan dirinya tepat di pusat kontroversi." * * * Kevin Ward, 20 tahun, sedang duduk-duduk di kantin Johns Hopkins School of Advanced International Studies di Bologna, Italia. Dengan tak kentara, seorang asing datang mendekatinya. Ward memang sedang menunggu berakhirnya suatu kesempatan berada di luar negeri. "Saya sedang menyantap kue dan cappucino, ketika orang itu datang," katanya mengenang. "Usianya sekitar 30, rambutnya hitam, pakaiannya necis, lengkap berjas dan berdasi." Orang itu menyapa, "Anda Kevin Ward, 'kan? Tidak keberatankah Anda berbicara dengan saya?" Ia kemudian menyerahkan seberkas bahan bacaan, dan bertanya ramah, "Pernahkah Anda memikirkan sebuah karier di CIA?" * * * Tahun 1985 tercatat sebagai tahun dengan sejumlah skandal mata-mata yang luar biasa. Direktur CIA, William J. Casey, misalnya, sampai terlibat "perang" dengan pers tentang ihwal kebocoran informasi. Ia juga mengancam akan membawa ke pengadilan cerita-cerita tentang tingkah laku Amerika Serikat menyadap sistem komunikasi negeri-negeri lain. Sementara itu, dengan komite-komite inteligen Kongres, Casey harus pula "bertempur" membela operasi-operasi terselubung pemerintahan Reagan di beberapa negara. Di tengah kusut masai itulah CIA memberikan prioritas utama pada usaha merekrut anggota-anggota baru. Dalam hal ini, dinas rahasia itu tidak segan-segan bersaingan dengan perusahaan-perusahaan Amerika, mengintip sampai ke pedalaman kampus, untuk mencari bibit-bibit muda yang lulus dengan catatan cemerlang. Di sana-sini, usaha itu dilancarkan melalui promosi, atau langsung menghubungi para calon ke kantin-kantin universitas. Dibandingkan dengan keadaan belasan tahun yang lalu, sikap anak muda Amerika terhadap CIA tampaknya mencatat kemajuan. Setelah era protes dan ingar-bingar itu, para mahasiswa yang sudah menjelang lulus mulai bertanya agak sungguhsungguh perihal dinas rahasia ini. Namun, secara umum, CIA tetap merupakan pilihan yang tidak menarik bila dibandingkan dengan pekerjaan lain yang menjanjikan gaji lebih besar, risiko lebih kecil, dan hak "diakui" di tengah masyarakat. Menjadi agen CIA berarti tenggelam dalam sebuah identitas di bawah tanah. Masih ada hambatan-hambatan lain dalam usaha besar CIA merekrut pendatang baru. Tahun lalu, empat agen CIA -- baik yang bekas maupun yang masik aktif -- terlibat dalam skandal sekuriti. Edward Lee Howard, yang telah dipecat oleh dinas rahasia itu pada 1983, dituduh menjual rahasia-rahasia CIA kepada Rusia. Ia berhasil menghindar dari usaha penangkapan yang dilakukan FBI, dan kini diduga hidup di Uni Soviet. Larry Wu Tai Chin, agen CIA yang lain, dicurigai melakukan pekerjaan mata-mata untuk RRC. Sayang, dari orang ini tidak sempat digali banyak keterangan: ia bunuh diri di dalam selnya. Sharon M. Scranage, seorang kerani wanita pada salah satu cabang terselubung CIA, dinyatakan bersalah karena terbukti memberikan data-data dinas rahasia ini kepada pacarnya, seorang Ghana. Yang terakhir ialah Karl F. Koecher, seorang penerjemah kelahiran Cekoslovakia, yang juga dituduh menjadi ular berkepala dua. Ia ditangkap, tapi kemudian dikirim ke Eropa Timur sebagai bagian usaha Barat membebaskan pembangkang Soviet Anatoly B. Scharansky. Kasus-kasus seperti ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang sistem sekuriti dan personalia CIA. Dengan sendirinya pula, kisa-kisah ini agak merugikan citra dinas rahasia itu dalam usahanya melancarkan program mencari wajah-wajah baru. Suara-suara sumbang terdengar di tengah dengar pendapat dengan panitia khusus Senat, musim panas tahun ini. "Mereka memang berhasil merekrut sejumlah orang baru," kata Senator David F. Durenberger, utusan Partai Republik dari Minnesota. Dialah yang mengepalai panitia khusus itu, dan yang berurusan dengan Casey -- si Direktur CIA mengenai tujuan menyeluruh dinas rahasia itu. "Tetapi tidak selamanya mereka memperoleh orang yang tepat untuk tempat yang tepat." Casey, sebaliknya, bersiteguh mempertahankan mutu program rekrutmen yang dijalankannya. "Standar kami tinggi," katanya meyakinkan. Di dalam standar itu, antara lain, dituntut "akhlak yang luhur" dan "kebanggaan yang besar". Ia kemudian menambahkan, "Mereka ini siap dan terikat pada usaha mencapai hasil yang paling baik." Namun, sebuah sumber panitia Senat mengeluhkan ketidaklayakan para anggota dinas rahasia ini. "Berkali-kali kita dihadapkan pada contoh betapa tidak memadainya lembaga ini bila dibandingkan dengan kebutuhan kita," ujar sumber tersebut. Sebagai contoh, "Di Filipina, kita tidak memiliki cukup banyak agen yang mampu berbahasa Tagalog." Kendati anggota panitia Senat terutama tertarik pada usaha menggali mutu perorangan CIA, pertanyaan-pertanyaan di sekitar masalah sekuriti secara umum akhirnya memang tidak terelakkan. Studi terhadap masalah ini memang dikacaukan oleh beberapa kasus yang tidak populer. Tetapi, di markas besar CIA sendiri, di Langley, Virginia, suasana tampaknya tenang-tenang saja. Sementara itu, mutu dan keamanan sistem intel Amerika Serikat jelas bergantung pada kemampuan CIA merekrut otak-otak paling cemerlang yang baru lulus dari perguruan tinggi. * * * Kevin Ward, tokoh kita di awal tulisan ini, memang sedang digarap oleh CIA. Mahasiswa jurusan politik pada Universitas Johns Hopkins di Baltimore ini kebetulan memang mulai merenungkan masa depannya setelah meninggalkan bangku kuliah. Setelah pertemuan di Bologna itu, ia melayangkan surat lamaran ke alamat dinas rahasia tersebut, dan tak berbalas. Ketika ia menanyak hal ini kemudian, ia memperoleh keterangan bahwa CIA agak enggan main surat-suratan ke luar negeri. September tahun lalu, setelah pulang dari Italia, ia pergi ke Rosslyn, Virginia, di seberang Sungai Potomac dari Washington. Di sana ia melamar pada kantor pendaftaran tenaga kerja CIA di Ames Building. Berbeda dengan markas besar rekrutmen CIA yang sesungguhnya, alamat kantor keagenan ini dicantumkan dengan jelas di buku telepon. "Mereka kemudian menjanjikan sebuah wawancara di Holiday Inn di Rosslyn," Ward mengenang. Wawancara itu berlangsung di ruang sidang di lantai tiga. Petugas pewawancaranya adalah seorang pria yang lebih tua dari orang yang pernah berjumpa dengan Ward di Bologna dulu. Pada usianya yang di sekitar 40, orang itu tampak matang, dengan kepala yang mulai beruban. Ia juga tampak mampu membendung rasa syukurnya mendapat calon anggota baru. Ward sendiri memiliki beberapa catatan menarik untuk lembaga itu. Dilahirkan di Idaho dan besar di Brandon, Florida, di dekat Tampa, anak ini datang dari latar belakang militer. Ayahnya mengabdi empat tahun di Angkatan Laut, dan 26 tahun di Angkatan Udara. Lebih dari itu, Kevin Ward menjadi ketua kelas di SMA, dan lulus sebagai siswa ketiga di antara 1.233 siswa. Catatan pribadinya di Johns Hopkins lumayan bagus, dan dia penggemar olah raga mobil dan menembak tepat. "Menyimak latar belakang Anda," kata agen CIA itu, "Anda seperti memang disiapkan untuk rupa-rupa posisi." Tiga pekan kemudian, Ward menjalani ujian kecerdasan dan ketangkasan sehari penuh di Universitas George Washington. Pada dasarnya, dinas rahasia ini terbagi ke dalam dua bagian: analisa dan operasi. Beberapa pertanyaan didesain untuk menguji keterampilan analisa Ward. Pertanyaan-pertanyaan lain dengan jelas diarahkan kepada potensi anak muda itu sebagai seorang agen rahasia. Ada pertanyaan "Misalkan Anda harus mengambil sesuatu dari laci meja di sebuah bangunan yang terkunci, sedangkan waktu Anda hanya 30 detik apa yang akan Anda lakukan?" Ward menjawab, "Mula-mula akan saya selidiki, apakah bangunan itu dijaga anjing, atau sistem pengamanan yang lain." Pada bulan Desember tahun lalu, Ward lulus dari Johns Hopkins, dan mudik ke kampungnya di Florida. Beberapa kali ia menelepon kantor keagenan dinas rahasia itu, dengan keinginan untuk mengetahui hasil ujian yang telah ditempuhnya. Ia selalu mendapat jawaban, "Anda akan diberi tahu." Akhirnya, dua bulan kemudian, panggilan itu datang. Ia diterbangkan ke Washington, dan diinapkan semalam di sebuah motel. Kepadanya diberikan selembar peta khusus yang menuntun dia ke sebuah bangunan di bagian utara Virginia, beberapa kilometer dari markas besar CIA di Langley. "Di situ terdapat pengawal-pengawal bersenjata, alat pelacak logam, dan semua barang bawaan diperiksa," tuturnya kemudian. Ia diberi semacam lencana tanda pengenal tamu, dan dikawal ke sebuah kantor kecil. "Masuk ke dalam gedung itu, semua orang tiba-tiba berhenti berbicara, dan semua pintu tertutup," ia bercerita. Ia dihadapkan kepada seorang pewawancara, yang mengaku dulu pernah menjadi kepala cabang CIA. "Usianya 50-an, dan ia memiliki tampang militer," kata Ward. Dari wawancara yang kemudian berlangsung, insaflah Ward bahwa dia sedang disiapkan untuk diproyeksikan di Direktorat Operasi -- senjata ampuh dan gelap Central Intelligence Agency. * * * Direktorat Operasi memang pernah menjadi semacam "klub idam-idaman". Tetapi kini keadaannya berbeda. Bahkan pada 1960-an, direktorat ini sudah harus bekerja keras untuk menarik para anggota baru. Kasus Vietnam dan gerakan antiperang membuat CIA sempat menjadi bahan olok-olok di banyak kampus. Pada pertengahan 1980-an, CIA kembali berhasil memancing minat para mahasiswa. Namun, popularitas lembaga itu tidak lagi sebaik ketika di zaman keemasannya. Spion tua itu mengetahui hal ini. Usianya kini mulai menginjak 60-an, wajahnya mulai kusut tapi masih tetap tampak tampan, rambutnya yang hitam pun mulai diselingi uban. Dia mengabdi di Direktorat Operasi ini -- biasanya disingkat DDO -- boleh dikatakan sejak awal. Dia sudah melihat segalanya, dan dia mengenal setiap orang. Meninggalkan dinas rahasia ini sekitar sepuluh tahun yang lalu, ia kini menjadi direktur sebuah organisasi kebudayaan. Sebagian besar anggota organisasi ini tidak mengetahui latar belakang direktur mereka. "Saya mewawancarai dia di kantornya, di sebuah rumah yang akrab di Manhattan's East Side, dengan syarat tetap merahasiakan namanya," tulis David Wise, yang menulis artikel ini. "Di masa lampau," kata orang itu, "hampir setiap kami yang masuk ke CIA ditarik oleh seorang kenalan." Ia tersenyum. "Memang kami diwawancarai, kemudian ternyata pewawancara itu adalah orang yang bakal menjadi atasan kita." Belakangan, para pencari tenaga kerja itu terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang mapan, yang sebagian besar pada masa perang pernah bekerja untuk Dinas Pelayanan Strategis (OSS), cikal bakal CIA. Pada 1947, Kongres menyetujui didirikannya Central Intelligence Agency. Lembaga baru ini segera menjadi tempat berhimpun para anggota Ivy League -- organisasi atletik delapan universitas di bagian timur laut AS. Perang dingin pun mulai, dan orang-orang tadilah, dengan nama-nama seperti Tracy Barnes, Richard Bissell, Frank Wisner, Bronson Tweedy, dan John Bross, pada hari-hari pertama menjalankan roda lembaga itu seperti sebuah serikat rahasia di Yale. "Saya merasa terpanggil untuk mengabdi kepada Pemerintah," spion veteran tadi bercerita. "Ada semacam perasaan bahwa ancaman komunisme sangat nyata di Prancis dan Italia. Rakyat merasakan sebuah kebutuhan untuk bertindak." Dengan latar belakang dan semangat yang cocok, tokoh tadi langsung terjun ke dalam jaringan dinas rahasia ini. Dia datang dari sebuah keluarga Virginia yang tua, yang terbiasa dengan percakapan tentang peristiwa-peristiwa luar negeri di meja makan malam. Pendidikan dan kegemarannya pun bagus. "Tadinya saya berpikir cukup satu atau dua tahun bekerja di situ," katanya. Ternyata, ia mengabdi hampir seumur hidup. Dengan tameng Departemen Luar Negeri, kariernya meningkat sampai menjabat kepala cabang CIA di Timur Tengah, dan beberapa negeri lain. Ia mencatat reputasi sebagai satu di antara perwira terbaik DDO. Namun, zaman pun berubah. Di bawah pemerintahan Jimmy Carter, ketika Central Intelligence berada di bawah pimpinan Stansfield Turner, orang tadi termasuk yang didamprat habis-habisan karena kasus yang kemudian dikenal dengan nama Halloween Massacre, 1977. "Keadaan berubah," tutur spion tua itu. Orang-orang yang mulai uzur diberhentikan dengan berbagai cara, para perwira muda mendapat kesempatan yang lebih luas. "Belakangan ini," katanya, "seorang rekan muda dari CIA mengundang saya makan malam, dan bersama rekan-rekannya mereka berbicara riuh tentang kenaikan pangkat di dinas rahasia itu. Kami tidak pernah mempercakapkan hal-hal seperti itu di tempat terbuka. Sekarang, dinas rahasia itu rasanya kok seperti kantor pos saja." * * * Orang yang mewawancarai Kevin Ward itu hanya memperkenalkan nama depannya. Dia mengatakan, dia sudah bekerja di lembaga itu selama 25 tahun, termasuk 17 tahun di luar negeri. Jika Ward bergabung dengan Direktorat Operasi, pewawancara itu menekankan, ia harus siap untuk menerima sebuah gaya hidup tertentu. "Dia tidak memberi banyak kesempatan," Ward kemudian mengenang. Orang itu mengatakan kepada Ward, "Anda akan mendapat paspor diplomatik, dan bekerja di bawah naungan Departemen Luar Negeri. Anda harus mengatakan kepada teman-teman Anda bahwa Anda tidak jadi memilih CIA, dan sebetulnya lebih tertarik pada Departemen Luar Negeri." Jika dia bertugas ke luar negeri, demikian Ward diberi tahu, ia akan dibantu oleh sejumlah agen. Dia harus melayani agen-agen itu, juga mencari agen-agen baru. Dia harus bekerja empa atau lima jam sehari dalam jabatan "resmi"-nya sebagai karyawan Departemen Luar Negeri. Orang itu pun memperingatkan Ward bahwa ia akan diamati dengan ketat sepanjang waktu oleh pihak lain. "Kita mengamati negeri lain, tetapi sebaliknya, mereka juga mengamati kita," kata pewawancara itu. Kemudian, kepada Ward digambarkan betapa sulitnya posisi itu. "Bahkan bila saya memutuskan untuk menyerahkan posisi ini kepada Anda, tidak akan banyak kesempatan yang bisa Anda gunakan," katanya. "Dibutuhkan sejumlah tes psikologi lagi. Dan taruhlah Anda lulus, tetap saja terbuka kemungkinan Anda ditendang keluar." Di samping itu, "Hidup Anda menjadi penuh risiko, dan selalu seperti teka-teki. Jika Anda bergabung dengan dinas rahasia ini, teman-teman Anda tidak akan menghormati Anda. Secara resmi, Anda akan menjadi karyawan Departemen Perdagangan atau Departemen Luar Negeri untuk sekitar 12 tahun, dengan pankat yang rendah." Pewawancara itu kemudian melirik hasil-hasil ujian Ward. Ia tampaknya tertarik pada jawaban Ward untuk pertanyaan "mengambil sesuatu dari gedung terkunci" itu. "Bagus," katanya. "Anda mampu berpikir dengan pertimbangan-pertimbangan dasar yang masuk akal. Cara itu sangat membantu Anda dalam menghadapi sebuah situasi yang gawat." Namun, ia tampak tidak begitu gembira membaca jawaban Ward untuk beberapa pertanyaan lain. Pertanyaan itu, antara lain, "Apakah Anda suka hidup di dalam kemah, tanpa fasilitas air yang cukup . . ." dan sebagainya. Ward menjawab, ia lebih menyukai hidup yang cerah, dan tidak senang pada samar-menyamar. Orang itu kemudian berkata, "Anda sebetulnya tidak cocok di Direktorat Operasi." Dan Ward menyetujui kesimpulan itu. Wawancara telah berakhir. Pewawancara itu mengatakan, dia akan meneruskan kesimpulannya tentang Ward ke Direktorat Intelligence, bagian analisa dinas rahasia ini, yang lebih dikenal dengan sebutan DDI. Tetapi ia tidak berani menjanjikan apa-apa. DDI membutuhkan orang-orang dengan ijazah kesarjanaan. * * * Operasi rekrutmen CIA dilancarkan dari sebuah kantor berlantai enam di Tysons Corner, Virginia, sekitar 6,5 kilometer dari markas besar dinas rahasia itu. Tak sebuah merk pun tampak pada gedung itu. Baik di depan maupun di lobi gedung, tidak ada sesuatu yang mengingatkan orang pada CIA. Tetapi ada petugas-petugas keamanan yang menghadang jalan siapa saja yang ingin masuk ke ruangan dalam, kecuali para karyawan -- tentu. Pengunjung yang diundang diminta mengisi buku tamu. Para penjaga itu duduk di depan sebuah papan yang penuh lampu aneka warna. Nyala lampu itu memberi petunjuk kepada mereka, tamu mana yang bisa diterima dan harus masuk melalui pintu yang mana. Pokoknya, rapi. Orang yang bertanggung jawab dalam urusan penerimaan tenaga kerja ini ialah John P. Littlejohn, deputi direktur CIA untuk penerimaan dan penempatan tenaga kerja. Ia menempati ruangan 4N20, sebuah kamar berukuran sedang di pojok lantai empat. Kantornya tampak bersahaja, ada meja sidang, kursi meja, dan papan tulis besar di dinding. Toh, tetap ada sesuatu yang mengingatkan orang bahwa ini bukan kantor biasa. Di dekat-dekat tempat berkas surat, tertempel stiker "Rahasia" dalam huruf-huruf besar berwarna hitam mencolok. Di meja terletak buku telepon khusus CIA, dengan lambang dinas rahasia itu berwarna hitam pada kulit mukanya, dan peringatan "Rahasia" yang dicetak dengan tinta merah tebal. John Littlejohn sendiri adalah seorang pria semampai dengan tampang bersahabat, berusia 46 tahun. Senyumnya murah, dan pembawaannya ringan. "Ada orang yang menganggap urusan ini mirip petualangan James Bond," katanya tentang karier di CIA. "Banyak duit, banyak melancong. Kami berusaha memerangi anggapan seperti itu. Bahkan kami tidak tertarik pada persepsi seperti itu." Dalam hal bersaingan dengan perusahaan-perusahaan industri swasta, CIA pasti kalah bila sampai pada urusan gaji dan pendapatan. Seorang yang baru masuk menerima sekitar US$ 20 ribu setahun, dan bisa mengharapkan lebih dari US$ 30 ribu setahun hanya kalau dia mendapat jabatan analis atau menangani kasus selama beberapa tahun masa kerja. Jabatan direktur dalam dinas rahasia ini memberikan gaji sekitar US$ 75.100 setahun, jumlah yang kecil bila dibandingkan dengan jabatan setingkat di sektor swasta. Kalau begitu, di mana daya tarik pekerjaan ini? Mungkin pada faktor "glamour" dan "kegembiraan" seperti yang dibayangkan banyak orang. "Memang," kata Littlejohn, "banyak orang yang menemukan kegembiraan dalam pekerjaan seperti ini. Ada pula orang yang merasa senang, karena bisa mengetahui hal-hal yang tidak boleh diketahui orang lain. Tetapi, dari titik pandang sekuriti, kami tidak sudi menerima orang yang gampang membualkan rahasia. Kegembiraan boleh saja sebagai motivator, tetapi orang-orang di dalam dinas rahasia ini tidak boleh menjadi James Bond atau koboi. Kami hanya tertarik pada orang-orang yang serius." Kendati Littlejohn ngomong begitu, nyatanya ada saja agen-agen CIA yang suka mengumbar rahasia, bahkan khusus untuk musuh bebuyutan lembaga ini: KGB. Littlejohn bukannya tidak peduli pada kasus-kasus spion ganda belakangan ini, atau kemungkinan masuknya agen-agen lawan ke dalam tubuh CIA. Tetapi, menurut dia, soal itu tidak menjadi tanggung jawab bagian penerimaan tenaga kerja. "Itu urusan Seksi Sekuriti," katanya. Ia menambahkan, "Usaha kami terutama diarahkan untuk memperhatikan para pelamar dari usia perguruan tinggi." Dinas rahasia ini, katanya, membuka sepuluh kantor penerimaan tenaga kerja di seluruh AS. Sebuah kantor di Pittsburgh khusus mencari tenaga kerja yang berhubungan dengan pekerjaan tata usaha. Sembilan lainnya bersifat umum. Mahasiswa perguruan tinggi tidak bisa diharapkan memiliki pengetahuan khusus yang istimewa seperti yang dibutuhkan dinas rahasia ini -- betapapun juga. ClA-lah yang kemudian memberikan kepada mereka latihan khusus yang dibutuhkan untuk jenis pekerjaan tertentu. "Kami tidak begitu saja keluar kantor untuk mencari seorang yang ahli menghadapi badai pasir di Sahara," seorang staf CIA menjelaskan. "Kami menyewa para generalis yang mampu bergerak ke segala arah." Bila, misalnya, lembaga ini memerlukan seorang spesialis untuk sebuah proyek yang sangat istimewa, dan mereka tidak menemukan orang yang cocok di dalam rumah tangga sendiri, mereka biasanya menyewa seorang konsultan dari sebuah akademi atau industri swasta. Di masa lampau, CIA tidak pernah tampil terang-terangan di dalam iklan. Dalam persaingan bursa tenaga kerja yang akhir-akhir ini makin ketat, CIA mulai muncul terang-terangan di halaman iklan, tidak jarang bahkan dengan simbolnya yang terkenal itu, kepala burung elang dengan perisai berbintang pecah. Dalam sebuah iklan surat kabar, Maret lalu, CIA menawarkan gaji "dari US$ 22 ribu sampai US$ 34 ribu setahun, untuk seorang pemula." Surat-surat supaya dialamatkan kepada "Jay A. Collingswood, Departemen S, Kamar 4N20", yang mungkin sekali adalah kantor Littlejohn. Yang jelas, "Jay A. Collingswood" itu hanyalah sebuah nama fiksi. Dua tahun yang lalu, ada juga iklan CIA yang memuat alamat serupa. Bedanya, nama pada alamat itu ialah "J.A. Compton" -- yang bila disingkat akan sama dengan nama terdahulu. Nama ini pun besar kemungkinannya hanya fiksi. Kadang-kadang, CIA memasang semacam "cabang" kantor penempatan tenaga kerja langsung di kampus. "Cabang" ini tidak setiap hari dijenguk, biasanya cukup dua kali setahun. Umumnya, para perekrut sudah mendapat bahan masukan tentang siapa saja di antara para mahasiswa yang layak didekati. Apa yang disebut "wawancara pendahuluan" biasanya mengambil tempat di kampus. Tetapi ada beberapa perguruan tinggi, antara lain Harvard, yang tidak bersedia menyediakan tempat untuk keperluan tersebut. Dalam hal ini, CIA membuka sebuah kantor kecil di pusat Kota Boston -- dan mungkin juga beberapa di kota lain. Dalam beberapa kasus, CIA bertindak mendahului dalam mendekati para calon yang diperkirakan bisa berkembang menjadi agen yang baik. Bagaimana mereka memperoleh nama-nama itu, belum seorang pun yang mau bercerita. Kevin Ward, misalnya, sampai saat terakhir tidak mengerti bagaimana dia sampai diincar oleh dinas rahasia itu. Bila wawancara pertama berjalan mulus, para mahasiswa yang diharapkan itu diminta mengisi Daftar Riwayat Hidup yang terdiri dari 12 lembar penuh pertanyaan. Di antara pertanyaan itu terdapat permintaan untuk menyebutkan sanak saudara yang berada di luar negeri, yang mungkin dijadikan sasaran tekanan oleh pemerintah di negeri tersebut. Ada juga pertanyaan apakah calon pernah menggunakan alkohol atau obat bius dan berapa banyak penggunaannya. "Banyak pelamar sekarang ini yang pernah mencoba-coba ganja," Littlejohn menerangkan. "Tetapi, itu saja tidak membuat seorang pelamar serta-merta ditampik." Mengapa? "Pecandu berat tentu saja harus dipertimbangkan dengan saksama. Tetapi kami menilai orang secara keseluruhan. Seseorang yang sekadar mencoba obat bius dalam sebuah pesta yang tak bisa dielakkan, kemudian tidak meneruskan kebiasaan buruk itu, tentu saja harus dipertimbangkan secara khusus." Tetapi, sekali seseorang diterima sebagai anggota CIA, ia dilarang keras menggunakan obat bius. "Minum Martini tentu saja boleh, tetapi menjadi pecandu arak tentu sudah merupakan soal lain," kata Littlejohn. CIA juga menanyakan apakah pelamar pernah terlibat urusan homoseks. Bukan berarti bahwa lembaga ini mengharamkan orang homoseksual. Jadi, ClA-pun mempunyai anggota seperti itu? Littlejohn menjawab, "Saya tak ingat betul." Secara resmi, bab itu disinggung melalui kalimat yang sangat berhati-hati, "Pengidap homoseksual seyogyanyalah tidak digunakan bila hal itu membuka peluang bagi menguapnya informasi-informasi yang berharga sehingga menimbulkan risiko bagi keamanan nasional." Pelamar haruslah warga negara Amerika Serikat, boleh pri maupun nonpri. Dinas rahasia ini tidak menggunakan bekas narapidana. Bagaimana dengan tokoh dunia hitam yang ingin menyumbangkan tenaga? "Saya tidak membayangkan bahwa kami perlu menyewa orang seperti itu," katanya. Pada awal 1960-an, CIA memang pernah menyewa dua orang tokoh berat mafia untuk membunuh Fidel Castro. Dalam istilah CIA, kedua orang itu tergolong ke dalam "tenaga kontrakan". Dan hasilnya pun, seperti jelas diketahui, nol belaka. Sampai hari ini pemimpin Kuba itu masih bernapas segar dan bugar. Lulus dari wawancara pertama, pelamar harus menjalani wawancara kedua, yang lebih terinci. Bila dalam tingkat ini pun tidak terjadi hambatan, mulailah proses pematangan, dan pelamar menjalani pengusutan lapangan yang dilakukan oleh Dinas Sekuriti. Pengusutan ini meliputi seluruh detail riwayat hidup pelamar. Pelamar yang diperkirakan lulus juga diberi tahu bahwa mereka akan menjalani tes poligraf -- sejenis ujian yang sebentar-sebenar kepada yang diuji dihadapkan pada pesawat pelacak kebohongan. Kendati hasil alat itu kini makin banyak dipertanyakan, CIA dan Dinas Keamanan Nasional AS (NSA) tetap saja menggunakannya. Kemudian, pelamar juga menjalani pemeriksaan kesehatan, bahkan pemeriksaan psikiatris untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dibutuhkan paling tidak empat bulan untuk seluruh proses itu, suatu masa yang cukup panjang bila dibandingkan dengan proses melamar pekerjaan ke perusahaan-perusahaan biasa. "Kadang-kadang, sambil menunggu keputusan kami, para pelamar bahkan sempat bekerja di perusahaan lain," kata Littlejohn. Bila semuanya beres, pelamar dimasukkan ke dalam daftar EOD. Artinya, "masuk ke dalam dinas", dan mulai mendapat nafkah. "Dalam setahun, kami memperkirakan harus memeriksa 150 ribu calon," kata Littlejohn. "Tetapi, hanya sejumlah yang sangat kecil yang kemudian berhasil mencapai EOD." Dia tidak mau menyebut angka yang pasti tentang jumlah pelamar yang diterima, sebab jumlah orang dan besarnya anggaran belanja termasuk yang paling rahasia di dinas rahasia ini. Dia hanya bisa mengatakan, "Puluhan ribu pelamar akhirnya terpaksa menggigit jari, karena standar kami sangat tinggi." Tetapi sumber-sumber lain mengungkapkan, lembaga ini memiliki hampir 20 ribu karyawan, dengan anggaran belanja sekitar US$ 2 milyar setahun. Pembunuh dan pemerkosa! Penyiksa dan penumpas! Itulah kata-kata yang bergaung di Universitas di Colorado, Boulder, April 1985. Para mahasiswa bangkit dalam satu aksi protes atas kehadiran para perekrut CIA di kampus itu. Aksi-aksi ini sendiri diprakarsai oleh kelompok yang menamakan dirinya CIA, yaitu Community in Action. Mereka mencela dukungan CIA (yang dinas rahasia) terhadap kelompok pemberontak contras di Nikaragua. Sementara unjuk perasaan berlangsung di luar, di dalam kampus sendiri sebuah tim perekrut CIA sedang mewawancarai sekitar 170 orang mahasiswa. Tim pewawancara ini dipimpin Tom White, yang bermarkas di Denver dan mengepalai kantor-kantor penempatan tenaga kerja CIA di negara-negara bagian di sekitar Rocky Mountain. Mahasiswa pertama yang diwawancarai White pada awalnya memperlihatkan minat yang besar terhadap sebuah karier di CIA. Tetapi, setelah wawancara itu selesai, ia malah berusaha menyandera tokoh dinas rahasia itu. Kelanjutannya sungguh terbalik: dia dan 477 mahasiswa lain langsung diringkus. Musim semi tahun ini, CIA tidak lagi bertandang ke Boulder. Menurut Kevin D. Harris, seorang di antara pengelola unjuk perasaan dulu, ini merupakan kemenangan para mahasiswa. Namun, dari hari ke hari, unjuk perasaan tampaknya makin menjadi langka di kampus-kampus Amerika. Menurut sumber CIA, minat mahasiswa pun bertambah besar untuk bergabung dengan dinas rahasia yang pernah dikutuk itu. Susan Hauser, Direktur Pelayanan Karier di Universitas Yale ikut mengukuhkan, "Minat mahasiswa terhadap CIA meningkat selama 12 tahun terakhir ini. Perubahannya memang tidak dramatis tetapi ada angka kenaikan yang cukup berarti, terutama bila dibandingkan dengan keadaan di pertengahan 1970-an. Di samping itu, CIA juga giat mencari orang-orang baru -- terutama wanita -- dari kelompok minoritas. Dinas rahasia ini, misalnya, ikut menangani 400 pemancar radio di wilayah barat daya Amerika, kawasan dengan penduduk Hispanik dalam jumlah besar. Iklan-iklan CIA juga dicantumkan di koran-koran etnis yang beredar di kelompok-kelompok Ukrainia, Polandia, Kuba, dan lain-lain. Jumlah personel wanita yang bekerja di CIA juga mengalami kemajuan. Pada zaman dia masih aktif, kata Blake, CIA berkali-kali gagal merekrut dan mempromosikan wanita. Tetapi, menurut dia, "Pada masa itu, perusahaan-perusahaan swasta pun mengalami hal yang sama." Ketika ia undur dari lembaga mata-mata ini, 1979, "Kemajuan yang layak dicatat bertambah banyak," katanya. "Dalam masa sepuluh tahun terakhir, sudah ada perempuan yang menjadi kepala cabang atau kepala kantor." Tentu ada sejumlah universitas yang mencatat "reputasi tinggi" dalam menyumbangkan lulusannya untuk CIA. Universitas Yale memang masih tercantum dalam daftar itu, tetapi yang mendapat nilai tinggi ialah Universitas Georgetown, Universitas George Washington, Universitas Maryland, dan Universitas Amerika. Semuanya terletak di kawasan Washington. Untuk mencari contoh khas pencari karier dari Universitas Georgetown, Ann Lowell mungkin bisa dikemukakan. Gadis berusia 21 tahun ini berasal dari St. Louis, dan lulusan senior Sekolah Dinas Luar Negeri Universitas Georgetown. Dia menyebut dirinya "pada dasarnya sangat konservatif". Musim gugur tahun lalu, Ann diwawancarai di kampusnya oleh seorang agen CIA yang memperkenalkan diri sebagai Chris Vorderbruegge. "Orangnya pendek gemuk, berumur 30-an, dengan rambut tipis berwarna cokelat," Ann bercerita. "Ia sama sekali tidak punya tampang James Bond." Gaya berpakaiannya pun tidak senecis para perekrut tenaga kerja dari bank, misalnya. Ann bisa bercerita begitu, karena ia juga pernah berhubungan dengan para pewawancara dari berbagai perusahaan, seperti Xerox, Amex International Inc., perusahaan asuransi, dan sejumlah bank. Ann akhirnya memutuskan untuk tidak bergabung dengan CIA. Mengapa? "Saya tidak suka pada birokrasi," katanya. "Saya juga kemudian merasa tidak tertarik." Di samping itu, salah seorang profesornya mengingatkan, bila ia kelak mencari pekerjaan lain setelah lepas dari CIA, ia akan mengalami kesulitan karena tidak boleh menerangkan di mana ia bekerja sebelumnya. Birokrasi memang menjadi hambatan CIA untuk mencari para lulusan terbaik perguruan tinggi sebagai calon anggotanya. Dalam dua hal, birokrasi dan gaji yang lebih rendah, dinas rahasia itu terus-menerus kalah bersaing dengan perusahaan swasta untuk mendapatkan orang. Sebuah contoh bagaimana birokrasi menjadi penghalang diceritakan oleh Allan E. Goodman, pembantu dekan Sekolah Diplomat Georgetown, yang bekerja di CIA selama pemerintahan Carter. "Ketika saya masuk bekerja, masih ada keyakinan pada orang-orang itu bahwa pekerjaan mereka penting," tutur Goodman. "Pada akhirnya, birokrasilah yang bicara. Bila ada soal-soal penting hanya orang-orang penting pemerintah yang berhak menanganinya, karena begitulah peraturan mengatakan. Nah, pada 1960, tak ada lagi pertanyaan apakah kami penting. Ketika ada masalah besar, yakni Cina menyerbu Vietnam di musim dingin 1979, orang-orang di kantor CIA saling bertanya, 'He, apakah kami benar-benar penting?' " Untuk diterima di CIA seseorang harus menjalani tiga tahun masa percobaan. Mereka yang beruntung akan diterima di kelompok yang disebut Career Trainees, grup elite yang sebagian besar anggotanya dipersiapkan untuk Direktorat Rahasia. Kelompok Career Trainees atau CT dilatih di sebuah "perkebunan" seluas 10.000 are, terletak di sisi Camp Peary, dekat Williamsburg, Virginia. Di situlah mereka belajar, antara lain, membuka dan menutup kembali surat-surat tanpa meninggalkan bekas, membuka dan mengunci kembali segala jenis kunci dan gembok. Meski John Stockwell dan beberapa pimpinan CIA yang lain sudah pernah menulis tentang perkebunan itu dengan detail, Littlejohn menolak mengakui adanya. "Perkebunan apa?" katanya. Perkebunan itu dalam buku Angkatan Laut disebutkan sebagai tempat "Pusat Percobaan Angkatan Bersenjata". * * * Mereka yang jelas-jelas tampak bekerja di kantor CIA memang diizinkan menyatakan sebagai karyawan CIA. Bahwa seorang atasan yang dirahasiakan memberikan pekerjaan-pekerjaan rahasia kepada mereka, ini tetap rahasia. Teorinya, seorang agen rahasia tak diizinkan memberitahukan tugas-tugas rahasianya kepada keluarganya. Tapi, kata Littlejohn, "Kami akui bahwa sejumlah informasi akhirnya diketahui juga oleh suami atau istri mereka." Hal-hal rahasia itu memang selalu jadi masalah. Salah satu sebabnya, anggota agen rahasia cenderung tinggal berkelompok. Ini menimbulkan masalah bila para atasan yang dirahasiakan dan yang tidak berkumpul jadi satu. "Selalu ada risiko," kata Littlejohn pula. "Seseorang menegur mereka yang dirahasiakan itu, 'Okey, Joe, kita bertemu besok Senin'." Selain yang gawat-gawat ada pula yang sedikit lucu. Di antara para agen senior CIA banyak yang suami-istri. Suatu ketika, beberapa tahun lalu, seorang agen wanita analis untuk Portugal dibangunkan dering telepon pada pukul 2 malam. Seorang agen operasi berbicara. Selesai pembicaraan, si penelepon menanyakan apakah wanita itu tahu nomor telepon seorang analis Angola. "Tunggu sebentar, ia ada di samping saya," jawabnya, sambil memberikan pesawat telepon kepada orang yang tidur di sampingnya, yakni suaminya. Bisa dimaklumi, dalam lingkungan agen rahasia, perceraian dan alkoholisme tercatat lebih tinggi daripada angka rata-rata nasional. Itu disebabkan oleh kehidupan mereka yang selalu dalam suasana ketegangan. Tapi angka bunuh diri sedikit di bawah rata-rata. Mempunyai pekerjaan yang sebenarnya palsu sering kali menolong para agen rahasia dalam jangka panjang. Melvin Beck, seorang agen yang bertugas di Meksiko di tahun 1960-an, hidup sebagai seorang penulis. "Saya benar-benar menulis beberapa novel," kata Beck. "Novel picisan, memang. Tapi saya pikir jalan ceritanya menarik. Boleh disebut novel detektif." Ia mengirimkan karya-karyanya kepada sejumlah penerbit, dan semuanya dikembalikan setelah ia pensiun. Novel-novel itu tak pernah terbit. Demi kerahasiaan, tak jarang CIA sendiri mengorbankan agennya yang telah bertugas bertahun-tahun. Ini sebuah contoh. Selama 1960-an, James J. Angleton, seorang agen dengan jabatan kepala kontraspionase, mengirimkan informasi-informasi penting yang diperolehnya dari Anatoli Golitsin, agen Soviet yang menyeberang. Antara lain Golitsin memberikan informasi bahwa seorang agen CIA yang bicara bahasa Rusia dan ditempatkan di Berlin sebenarnya adalah tikus KGB. Maka, Paul Garbler, bekas penerbang pesawat pengebom Angkatan Laut pada Perang Dunia II, dicurigai. Ciri-ciri Gabler memang cocok dengan yang diuraikan Golitsin. Ia lalu, secara tiba-tiba, dipindahkan ke cabang yang terkucil selama sembilan tahun termasuk empat tahun bertugas di Kepulauan Karibia. "Di sana memang berlimpah rum dan cahaya matahari, tapi tak ada seorang Rusia pun," kata seorang rekannya. "Mereka benar-benar telah menghancurkan kariernya." * * * Ada banyak risiko dalam pekerjaan ini. Di sebuah dinding marmar putih di lobi kantor pusat CIA, terdapat 49 ukiran bintang. Itu untuk memperingati mereka yang gugur dalam menjalankan tugas. Belum terbilang yang kemudian tertangkap dan disiksa. Tapi sementara itu iklan-iklan CIA mencari anggota, tak menyebutkan secara jelas risiko pekerjaan ini. Dalam iklan hanya disebutkan, pekerjaan yang "sedikit lebih berbahaya daripada pekerjaan polisi dan anggota pemadam kebakaran di sebuah kota besar." Mungkin itu cara untuk lebih banyak mendapatkan calon. Sebab, di tahun 1970-an, sulit sekali mencari pengganti para agen rahasia yang pensiun. Ketika itu CIA memang tidak populer. Menyadari itu, bos CIA William Casey dalam laporan tahunan rahasianya yang ditujukan kepada Senat menyatakan bahwa rekrutmen anggota adalah prioritas utamanya. Ia menjanjikan bahwa orang-orang itu akan dipilih lewat "satu seleksi yang paling ketat, salah satu yang pernah ada." Itu termasuk "penyelidikan masa lalu calon, 15 tahun ke belakang." Dan tambah Casey, mereka, para calon itu kemudian, harus hidup "sepenuhnya anonim dalam banyak hal ...." Tapi ketidakbolehan muncul di publik bisa juga menimbulkan masalah lain. John Blake, bekas wakil direktur CIA, punya pendapat. "Coba, kamu bekerja untuk satu jangka yang sama dan bila kamu di Angkatan Laut mungkin sudah berpangkat wakil komandan, atau letnan jenderal di Angkatan Darat, atau seorang menteri terhormat di pemerintahan," kata Blake. "Memang, kamu mungkin sudah diangkat menjadi seorang kepala cabang CIA. Tapi seorang menteri melaju dengan mobil berbendera Amerika, dan seorang komandan memiliki sulaman emas di topinya. Lalu apa yang kamu banggakan? Anakmu mungkin akan bertanya, 'Pak, ayah si Billy sudah letnan jenderal. Bapak bagaimana?' Ada orang-orang yang bisa memikul beban ini, ada yang tak tahan, tentu." * * * Bagi Kevin Ward, bekerja di CIA hanyalah satu pilihan di antara beberapa pilihan. Ia pun melamar kerja di sebuah sekolah hukum, di beberapa kantor dagang, di beberapa bank besar, dan di sebuah firma pialang yang besar. Akhirnya, pekerjaan di bidang politiklah yang paling menarik baginya. Juni lalu ia mulai bekerja menyiapkan kampanye buat Bob Graham yang mencalonkan diri menjadi anggota Senat dari Florida. Tapi hanya ClA-lah, dari banyak kantor dan lembaga yang mengetes Ward, yang kemudian memberikan peringatan. Dinas rahasia itu minta, kata Ward, agar melihat lagi berkas-berkas lamarannya (ke CIA) dan "menghancurkan semuanya saja yang ada nama CIA di situ."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus