SENI lukis kita subur bagi bentuk-bentuk terpiuh (terdistorsi) dan tersarikan (terabstraksi). Bagi garis ekspresif dan sapuan beremosi. Dan, dalam dasawarsa terakhir ini, bagi barik (tekstur) yang "hangat" dan bentuk-bentuk yang tidak mengacu pada obyek-obyek alam nyata. Di tengah tamasya lukis demikian, Dede Eri Supria, 30 tahun, terasa memberi kesegaran dengan kebeningan karyanya. Penglihatan kita tidak tertawan oleh garis, sapuan warna, dan barik pada permukaan bidang lukisan, melainkan tembus langsung kepada obyek (orang, benda-benda) yang dicitrakan. Seperti dalam foto dan Dede memang memanfaatkan fotografi sebagai alat bantu melukis. Ia bahkan melanggar tabu yang ditegakkan para pelopor seni lukis modern kita: tipu mata. Alam Benda mengecoh penonton, lalu menegangkannya antara dua tanggapan. Di satu pihak: pcnglihatan yang meyakinkan bahwa penggaris dan karton dalam lukisan ini adalah benda-benda nyata yang ditempelkan dan ditata dengan bagus. Di pihak lain -- sesudah dengan sikap ragu penonton mendekatinya dan mungkin merabanya: pengetahuan bahwa semua itu hanyalah cat yang dioleskan pada bidang rata. Ketegangan itu menyenangkan bagi penonton kebanyakan. Mercka yang high minded dan fanatik dengan salah satu doktrin modernisme akan mengerutkan kening dan menganggapnya sebagai suatu macam apa-apaan. Hanya dalam satu lukisan itu Dede mendorong salah satu kecenderungannya sampai ke ujung. Sebab, ia mempunyai beberapa kecenderungan lain. Misalnya membangun ruang. Dalam sejumlah lukisan Dede, yang dapat melihat dua atau lebih citra tempat dijajarkan dengan melebur batas-batasnya, tanpa meletakkannya dalam satu koordinasi perspektif, sehingga orang sadar mcnghadapi tata ruang yang berbeda. Penglihatan orang dibawa dengan cepat melompat dari satu tempat ke tempat lain. Perhatikan lukisannya yang monumental, Kisah Kaum Urban dan Potret Kota Besar (250 x 900 cm). Dengan cara itu ia menghasilkan padanan bagi salah satu pengalaman orang, terutama pendatang, di kota besar seperti Jakarta: kecepatan bergerak dan pengenalan berbagai tempat di kota tanpa kemampuan koordinasinya dalam pikiran (Jakarta adalah belantara, kata orang). Dede memang pelukis pengalaman kota. Dan kota, baginya, adalah ruang yang terbagi-bagi, tersekat-sekat, sampai rumit membingungkan, dan menekan perasaan. Pancang, tiang, pagar, dinding, yang kehadirannya dalam lukisan-lukisan Dede mencolok mata setiap penonton, mempunyai fungsi bukan saja memberikan irama dan dinamika, tetapi juga untuk membagi-bagi dan menyekat-nyekat. Dan orang terperangkap dalam labirin itu -- situasi yang dilukiskan dengan bagus dalam Ibu dan Anak di Antara Labirin dan i Balik Seribu Jendela. Dalam lukisan yang kedua itu, jendela memungkinkan kita melongok, tetapi kita melihat punggung: orang-orang anonim, atau bahkan hanya fragmen orang, yang satu terkucil dan yang lain. Dan mereka, orang-orang dalam lukisan Dede, adalah orang-orang dari kelas sosial bawah. Menggambarkan rakyat jelata di kota -- para pendatang dari desa -- ini juga kecenderungan Dede. Dalam salah satu lukisannya, sebagian dari rakyat jelata itu tampak meninggalkan lingkungan buatan yang sedang dibangun -- konstruksi raksasa yang tidak mereka pahami, apalagi miliki -- agaknya untuk hidup di pelosok lain negeri ini (Menuju Tanah Harapan). Barangkali hanya kanak-kanak dapat gentayangan menakjubi kota seperti mengasyiki perayaan atau keramaian bcsar (Anak-Anak Jakarta 11). Dede paling baik jika berhasil memadukan berbagai kecenderungannya itu, dan jika menggali pengalaman hidup yang nyata. Jika tidak, ia hanya membuat deskripsi hambar tentang orang kecil (misalnya Penjaga Pintu Kereta), atau mengada-ada. Begitulah, menggabungkan citra bangunan pengeboran minyak dengan potret orang-orang Budi Utomo, atau dengan potret Diponegoro, atau dengan demonstrasi 1966 dan patung-patung pahlawan revolusi, atau dengan fragmen foto Proklamasi Kemerdekaan (Seri Pengeboran Minyak), menyebabkan orang bertanya-tanya, mengapa pengeboran minyak harus dilihat demikian patriotik. Sayang. Tiga puluh tujuh lukisan Dede hanya terpajang dari tanggal 19 petang sampai dengan 22 Agustus di Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dengan pameran kilat begini, sponsor (PT Meta Epsi Drilling Company) tidak cukup memberi kesempatan bagi banyak orang, terutama dari luar Jakarta, untuk melihat karya-karyanya. Dan dengan begini, misi budaya pameran ini tidak maksimal terlaksanakan. Dan sayang: lampu sorot yang dipasang terlalu dekat ke lukisan, dan rangka-rangka kayu penggantung lukisan (eksperimen ini sendiri menarik), yang terlalu besar dan kasar, mengganggu penglihatan. Sanento Yliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini