Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI di Mustika Tigaraksa selalu datang kalah cepat diban-ding-kan lalat. Ketika matahari masih berselimut malam, puluh-an, mungkin juga ratusan, binatang pemangsa sampah itu sudah menyambangi rumah-rumah di kompleks perumahan yang ada di Kabupaten Ta-ngerang itu. Dari gunungan sampah di pojok kompleks itu, makhluk bersayap ini menyebar. Ada yang hinggap di ha-laman, ada juga yang menyusup sampai ke meja makan. Semuanya berdengung-dengung.
Inilah yang bikin geram penduduk di sana, tak terkecuali Agus Surono. Karena melimpahnya lalat, lelaki itu malah punya ”hobi” baru sejak tinggal di sana: selalu menyalakan lilin atau obat nyamuk (karena tak ada obat lalat) untuk meng-usir lalat-lalat nakal. ”Namun tetap saja lalatnya tidak berkurang,” katanya.
Kalau kekesalan sudah memuncak, Agus pun mengeluarkan senjata pa-mung-kasnya: membakar sampah yang menggunung di bak penampungan, yang ja-raknya sekitar setengah lapangan sepak bola dari kompleksnya. Manjur sih, walau cuma sebentar. Sepekan kemudian, sampah akan menggunung lagi di bak penampungan. Dan lalat-lalat kembali berpesta.
Tapi itu cerita lama. Kini Agus dan warga seblok sudah plong. Musuh bebuyutan mereka, lalat, sudah jauh melorot jumlahnya. Bau busuk sampah yang menjadi sohib karib sehari-hari juga meng-hilang. Itu semua berkat tukang ojek sampah yang saban hari mengita-ri- Mustika Tigaraksa, kompleks seluas hampir 50 hektare. Pria-pria perkasa itu datang dengan sepeda motor beroda tiga. Bagian belakang sepeda motor itu disulap menjadi gerobak sampah-. -Cukup angkat telepon, tukang ojek sampah akan tiba mengambil sampah dan membawanya ke tempat pengolahan. Sampah hilang, lalat pun lenyap.
Ojek sampah dan pengolahan sampah terpadu itulah ide brilian Mustika Tigaraksa, setelah empat tahun selalu didera sampah dan lalat. Ide itu lahir ketika sukarelawan Bina Ekonomi Sosial Terpadu (BEST), lembaga nirlaba pencinta lingkungan hidup, datang ke kampung itu. Mereka memutar otak: bagaimana caranya melenyapkan sampah dari 1.687 rumah di kompleks itu dengan murah. Tercetuslah ide mengubah sampah menjadi kompos dan biogas—rumus yang sudah lumrah di buku-buku lingkungan hidup tapi sangat jarang dipraktekkan.
BEST menggandeng warga dan pe-ngembang permukiman Mustika Tiga-raksa. Pengembang perumahan me-nyediakan lahan seluas 1.000 meter, sedangkan BEST mendanai pembuatan konstruksi bangunan berkerangka besi dengan luas 324 meter persegi. Lembaga itu juga mendapat bantuan dari Bremen Overseas Research and Development Association (Borda) dari Jerman. Adapun warga punya kewajiban enteng, yakni bayar iuran sampah Rp 4.000 per bulan untuk biaya operasional ojek motor dan menggaji enam pegawai.
Hampir setahun beroperasi, program ini ternyata mulus. Sampah hilang, la-lat tiada, dan malah didapat kompos ser-ta biogas. ”Lingkungan jadi ber-sih,” ujar Agus, karyawan se-buah bank di Tangerang, yang tinggal tak jauh dari bak penampungan sampah.
Pengolahan sampah di Mustika Ratu sebenarnya sederhana saja. Sampah di-pilah menjadi tiga bagian. Sisa-sisa da-pur dan sampah organik akan diolah menjadi kompos dan biogas. Botol, plastik, kertas, dikumpulkan untuk dijual ke pemulung. Sedangkan sampah yang tak bisa dijual dan tak bisa diolah, seperti batang pohon baru, dibuang ke tempat pembuangan akhir. Metode ini ternyata bisa mengurangi sampah 40-60 persen.
Untuk mengubah sampah organik men-jadi kompos, mereka tak mengguna-kan teknologi muluk-muluk. Cukup disiram air gula, diangin-anginkan selama sebulan. Air limbah sampah (lindi) ditampung dan diolah menjadi biogas. Lumayan, ”Bisa untuk masak air,” kata Wahyudin Lubis, pengawas pengolahan sampah di kompleks itu.
Awalnya, ada usul untuk mendatangkan mesin pengolah sampah yang harga-nya sekitar Rp 500 juta. Namun, Hamzah Harun Al-Rasyid, Direktur BEST sadar warga Mustika Tigaraksa umumnya pegawai rendah dan buruh. Karena itu dicari sistem yang murah meriah dan ternyata tokcer. Hanya dengan iuran setara dengan semangkuk bakso, pabrik pelumat sampah bisa bergulir.
Untung Widyanto, Ayu Cipta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo