Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bukan Simsalabim Abrakadabra

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGELOLAAN sampah secara gotong-royong tak hanya ada di Tangerang. Jakarta, kota yang selalu menghadapi- masalah laten: sampah, juga punya model pengelolaan serupa. Teladan itu ada di Banjarsari, Kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan. Inilah potret kampung pertama yang sukses mengelola sampah hingga mendapat penghargaan dari United Nations Development Programme (UNDP).

Di kampung ini, di setiap rumah, sampah sudah dipilah-pilah. Ada dua jenis sampah: organik (yang mudah didaur ulang oleh alam seperti sisa masakan, dedaunan) dan anorganik (yang sulit didaur ulang seperti gelas, botol, kertas). Sampah organik diolah sama-sama menjadi kompos dengan bantuan cacing. Yang tak bisa didaur ulang cepat, dibuang atau dijadikan barang-barang kerajinan.

Kampung yang terdiri atas delapan RT (rukun tetangga) dengan 294 kepala keluarga itu juga terbiasa bergotong-royong- membersihkan saluran air dan pekarangan sehingga- tak ada sampah yang berserakan. Selokan yang membelah kampung ditutupi beton dan di atasnya diletakkan pot-pot berisi aneka kembang dan tanaman obat.

Banjarsari yang ijo royo-royo itu awalnya dimulai oleh Harini Bambang, 59 tahun. Sembilan tahun lalu, perempuan ini berkampanye di kampungnya dan membentuk Kelompok Wanita Tani ”Dahlia”. Usahanya tak sia-sia. Pada 2000, Banjarsari meraih juara nasional lomba penghijauan dan konservasi alam. Harini pun dinobatkan sebagai penerima Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan.

Keberhasilan itu juga menular jauh ke Surabaya di Kelurahan Jambangan. Jambangan adalah kawasan tepi Kali Surabaya, anak Sungai Brantas. Dalam empat tahun ter-akhir, dengan bantuan PT Unilever Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat, Jambangan memerangi sampah.

Namun, teknik pengolahan sampah mereka berbeda. Di Jambangan, sampah organik diolah dalam alat yang ber-nama composter. Composter ini adalah drum plastik. Sampah organik ditumpuk di drum ini selama sebulan hingga jadi kompos. Yang tak mampu beli alat seharga Rp 250 ribu itu bisa menggunakan composter umum ukuran 1.250 meter persegi, yang sanggup mengolah 200 kilogram sampah.

Sampah anorganik yang bisa didaur ulang dikumpulkan dan dibawa ke dapur kerajinan tangan yang mulai ramai di desa itu. Ada yang mengubah botol plastik minuman kemas-an menjadi tudung saji. Bekas bungkus permen dijadikan pem-bungkus telepon genggam. Plastik pembungkus deterjen dan pewangi pakaian dijadikan dompet. Sedangkan kain-kain perca dijahit menjadi spanduk.

Sebagaimana di Banjarsari, perubahan di Jambang-an- juga diawali oleh ibu-ibu PKK. Merekalah yang getol mengkampanyekan program itu di sekolah, pengajian, serta berbagai kesempatan. Kepala Desa Jambangan, Nanang Widodo, mengatakan, perubahan itu bukan simsalabim abrakadabra alias jadi dalam sekejap mata. ”Kami ketuk hati mereka pelan-pelan,” kata dia.

Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus