Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR Cihaurgeulis adalah pasar yang murung belakangan ini. Tak banyak celoteh pedagang. Bau segar sayur-mayur dan ikan juga menghilang. Aroma dupa malah menyebar hingga ke sudut-sudut pasar. Dengan wajah ditekuk, para pedagang sejak pagi tanpa senyum dan menebar garam di depan kios mereka.
Cihaurgeulis sedang melawan dengan dunia gaib? Eit, nanti dulu! Dupa dan garam hanyalah senjata pengusir bau dan lalat. Pasar yang biasanya riuh rendah kini dirundung masalah sampah. Sejak bulan lalu sampah menggunung di depan pasar itu. Tak ada petugas keber-sihan yang mengurusnya. Bau busuk- me-nyebar dan belatung menggeliat menuju kios. Gara-gara sampah, ”Penghasilan saya berkurang 70 persen,” kata Ratna-, pedagang kelontong yang kini selalu ber-jualan dengan masker di wajahnya. Beberapa rekan Ratna yang tidak kuat melawan sampah malah memilih cuti berdagang.
Yang juga ketiban sial karena onggok-an sampah adalah Tursida. Kepala Sekolah SD Negeri Babakan Sentral I itu kini selalu waswas sejak sampah terus membukit di tempat penampungan sementara yang cuma berjarak 10 meter dari sekolahnya. Maklum, hampir setiap hari ada saja muridnya yang pulang cepat sebelum jam pelajaran usai. Karena sampah, ”Anak mual, pusing, demam, hingga muntah-muntah,” ujarnya sedih.
Banjir sampah itu tak hanya terjadi di Cihaurgeulis dan Babakan, melainkan- di seantero Bandung. Di Tamansari-, di jalan-jalan protokol seperti Dago, berkarung-karung sampah dibiarkan menumpuk di tepi atau pembatas jalan sejak April lalu. Tak ada petugas kebersihan yang mau mengambilnya. Alhasil-, di tempat pembuangan sementara sampah-sampah menggunung, rata-rata ting-gi-nya mencapai empat meter. Ini yang membikin warga kesal.
Saking jengkelnya warga, ada yang menempelkan selebaran-selebaran di angkutan kota. Isinya penuh dengan sinisme seperti: ”Rubbish van Java” (plesetan dari Paris van Java), ”Buanglah Sampah di Gedung Sate, Gubernuran, Kandang FPI”. Motto kota Bandung juga jadi korban cibiran. Berhiber bukan lagi berarti ”bersih, hijau berbunga-”, namun jadi ”berserakan, hideung, berlalar” (berserakan, hitam, berlalat).
Petaka Bandung lautan sampah- ini -ber-mula dari longsor di tempat- pem-buang-an akhir sampah (TPA) Leu-wi-gajah-. Musibah 21 Februari 2005 itu menewaskan 143 warga dan mengubur 139 rumah. Petaka itu membuat TPA ini di-tutup. Dampaknya, belasan ribu meter- kubik sampah dari wilayah Bandung- Raya (Kota Bandung, Kabupaten Ban-dung-, dan Kota Cimahi) terbengkalai- karena petugas kebersihan juga tak tahu mau dibuang ke mana.
Bagi Bandung inilah bencana besar. Bayangkan, untuk Kota Bandung saja, -sa-ban hari warga menghasilkan sampah se-banyak 7.500 meter kubik. Adapun sampah Kabupaten Bandung produksi-nya mencapai 8.000 meter kubik per hari. Itu belum ditambah dengan sampah Kota Cimahi yang volumenya 400 meter kubik per hari. Total sampah se-Bandung Raya ini berjumlah 15.900 meter kubik per hari. Jumlah itu cukup untuk menutupi 10 persen wilayah Bandung dengan ketebalan sampah satu meter.
Akhirnya, masing-masing pemerintah- daerah sibuk mencari TPA pengganti. Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung mencoba membuang sampah ke TPA yang dulu sudah ditutup di Pasir Impun, Jelekong, dan Cicabe. Namun, tiga TPA ini kewalahan menerima sampah. Warga pun menolak perpanjangan kontrak penggunaan lokasi itu April lalu. Buntutnya, banjir sampah di jalan-jalan umum.
Sebenarnya, selama setahun terakhir- ini pemerintah Kota Bandung telah men-jajaki 22 lokasi baru penampung sampah. Namun, ”Semuanya mentok karena warga menolak,” kata Kepala Perusaha-an Daerah Kebersihan Kota Bandung- Awan Gumilar. Rupanya, warga- kha-wa-tir bakal terjadi bencana longsor sampah seperti di Leuwigajah.
Kepusingan menjadi berlipat-lipat karena kemudian warga dan pedagang- me-nolak membayar iuran. Alasan mere-ka-, buat apa bayar retribusi kalau sam-pah- tak diangkut. Akibatnya, dana pe-ngelolaan sampah melorot hampir se-paruhnya-. Menurut juru bicara Per-usahaan Daerah Kebersihan Kota Ban-dung, Sefrianus Yosef, biasanya uang retribusi sampah rumah tangga terkumpul Rp 700 juta. April lalu, jumlah itu merosot menjadi Rp 480 juta saja.
”Situasinya menjadi serba salah. Kalau- masyarakat dipaksa membayar, me-re-ka- marah karena sampah yang ti-dak- ter-angkut,” kata Yosef. Padahal, da-lam si-tuasi normal pun uang retribusi sampah itu tidak bisa menutupi biaya operasi. Dia mencontohkan, setiap bulan ongkos -bahan bakar 175 truk sampah mencapai Rp 1,2 miliar. Itu belum ditambah biaya pengelolaan di TPA se-perti sewa alat penggaruk dan operatornya.
Di tengah derita mencari TPA permanen, pemerintah Kota Bandung berjibaku memusnahkah sampah dengan usaha alakadarnya. Untuk mengusir bau, mereka menyebarkan kapur di setiap tumpukan sampah atau menutupi-nya dengan lembaran terpal plastik—upaya yang tak manjur. Mereka juga menyemprotkan malathion—racun pembunuh serangga dengan dosis yang sa-ngat kuat—untuk membunuh lalat dan belatung.
Di tengah kesulitan yang mendera itu, Perusahaan Daerah Kebersihan tambah puyeng dengan adanya perintah ”bos”, misalnya permintaan yang datang dari Kodam III Siliwangi yang akan berulang- tahun. Mereka minta agar -sam-pah di lokas-nya dibersihkan. ”Ter-paksa kita angkut ke kantor PD Kebersihan. Habis ke mana lagi membuangnya?” kata Yosef.
Penugasan lain datang dari Wali Kota Bandung Dada Rosada. Orang nomor satu di Bandung ini memerintahkan jalan-jalan protokol yang bakal dilewati Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono—dia mengunjungi Bandung akhir pekan lalu untuk peringatan Hari Kebangkit-an Nasional—dibersihkan dari sampah. Yosef mengaku bingung harus disembunyi-kan ke mana lagi itu sampah.
Sampah di Bandung ini adalah masa-lah laten yang harus dihadapi kota-kota di Indonesia. Jakarta pun sampai sekarang tak punya pengganti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bantargebang, Be-kasi. Mereka ingin membangun pa-brik- pengolah sampah di Bojong, Gunung Putri, Bogor, tapi warga menolak.
Pengamat masalah sampah dari Insti-tut Teknologi Bandung, Enri Daman-hu-ri-, menjelaskan, pemerintah kota seha-rus-nya sudah mengubah paradigma pengelolaan sampah. Model penanganan sampah yang selama ini digunakan di kota-kota adalah model kuno. Model mengatasi sampah dengan cara kumpul, angkut, dan buang membuat kota sangat tergantung pada TPA. ”Kalau TPA-nya bermasalah karena ditolak masyarakat atau longsor, baru kelimpungan kota itu,” kata guru besar ITB itu.
Menurut Enri, persoalan sampah per-kotaan harus diselesaikan dengan- cara me-ngurangi sampah sejak dari ru-mah. ”Kuncinya adalah pertanya-an: mengapa- sampah harus dibawa se-muanya ke TPA,” katanya. Pemerin-tah-, menurut Enri, harus menerapkan kembali konsep- 3R (reduce, reuse, recycling) yang sudah lama dikenal di masya-rakat, yaitu mengurangi sampah di rumah tangga, mendaur ulang, dan menggunakannya kembali.
Model pengelolaan sampah itu sebenar-nya sudah terbukti manjur di sejumlah kawasan, seperti Kampung Banjarsa-ri, Fatmawati, Jakarta Selatan, atau Kelu-rah-an Jambangan, Surabaya, dan di Ta-ngerang. Di kawasan itu sampah diku-rangi dengan menyortir sampah. Sampah plastik, botol, kertas, gelas dikumpulkan untuk dijual ke pabrik pengo-lahan. Sampah organik, sisa masakan, dedaunan, diolah jadi kompos. Sisa sampah yang sulit didaur ulang, seperti batang pohon, baru dikirim ke TPA.
”Kita memang tidak bisa bebas se-ratus- persen dari TPA dan kota-kota di seluruh- dunia tetap memiliki lokasi itu,” kata Enri. Dan cara itu terbukti bisa mengurangi volume sampah. Di Banjar-sari atau Jambangan, volume sampah yang dikirim ke TPA berkurang 40 sampai 60 persen.
Keberhasilan itu membuat pemerintah Kota Tangerang menjajal mengadopsi- konsep itu walau tak seratus persen. Sa-ban hari enam sampai tujuh sampah organik dari Pasar Anyar dan Cikokol diolah jadi kompos. Kata Dadang Setya-wan, Kepala Subdinas Kebersihan Kota Tangerang, ”Selain bermanfaat untuk pupuk, kami bisa memperpanjang usia TPA Rawa Kucing.”
Untung Widyanto, Ahmad Fikri (Bandung), Ayu Cipta (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo