Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Prahara di Senjak ala Sang Panglima

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Prahara di Senjak ala Sang Panglima
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Empat puluh LSM berkonfrontasi dengan pemeri-ntah dan Jaksa Agung-nya. Kebijakan Kepala Openbaar Mi-nisterie Republik Indonesia menghentikan penuntutan terhadap mantan presiden Soeharto dianggap melampaui batas kewenangannya. Tindakan Jaksa Agung tidak men-didik bangsa. Orang yang jelas korupsi dan melakukan kejahatan kemanusiaan berat dilepas begitu saja. Kemudian tiba giliran pengembangan berita. Soeharto, yang hanya ber-henti dituntut, ditiup menjadi Soeharto dibebaskan dari segala tuntutan. Kabar angin pembebasan itu direkayasa sehingga menjadi ”pemaafan”. Itu belum cukup, masih di-tambah lagi: Soeharto akan direhabilitasi. Begitu kira-kira pendapat di luar.

Jaksa Agung bilang Soeharto sudah enam tahun dinyata-kan tidak laik dihadapkan di muka hakim karena sakit di otaknya. Soeharto tidak mungkin sembuh. Itu dikatakan baik oleh tim dokternya sendiri maupun oleh dokter-d-okter UI, Gama, Airlangga, IDI, dan Departemen Kesehatan. Ke-adaan Soeharto tidak membaik. Ia memburuk. Karena memburuk, ia tidak bisa dihadapkan ke meja hijau. Menurut Pasal 140 KUHAP, Kejaksaan boleh menghentikan penuntutan ”demi hukum”. Istilah asal dari ”demi hukum”, ya-itu van rechtswege, dalam kamus diberi definisi suatu akibat yang terjadi dengan sendirinya bila suatu syarat telah terpenuhi. Dalam hal ini, syaratnya sudah terpenuhi, Soeharto secara permanen tidak laik dihadapkan ke muka hakim. Namun, ayat 2 (d) menetapkan bahwa bila di hari kemudian muncul alasan baru, maka bisa dilakukan lagi penuntutan. Begitu pendapat Jaksa Agung.

Sudah merupakan budaya politik di Indonesia bahwa ko-munikasi yang di ”dalam” dengan yang di ”luar” tidak j-a-lan. Masing-masing tuli, berlagak tuli, atau sengaja tutup kuping. Buat orang yang di ”luar” tidak, di ”dalam” pun b-u-kan, terselip fungsi penengah yang bisa diperankan. Apa se-benar-nya yang berlangsung selama ini dalam kasus peng-adilan Soeharto?

Pada 8 Agustus 2000 Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan melimpahkan berkas perkara Soeharto kepada Pengadil-an Negeri Jakarta Selatan. Empat belas hari kemudian, di-tetapkan bahwa persidangan akan dilangsungkan tanggal 31 Agustus 2000. Soeharto tidak datang. Ada surat dari tim dokter yang menyatakan Soeharto sakit. Sidang ditunda sampai 14 September 2000. Soeharto tidak hadir lagi. Ada surat lagi dari tim dokter; juga bilang Soeharto masih sakit. Agak kesal, majelis hakim langsung mengeluarkan penetap-an agar membentuk tim dokter yang independen; pemeriksaan harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh terhadap kesehatan terdakwa. Begitu bunyi penetapan majelis hakim.

Tim independen terdiri dari 20 dokter, 7 dari UI, 3 dari Ga-ma, 4 dari Airlangga, 4 Departemen Kesehatan, dan 2 IDI. Mereka terbagi dalam tiga kelompok: Kelompok Kardiovaskuler, Kelompok Neurologi, dan Kelompok Internis. Soeharto diperiksa di Rumah Sakit Pertamina 23 September 2000 dari pukul 7 pagi sampai 4:30 sore. Hasil pemeriksaan dilaporkan oleh tim dokter lima hari kemudian:

Irama jantung Soeharto mengalami gangguan. Sera-mbi kiri jantung membesar. Di situ tampak bekas sumbatan-sumbatan yang disebabkan gumpalan dalam pembuluh darah. Setiap saat bisa timbul penyumbatan lagi. Fungsi jantung menurun, kadang-kadang ke grade II, kadang kala ke grade III. Bila sampai ke grade IV, pasien mati. Fungsi ginjal menurun dan pasien kencing darah. Dalam kantong-kantong udara paru-parunya sudah banyak sumbatan. Penyakit diabetes melitus tampaknya masih bisa dikontrol de-ngan baik.

Jaringan pembuluh darah Soeharto mengalami proses pe-nuaan. Tambah tua, tambah menua pula sistem jaringan di tubuh kita. Soeharto hanya mampu mengenal orang-orang di sekitarnya. Pengenalan itu bersifat amat dangkal, kadang kala menghilang, kadang-kadang muncul lagi. Kemampuan menerima ide buruk sekali. Hanya ide yang sederhana yang bisa ditangkapnya. Itu pun kalau disampaikan secara perlahan-lahan dan berulang kali. Seperti kita menjelaskan se-suatu kepada anak kecil. Ia tak bisa paham ide yang kompleks. Juga tidak bila ide disampaikan dalam bentuk urutan gambar-gambar. Urutan gambar kelinci, kura-kura, kelinci berlari kencang, kura-kura tertinggal jauh, kelinci istirahat dan tertidur pulas, kura-kura melewatinya dan sampai ke garis finish sebagai pemenang, sama sekali tak ber-kesan makna baginya. Kemunduran berat terjadi dalam daya ingatnya. Yang paling parah adalah kemerosotannya dalam mengutarakan pikiran yang sederhana pun dalam kata-kata. Kegagalan verbal ini lalu diupayakannya disambung de-ngan isyarat. Sering kali upayanya terhenti sama sekali, dan ia termenung dengan sorot mata yang kosong, sedih. Ide yang disampaikan kepadanya terkadang diterima tidak lengkap, atau bahkan salah. Dalam berbicara, yang ter-ucap sering tidak sesuai dengan yang dimaksudkan. Soeha-rto tahan duduk dua sampai tiga jam, tapi bila diminta berpikir atau menilai dan memecahkan masalah, reaksi emosio-nalnya bisa membahayakan nyawanya. Tekanan darahnya bisa meningkat sampai 189-104 dengan cepat sekali. Dampak semua ini pada mentalnya adalah perasaan terempasnya harga diri dan rasa tak lagi berguna. Pada usia 85 tahun, penyembuhan, apalagi pemulihan, membutuhkan suatu muk-jizat yang enggan tiba. Dokter bilang kondisi Soeharto sudah permanen.

Sebagai reaksi terhadap laporan yang suram itu, pada 28 September 2000 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan penetapan yang menyatakan bahwa penuntutan pidana atas Soeharto tidak dapat diterima, dan ia dibebaskan dari status tahanan kota. Berkas perkara dikembalikan kepada jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Atas penetapan ini, jaksa mengajukan perlawanan ke pengadilan tinggi.

Pada 8 Oktober 2000 pengadilan tinggi menerima ban-ding, membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memerintahkan pengadilan negeri itu membuka kembali perkara, mengenakan tahanan kota lagi pada Soeharto. Tim pengacara Soeharto mengajukan perkara ke tahap kasasi Mahkamah Agung.

Pada 2 Februari 2001 majelis hakim pada Mahkamah Agung RI membenarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penuntutan terhadap Soeharto tidak dapat diterima. Soeharto mesti dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa penuntut umum diperintahkan mengobati Soeharto sampai sembuh atas biaya negara. Kalau sudah sembuh, Soeharto harus diajukan lagi ke pengadilan.

Pada 21 Februari 2001 Kejaksaan berkirim surat ke-pada tim dokter RSCM yang inti isinya meminta tim melaksana-kan putusan Mahkamah Agung RI. Tim dokter menjawab bahwa Soeharto tidak bisa disembuhkan. Pada 29 Oktober 2001 jaksa lapor ke Mahkamah bahwa Soeharto sakit. Pada 11 Desember 2001 Mahkamah mengembalikan perkara kepada jaksa: Kejaksaanlah yang harus menentukan diadili atau tidak diadili. Pada 26 Februari 2002 jaksa meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuka kembali perkara Soeharto. Pengadilan negeri menyatakan Soeha-rto tidak bisa diajukan ke persidangan karena masih sakit. Soe-harto dijadikan bola yang ditendang dari jaksa ke peng-adilan, dari pengadilan ke tim dokter, dari tim dokter ke jaksa, dari jaksa ke pengadilan, dan seterusnya. Itu yang dihadapi Arman, dan ia bertindak. Kemudian timbul heboh yang berkembang seperti bola salju.

Surat kabar saya dibredel tahun 1974. Puluhan keluarga yang tadinya mendapat nafkah dari Harian Kami kehilang-an mata pencarian. Pada dasawarsa 1990-an, Soeharto menerima begitu saja laporan yang mencemarkan integritas profesional saya sebagai penasihat hukum pemerintah. Soeharto juga menerima dan membiarkan begitu saja laporan bohong tentang norma etika yang saya pegang teguh. Seka-rang Jenderal Besar itu menggeletak terkapar diimpit penyakit yang menghinggapi seluruh tubuhnya. Setiap hari ter-catat kemunduran baru dalam kesehatannya, dunianya semakin redup, lalu gelap, harapan mulai putus. Menyaksikan si penggebuk dalam kondisinya sekarang, saya siap berpaling dan pergi membiarkan ia bersendiri dengan sisa-sisa nuraninya. Kita saksikan sekarang kondisi kemanusiaan dalam kadar yang paling telanjang. Namanya penderitaan, kesepian, kemerosotan harga diri, dan rasa tak berg-una. Di sini letak ide humanitarian yang paling mendasar. Konsepsi hak asasi yang abstrak sekadar gumpalan kondisi ke-manusia-an seperti ini. Menghadapi situasi begini, dengan se-genap kerincian aspeknya, seharusnya kita terpanggil untuk diam sejenak. Sang Panglima mau berangkat. Nanti kita bereskan masalah hukum yang ditinggalkannya.

Nono Anwar Makarim, penulis di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus