DARI jauh, terdengar orang memukul kentongan sepuluh kali dan suaranya bergema jauh memukul dinding-dinding bukit. Keempat orang itu pun tahu bahwa malam semakin larut. Di sela-sela suara bantingan kartu domino, Djo Sumarto, salah seorang di antara mereka, menyambar tutup termos. Kopi panas dituangnya di cangkirnya. Yang lainnya asyik mengeluarkan asap rokok kretek atau melalap kacang asin, sambil sesekali mata mereka dari kartu dilayangkan ke semak hutan keliling. Tiba-tiba, "Ssstt. . . !" bisik Djo, "itu dia, simbah datang." Di semak dekat bukit, sekitar 50 m dari tempat mereka berjaga, sepasang sinar hijau bagaikan senter kecil tampak mendekati makam Kromo Gadi, penduduk desa yang baru beberapa hari dikuburkan. Namun, begitu "simbah" melihat ada empat orang di situ, langkahnya pun terhenti. Djo Sumarto kemudian menyorotkan senternya. Di balik daun pisang, tampak "simbah" melonjorkan kakinya. Dan "simbah" tetap bersimpuh di situ sampai dini pun tiba. Djo dan teman-temannya, sambil membenarkan letak sarungnya, berkata, "Kalau saja kami tidak menunggui makam, tentu 'simbah' akan mencuri Pakde." Maksud Djo, ada kemungkinan mayat Kromo Gadi, pakdenya, akan dicuri macan, yang oleh penduduk di sana biasa dipanggil "simbah". Menunggui makam baru biasanya - sampai 40 hari - adalah hal yang rutin bagi penduduk Dukuh Peyuyon, Hargosari, Ploso, Nasri, Paliyan, yang semuanya ada di Kabupaten Gunung Kidul. Kalau tidak, pasti menjadi santapan "simbah". Meski kubur telah ditimbun dengan batu atau duri, "simbah" selalu berhasil menggali dan kemudian membetotnya keluar. Mayat tersebut biasanya diseret ke gua, tempat macan-macan itu bermukim. Beberapa penduduk Ploso bahkan pernah memergoki seekor macan yang sedang menyeret mayat yang masih terbungkus kain kafan. "Kami diam saja, karena itu memang sudah jadi milik simbah," ujar Wiyadi, Kepala Desa Ploso. Macan pun rupanya terkejut, melihat manusia muncul subuh-subuh. Meski kelakuan "simbah" selalu membongkar kubur, penduduk tak pernah diganggunya. Tak juga ternak-ternak piaraan. "Bahkan kami saling menjaga, sambung Wiyadi. Siang hari, penduduk yang menjaga "simbah" terhadap orang-orang luar yang jadi pengganggu dan malam hari tak ada maling yang berani masuk ke desa-desa itu. Selain itu, macan makan mayat bukan cerita baru bagi mereka karena hal itu sudah dialami oleh ayah dan kakek mereka dahulu. Tapi jenis harimau apakah yang suka makan bangkai orang itu? Tampaknya, bagi petugas Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) sendiri, belum jelas benar jenis macan yang suka berkeliaran di daerah Gunung Kidul itu. Namun, yang pasti, saat ini tengah dibikin peta pola perkembangan macan tutul, sekaligus akan dihitung iumlah populasinya secara cermat, daerah penyebarannya, dan cara kehidupan hewan yang termasuk langka ini menghadapi pertumbuhan penduduk yang semakin pesat itu. Kawasan pertama yang jumlah harimaunya sedang dihitung cermat adalah Gunung Kidul di selatan Yogyakarta. Nanti menyusul kawasan Tawangmangu, sekitar Merapi, dan Nusa Kambangan. "Kami ingin tahu persis berapa jantan dan betinanya, berikut pola perkembangbiakannya," kata Ir. Tri Wibowo, Kepala Subbalai PHPA Jawa Tengah/Yogyakarta. Sensus macan yang dilakukan PHPA di sana memang cukup beralasan. Sebab, di daerah itu jenis macan tutul itulah yang ada, seperti sering dilaporkan orang di perkebunan tebu, Suruhkalang, Kabupaten Karanganyar, Solo, awal bulan ini. Bukan mustahil yang di Gunung Kidul pun adalah jenis harimau yang sama, karena macan tutul itu memang dikenal suka makan bangkai. "Ekosistem cagar alam Jawa Tengah tidak murni lagi," kata Wibowo. Dengan demikian, macan-macan itu semakin sulit mendapatkan binatang buruan mereka. Bukankah babi hutan, kijang, kancil, ayam hutan juga diburu manusia yang bertambah banyak? Maka, mayat pun, jadilah. Kebetulan, porositas tanah kering di Gunung Kidul cukup tinggi, sehingga bau busuk mudah menguap dan tercium sampai beberapa kilometer jauhnya. Ada empat jenis harimau di Jawa, yang bukan saja belum diketahui jumlahnya, tapi diduga ada beberapa jenis punah atau terancam kepunahan. Macan kumbang (Panthera pardus) yang bisa memanjat pohon, kucing batu (Felis marmorata), kucing congkok (Felis bengalensis), dan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang tubuhnya loreng-loreng cokelat kuning. Yang terakhir ini panjangnya sekitar 2,8 m, panjang ekornya sekitar 1 m, dan berat badannya sekitar 250 kg. Telapak kakinya sepanjang 10-18 cm. Di Gunung Kidul itu tim peneliti PHPA cuma menemukan bekas tapak kaki macan yang panjangnya sekitar 8 cm. Ini berarti mungkin bukan macan Jawa yang terakhir dikabarkan tinggal beberapa ekor lagi di Meru Betiri, Jawa Timur sebelah selatan. Dugaan lain, menurut Wibowo, harimau yang berkeliaran di Gunung Kidul kemungkinan macan atau kucing hutan yang masuk jenis Felidae. Meski dalam usahanya mempertahankan hidup dan keturunan genetisnya kini sulit, kucing-kucing raksasa itu kini berhasil melakukan adaptasi dengan lingkungan habitatnya. Yaitu berganti menu (makan bangkai) dan sifatnya kini lebih kompromistis selama manusia tidak mengganggunya. Rebutan sumber alam selalu saja menjadi pangkal permusuhan. Pernah, di tahun 1924 "simbah" dari Gunung Kidul ini mengamuk. Sastro Utomo, 77 tahun, bercerita bahwa "simbah" membabat semua binatang piaraan penduduk ketika penduduk membakar semak di sekitar gua tempat macan-macan itu tinggal. Kini, gua-gua di gunung kapur yang diduga mempunyai lorong panjang, dan mulut gua di beberapa tempat tak pernah diganggu penduduk lagi. "Kami pun tak pernah ada yang diterkam macan," ujar Kepala Dukuh Nasri, Sugeng Edi Utomo. Sebab, "simbah" hanya menyantap manusia yang sudah ajal. Itu pun kalau bisa. Saijo dari Dukuh Hargosari mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir ini ada sekitar 20 mayat disantap "simbah". Pekuburan di Hargosari hanya ber-"isi" 60%, sisanya tinggal batu kijing "tanpa isi". Makam di punggung bukit Peyuyon bahkan tinggal 20% yang "isi". "Tapi kami ikhlas," kata Paijo. Sambung Margio, "Yang dimakan 'kan cuma bangkainya, arwahnya 'kan tidak bisa dimakan simbah." NYATANYA, persahabatan manusia Gunung Kidul dan macan berlanjut ke masalah air. Kalau musim kemarau tiba, di saat Telaga Ploso kering, penduduk menyediakan air di ember di belakang rumah, kalau "simbah" lewat dan haus. Telaga Ploso jaraknya sekitar 400 m dari gua di gunung berkapur itu. Tim peneliti berpendapat bahwa kawasan Gunung Kidul sebetulnya cukup ideal untuk dijadikan lahan lindung macan. Tapi ancaman dari luar selalu datang. Wibowo antara lain berharap agar pemerintah lebih mengetatkan pemberian izin penambangan batuan kapur di wilayah itu. Toeti Kakiailatu Laporan biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini