PALING tidak melalui rokok kretek keluaran Kudus, kita
diingatkan kepada nama Minakjinggo, raja kerajaan Blambangan. Ia
tersohor di masa jayanya kerajaan Majapahit, yang waktu itu
dipimpin oleh Ratu Kencana Wungu. Kebudayaan cukup tinggi yang
pernah berkembang di daerah Jawa Timur itu sekarang tidak
berbekas lagi.
Hutan belukar menelan kembali sisa kegiatan manusia dahulu.
Satwa liar dengan bebas berlindung dalam luapan tanaman itu.
Di semenanjung itu masih terdapat peninggalan sejarah yang bisa
disaksikan langsung. Sebelum 1974, sering terjadi benda
peninggalan sejarah ini dibawa keluar daerah untuk tujuan
komersial. Baru setelah ada larangan dari pihak bupati
Banyuwangi, waktu itu. Toko Supaat Slamet, kegiatan ini mereda.
Suatu tim gabungan berbagai instansi yang mempunyai sangkut paut
dengan masalah benda sejarah ini kemudian, atas prakarsa bupati
tersebut mengadakan penelitian ke sana. Sekaligus mereka
mempersiapkan sebuah museum.
Sejarah semenanjung Blambangan tidak hanya terbatas sampai zaman
Majapahit. Sebelumnya, sudah dikenal suatu masa Blambangan Macan
Putih yang antara lain meninggalkan sebuah pura, bernama Pura
Marengan di daerah Purwo. Dapat disimpulkan bahwa lama sebelum
Masehi telah ada penghuni di situ. Tidak sia-sia pemerintah
kemudian mengambil kebijaksanaan untuk melindungi daerah ini
dengan status suaka marga satwa. Ini telah menguntungkan bagi
para arkeolog yang berminat.
Daerah ini hanya bisa dicapai sekarang dengan kapal melalui
jalan laut. Kebanyakan orang yang ada kepentingan ke daerah itu
bertolak dari Muncar kota di sebelah selatan Banyuwangi.
Pantainya berbukit batu gamping, di mana banyak terdapat
gua-gua, yang menjadi sasaran mereka yang ingin bertapa untuk
mendapatkan ilmu dan wangsit. Banyak yang pulang dengan kecewa
-- karena tidak menemukan apa yang dicari seperti keris pusaka
atau wesi aji -- dan dengan istilah orang sana "belum jodoh".
Pantai bagian lain terdiri dari pasir gotri. Jenis pasir itu
berbentuk kasar yang apabila diinjak, kaki sempat tenggelam
sampai setinggi lutut.
Salah Pengertian
Wilayah suaka marga satwa itu seluas 62.000 Ha -- lebih dikenal
dengan nama Alas Purwo. Hanya 4 petugas Direktorat Perlindungan
dan Pengawetan Alam mengelolanya. Bayangkan, betapa sibuk mereka
menjelajahi wilayah yang hampir sama luasnya dengan daerah
administratif DKI Jaya, termasuk Pulau Seribu. Seorang staf
perencana direktorat PPA di Bogor mengatakan "bisa dimengerti
apabila mereka tidak kuasa menghadapi semua kegiatan pencemaran
lingkungan pengawetan alam itu."
Memang sering terjadi pencurian kayu dan pemburuan liar oleh
penduduk yang tinggal berbatasan dengan daerah itu. Bila
kepergok, petugas merampas peralatan mereka. Tapi sering tidak
ke pergok.
Paling menonjol adalah kegiatan menebang kayu hutan oleh
pendatang dari daerah Banyuwangi. Kadang-kadang mereka membawa
isteri segala. Daerah operasi mereka kebanyakan sekitar teluk
Banyubiru. Selama kegiatan penebangan berlangsung, mereka
bermukim di pondok darurat yang dibangun di tepi pantai.
Mengangkut kayu gelondongan itu mudah saja. Biasanya diapungkan
saja dan ditarik dengan perahu layar ke tempat penjualannya di
sebelah utara.
Kok berani? Bakir, asal Banyuwangi yang memimpin sekelompok
peneban berkata: "Kekayaan alam kan orang sini yang punya,
mengapa harus menjadi soal? Dan lagi suaka marga satwa ini kan
melindungi binatang, sedangkan kita tidak pernah memburu
binatang itu."
Salah pengertian yang ditimbulkan oleh nama status ini mungkin
menvebabkan penebang itu seenaknya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini