EMPAT modernisasi" merupakan slogan RRC sekarang. Negeri itu
setiap harinya sibuk mengirim dan menerima utusan buat
berbelanja, menanda tangani perjanjian kerja sama atau mencari
pinjaman luar negeri untuk mensukseskan program itu. Ribuan
pemuda Cina berbakat sudah siap dikirim ke luar negeri untuk
belajar -- terutama di Eropa Barat, Jepang dan Amerika.
Keterbukaan Peking terhadap dunia luar ini diimbangi pula dengan
keterbukaan para penguasa RRC sekarang ke dalam. Hak milik
pribadi yang tadinya diharamkan diperbolehkan lagi. Bahkan
menurut kabar sekarang ini pemerintah sedang mempersiapkan
pengembalian hak milik para kapitalis dan tuan tanah yang dulu
disita.
Dunia pendidikan tak ketinggalan. Sejak beberapa tahun terakhir
ini sistem ujian diperkenalkan kembali. Penerimaan mahasiswa di
universitas tak lagi berdasar pada "klas kelahiran," tapi melulu
dipertimbangkan atas hasil ujian dan kemampuan. Seorang murid
sekolah yang semasa jayanya Chiang Qing dianggap sebagai
pahlawan karena berani menyerahkan kertas kosong dalam ujian,
sekarang dikritik habis-habisan.
Semua prinsip liberalisasi ekonomi, pendidikan dan politik
seperti yang dilukiskan di atas baru dijalankan setelah Mao
Zedong tak ada lagi dan setelah para pengikutnya yang doktriner
tersingkirkan. Dalam sejarah modern, barangkali cuma RRC semasa
Mao Zedonglah satu-satunya negara konunis yang selalu
mengusahakan agar prinsip hakiki komunisme -- yaitu samarata
atau proletarianisme -- selalu dipraktekkan. Revolusi Kebudayaan
yang dilaksanakan tahun 1966-1969, adalah untuk memaksakan
prinsip itu. Sekarang keadaannya berubah.
Revolusi Kebudayaan: Desa & Kota
Koalisi modernisasi Hua Guofeng-Deng Xiaoping yang berkuasa
sekarang nampaknya akan meninggalkan "hal-hal baru yang lahir
dari Revolusi Kebudayaan" itu. Namun, program liberalisasi yang
dimaksudkan sebagai penunjang modernisasi itu tak akan mudah
dijalankan begitu saja. Revolusi Kebudayaan tak akan hilang
tanpa bekas begitu saja. Juga keliru kalau dikatakan bahwa
gerakan itu cuma merugikan saja. Ada aspek-aspek yang
menguntungkan.
Salah satu tujuan Revolusi Kebudayaan adalah mengubur jurang
pemisah ahtara desa dengan kota. Sudah sejak lama desa Cina di
anak tirikan, padahal negara itu adalah negara agraria. Sebagian
besar penduduknya tinggal di pedalaman, dan hidup dari
pertanian.
Pada dasarnya Revolusi Kebudayaan adalah gerakan kota.
Pertarungan-pertarungan politik sebagian besar dilakukan di
kota-kota besar, dan para pelaku revolusionernya adalah para
pekerja kota, mahasiswa dan golongan intelektuil. Boleh
dikatakan pada umumnya daerah pedesaan tak terpengaruh atau
sedikit sekali terkena oleh gerakan masal kota selama Revolusi
Kebudayaan berlangsung. Bahkan menurut Maurice Meisner dalam
bukunya Mao's China, orang desa kebanyakan tak tahu tentang
Revolusi Kebudayaan apalagi tentang artinya.
Ini menurut Meisner memang disengaja oleh penguasa. Kalau desa
kacau karena seluruh petani sibuk dengan kampanye politik,
sawah-ladang akan terbengkalai. Dan bagaimana memberi makan
ratusan juta mulut? Selama Revolusi Kebudayaan pun ada juga
instruksi khusus dari pusat untuk pedalaman yang memerintahkan
agar "perjuangan klas" tidak menghambat produksi.
Walaupun Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan kota pedesaanlah
yang memetik keuntungan sosialnya. Dan di sinilah uniknya. Sejak
Revolusi Kebudayaan berakhir desa mendapat perhatian yang lebih
besar dan suatu hubungan baru desa-kota muncul. Ini berkat
adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan baru yang memungkinkan
pengalihan sebagian sumber-sumber dari kota ke desa.
Orang Udik
Juga di bidang pendidikan. Anak-anak desa mendapat perhatian
yang sama dengan rekan-rekan mereka di kota. Malahan mereka
cenderung lebih mendapat perhatian. Kalau ingin masuk
universitas mereka tak perlu bersaing keras dengan anak-anak
kota. Karena sistem ujian dihapuskan.
Kebijaksanaan baru merubah semua ini. Modernisasi akan lebih
dipusatkan pada industri dan teknologi di kota-kota besar.
Walaupun pertanian tercantum sebagai bidang yang dicakup 'Empat
modernisasi."
Ini berarti desa tak akan jadi titik perhatian utama lagi.
Sistem ujian dihidupkan kembali. Ini berarti pula bahwa
anak-anak desa yang cenderung mendapat pendidikan lebih sedikit
tak akan mampu bersaing. Modernisasi dan westernisasi selamanya
cenderung disambut dengan hangat oleh orang kota. Tapi ini akan
melemparkan kembali desa dengan segala isinya ke keadaan seperti
dulu lagi.
Keadaan seperti di atas kemungkinan besar akan jadi sumber
ketegangan baru dalam masyarakat Cina. Di universitas gejala ini
sudah kelihatan. Mahasiswa yang sudah ada di bangku universitas
karena terpilih sebagai "keturunan klas buruh tani," kini tak
senang terhadap mahasiswa baru yang datang karena harus bersaing
keras dalam ujian. Mahasiswa hasil ujian yang sebagian besar
orang kota, cenderung memandang rendah rekan-rekan mereka dari
dusun sebagai "orang udik" atau "kampungan."
Beberapa waktu yang lalu serombongan petani dari luar Peking
telah berdemonstrasi ke ibu kota. Mereka menuntut perubahan
nasib. Sebagian ahli Cina menduga kejadian itu didalangi Deng
untuk memberi kesan bahwa modernisasi memang merupakan program
mendesak. Namun sebagian ahli lagi berpendapat lain. Demonstrasi
terjadi lantaran nasib mereka mulai tak mendapat perhatian penuh
sebagai akibat negatif "Empat modernisasi."
Sejarah Partai Komunis Cina dan RRC adalah"sejarah konflik."
Itulah sebabnya Mao sangat memperhatikan apa yang dinamakan
"kontradiksi." Barangkali apa yang dilukiskan di atas akan jadi
kontradiksi baru atau kontradiksi yang muncul lagi dalam
masyarakat Cina setelah zaman Mao lewat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini