TANPA Babu, Negara Kacau " - bunyi salah satu poster dalam Inem
Pelayan Sexy ketiga. Film ini merupakan penutup kisah cinta sang
presiden direktur Brontoyudo (Djalal) dengan babu, Inem (Doris).
Di sini Persatuan Babu-Babu (PBB) di bawah pimpinan Karjo AC-DC
mengadakan kongres besar di Bali. Dengan biaya ratusan jura,
kongres antara lain menuntut persamaan hak dan perlakuan yang
baik pada babu.
Nya Abbas Akup, yang kita kenal selalu basah oleh humor sejak
film Tiga Buronan, tetap bertahan untuk menyuguhkan ketawa
sebanyak-banyaknya. Juga kritik sosial, sebagaimana dalam film
Mat Dower. Inem terakhir ini pun mengkombinasikan kedua barang
tersebut. Jadinya sebuah film ketawa yang memaksa orang menerima
beberapa buah kalimat sindiran -- yang kadang amat verbal.
Sewaktu Nya Abbas memulai kisah Inemnya dahulu, tokoh itu masih
menjadi babu. Tapi pada akhir cerita ia berhasil dipersunting
direktur, majikannya sendiri. Film tersebut masih bersumber pada
latar sosial yang nyata. Banyolannya tidak dipaksa melenting
dari anekdot kecil-kecil kehidupan keluarga dan dunia babu.
Sebagai cerita ia segar, komunikatif dan terolah dengan struktur
yang bagus dalam skenario.
Tetapi Inem selanjutnya menjadi encer. Dalam seri kedua hanya
dibicarakan soal kecemburuan. Sedang dalam seri ini dengan sadar
dimasukkan kritik sosial. Beberapa menit setelah layar
menampilkan gambar-gambar yang bersih dari juru kamera Anthony
Depary, muncul Inem membawa slogan perjuangan nasib babu dengan
sedikit menggurui. Dalam baian akhir Inem pertama, beberapa
orang sudah keberatan tatkala Inem mengucapkan pidato yang
muluk-muluk. Tapi sebenarnya itu tertutup karena adanya
persiapan yang rapi sebelumnya. Inem ketiga memang dikerjakan
cukup rapi -- hanya ceritanya tidak kuat. Akhirnya hanya teras
mau bikin dagelan. Pesan-pesan Abba jadi kasar.
Kuburan Babu
Dimulai dengan close-up pantat Djala yang sedang ngepel -- bukan
lagi pantat Inem seperti dalam seri satu. Bahkan cerita ini pun
sebetulnya bukan cerita Inem. Lebih cenderung jadi cerita babu
Karjo. Dengan catatan, sutradara kentara sekali sibuk membagi
porsi untuk Doris, Djalal, Titiek Puspa, Aedy Moward, Yati
Surachman, dan terutama sekali anggota Surya Grup yang lain.
Akibatnya kisah bertengger di sana dan di sini supaya semua
kebagian. Tidak apa, asal perekatnya kuat satu sama lain. Tapi
justru di situlah terasa keunggulan Inem I.
Inem memimpin para babu untuk membuat bank babu, kuburan babu
perumahan babu, taman babu dan sebagainya. Ini sesungguhnya
menarik apalagi sempat disinggung bahwa semua "keedanan" itu
diperbuat Inem karena terdorong oleh keinginannya memenuhi
harapan para babu, yang sudah terlanjur mengangkatnya sebagai
pemimpin. Tetapi Nya Abbas rupanya tidak ingin membuat film jadi
"komedi kejiwaan" Setiap ada peluang untuk memberi dimensi, ia
mengelak dan membiarka cerita mengambang.
Rasanya sayang -- melihat kefasiha sutradara bercerita dengan
gambar dan tidak ditopang oleh kisah yang lebih siap. Kepekaan
pada kehidupan jelata jadi ketawaan saja. Padahal potret yang
dihasilkan kadang sugestif. Ada close up wajah Inem, dengan
latar belakang poster-poster Inem yang dilambai-lambaikan. Ada
kesibukan kota dengan sebuah mobil tukang roti memakai cerobong
raksasa yang menyemburkan asap sepanjang jalan. Tetapi tidak
diberi porsi lebih dari sekedar gambar. Ny Abbas rupanya lebih
terhanyut oleh sindiran lewat dialog.
Dan dalam dialog, banyak pingpong yang panjang, dengan celetuk
yang meledak karena pemilihan atau pemutar balikan kata-kata.
Memang enak. Ny Abbas mengontrol percakapan denga membuat
banyak shot, satu hal yang sering malas dilakukan sutradara
lain.
Kita berhadapan dengan sutradara berpengalaman, yang membuat
filmnya tampak mahal karena ada adegan Inem naik helikopter
segala. Ia menata gambar, tempo dan pemain dengan baik. Tetapi
semua itu terasa tak lebih dari pekerjaan rutin.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini