Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Babu yang rutin

Sutradara: nya abbas akup produksi: pt. candi dewi film resensi oleh: putu wijaya. (fl)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA Babu, Negara Kacau " - bunyi salah satu poster dalam Inem Pelayan Sexy ketiga. Film ini merupakan penutup kisah cinta sang presiden direktur Brontoyudo (Djalal) dengan babu, Inem (Doris). Di sini Persatuan Babu-Babu (PBB) di bawah pimpinan Karjo AC-DC mengadakan kongres besar di Bali. Dengan biaya ratusan jura, kongres antara lain menuntut persamaan hak dan perlakuan yang baik pada babu. Nya Abbas Akup, yang kita kenal selalu basah oleh humor sejak film Tiga Buronan, tetap bertahan untuk menyuguhkan ketawa sebanyak-banyaknya. Juga kritik sosial, sebagaimana dalam film Mat Dower. Inem terakhir ini pun mengkombinasikan kedua barang tersebut. Jadinya sebuah film ketawa yang memaksa orang menerima beberapa buah kalimat sindiran -- yang kadang amat verbal. Sewaktu Nya Abbas memulai kisah Inemnya dahulu, tokoh itu masih menjadi babu. Tapi pada akhir cerita ia berhasil dipersunting direktur, majikannya sendiri. Film tersebut masih bersumber pada latar sosial yang nyata. Banyolannya tidak dipaksa melenting dari anekdot kecil-kecil kehidupan keluarga dan dunia babu. Sebagai cerita ia segar, komunikatif dan terolah dengan struktur yang bagus dalam skenario. Tetapi Inem selanjutnya menjadi encer. Dalam seri kedua hanya dibicarakan soal kecemburuan. Sedang dalam seri ini dengan sadar dimasukkan kritik sosial. Beberapa menit setelah layar menampilkan gambar-gambar yang bersih dari juru kamera Anthony Depary, muncul Inem membawa slogan perjuangan nasib babu dengan sedikit menggurui. Dalam baian akhir Inem pertama, beberapa orang sudah keberatan tatkala Inem mengucapkan pidato yang muluk-muluk. Tapi sebenarnya itu tertutup karena adanya persiapan yang rapi sebelumnya. Inem ketiga memang dikerjakan cukup rapi -- hanya ceritanya tidak kuat. Akhirnya hanya teras mau bikin dagelan. Pesan-pesan Abba jadi kasar. Kuburan Babu Dimulai dengan close-up pantat Djala yang sedang ngepel -- bukan lagi pantat Inem seperti dalam seri satu. Bahkan cerita ini pun sebetulnya bukan cerita Inem. Lebih cenderung jadi cerita babu Karjo. Dengan catatan, sutradara kentara sekali sibuk membagi porsi untuk Doris, Djalal, Titiek Puspa, Aedy Moward, Yati Surachman, dan terutama sekali anggota Surya Grup yang lain. Akibatnya kisah bertengger di sana dan di sini supaya semua kebagian. Tidak apa, asal perekatnya kuat satu sama lain. Tapi justru di situlah terasa keunggulan Inem I. Inem memimpin para babu untuk membuat bank babu, kuburan babu perumahan babu, taman babu dan sebagainya. Ini sesungguhnya menarik apalagi sempat disinggung bahwa semua "keedanan" itu diperbuat Inem karena terdorong oleh keinginannya memenuhi harapan para babu, yang sudah terlanjur mengangkatnya sebagai pemimpin. Tetapi Nya Abbas rupanya tidak ingin membuat film jadi "komedi kejiwaan" Setiap ada peluang untuk memberi dimensi, ia mengelak dan membiarka cerita mengambang. Rasanya sayang -- melihat kefasiha sutradara bercerita dengan gambar dan tidak ditopang oleh kisah yang lebih siap. Kepekaan pada kehidupan jelata jadi ketawaan saja. Padahal potret yang dihasilkan kadang sugestif. Ada close up wajah Inem, dengan latar belakang poster-poster Inem yang dilambai-lambaikan. Ada kesibukan kota dengan sebuah mobil tukang roti memakai cerobong raksasa yang menyemburkan asap sepanjang jalan. Tetapi tidak diberi porsi lebih dari sekedar gambar. Ny Abbas rupanya lebih terhanyut oleh sindiran lewat dialog. Dan dalam dialog, banyak pingpong yang panjang, dengan celetuk yang meledak karena pemilihan atau pemutar balikan kata-kata. Memang enak. Ny Abbas mengontrol percakapan denga membuat banyak shot, satu hal yang sering malas dilakukan sutradara lain. Kita berhadapan dengan sutradara berpengalaman, yang membuat filmnya tampak mahal karena ada adegan Inem naik helikopter segala. Ia menata gambar, tempo dan pemain dengan baik. Tetapi semua itu terasa tak lebih dari pekerjaan rutin. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus