Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok Pantau Gambut mengungkap banyak kontradiksi antara klaim pemerintah dengan apa yang ditemukannya di lapangan tentang restorasi gambut. Temuan-temuan tersebut dirangkum dalam laporan hasil studi yang diumumkannya pada Rabu, 31 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan berjudul 'Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah, dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya' tersebut memaparkan banyaknya infrastruktur restorasi gambut yang tidak sesuai standar. Di antaranya adalah infrastruktur pembasahan berupa sekat kanal dan sumur bor banyak yang rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di beberapa sampel titik pengamatan juga ditemukan gambut yang kering karena tidak memenuhi standar tinggi muka air tanah," kata analis data Pantau Gambut, Almi Ramadhi, dalam konferensi pers laporan hasil studi di Kantor Pantau Gambut, Jakarta.
Pemantauan restorasi gambut, kata Almi, dilakukan pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang tersebar di tujuh provinsi, yaitu Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Lokasinya dibedakan berdasarkan dua jenis yakni area konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan dan area non-konsesi yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan restorasi.
Tercatat, 95 persen dari 289 titik sampel gambut non-konsesi yang pernah terbakar (burned area) dan kehilangan tutupan pohon (Tree Cover Loss/TCL), telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar. Sawit menjadi komoditas paling dominan. "Yang menyedihkan, penutupan lahan menjadi hutan tidak mendapatkan perhatian karena hanya ditemukan pada 3 persen area sampel," ucap Almi.
Kondisi yang lebih menyedihkan ditemukan di area konsesi perusahaan. Hanya satu persen dari 240 titik sampel yang kembali menjadi hutan meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon. "Kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan yang kerap memiliki masalah konflik sosial seperti PT Mayawana Persada (MP) di Kalimantan Barat dan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Sumatera Selatan," tuturnya.
Konferensi pers Pantau Gambut, Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024. Tempo/Irsyan
Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menegaskan bahwa kewajiban pencegahan, penanganan saat kebakaran, hingga pemulihan area yang telah terbakar menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, bukan malah dilimpahkan kepada masyarakat. Wahyu merujuk kepada PP Nomor 57 Tahun 2016 jo. PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Wahyu pula yang menyatakan bahwa semua temuan berkontradiksi dengan klaim keberhasilan pemerintah Indonesia dalam merestorasi gambut seperti yang dijelaskan pada dokumen The State of Indonesia’s Forest 2024 yang baru dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 20 Juli 2024. Selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi, kata Wahyu, restorasi gambut telah menjadi ujian dalam upaya perlindungan lingkungan.
Menurutnya, keberhasilan restorasi gambut jangan hanya berdasarkan angka pelaksanaan proyek, namun juga memperhatikan dampak kepada sebanyak-banyaknya pihak. "Jangan sampai klaim keberhasilan ini hanya menjadi alat pencitraan pada komitmen global," kata dia.
Berdasarkan keterangannya dalam situs resmi KLHK, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro mengatakan Indonesia telah berhasil mematahkan mitos bahwa lahan gambut yang terdegradasi tidak dapat dipulihkan. KLHK mengklaim dalam kurun 10 tahun berhasil memulihkan ekosistem gambut terutama secara hidrologis kurang lebih 5,5 juta hektare.