Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Petani di Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan, punya banyak pertanyaan ketika proyek food estate dimulai empat tahun lalu.
Proyek food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, gagal karena beberapa persoalan.
Banyak petani terjerat utang KUR.
SAYA seorang petani dari Desa Ria-Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Lokasi ini sekarang ramai disebut sebagai lahan food estate Humbang Hasundutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat pemerintah pusat menggulirkan program food estate, empat tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan mengajukan wilayahnya sebagai kawasan food estate. Pemerintah mengabulkannya. Lalu datanglah perwakilan dari Kementerian Pertanian ke Desa Ria-Ria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura mengadakan pertemuan dengan masyarakat petani di desa kami. Mereka mensosialisasi program food estate yang bertujuan menjaga ketahanan pangan untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah menyampaikan bahwa Desa Ria-Ria merupakan wilayah yang akan dijadikan lahan food estate.
Pada awalnya, kami tidak begitu tertarik pada program food estate. Kami tidak tahu-menahu. Dalam bayangan kami, kalau ini program negara atau sesuatu yang dibangun dengan uang negara, pasti akan jadi milik negara. Kami takut kehilangan tanah kami. Kami menanyakan hal itu, yang dijawab bahwa tanah tersebut tetap milik masyarakat.
Setelah mendengarkan penjelasan semua hal tentang program food estate, masyarakat Desa Ria-Ria, termasuk saya, merasa yakin program ini akan mengubah ekonomi kami ke arah lebih baik. Hal inilah yang menjadi harapan kami setelah sosialisasi itu.
Presiden RI Joko Widodo , saat meninjau perkembangan kawasan Food Estate di Desa Siria-ria, Kecamatan Pollung, di Kabupaten Humbang Hasundutan, 27 Oktober 2020/Dokumen /Humas Sumut
Masyarakat Ria-Ria akhirnya dengan antusias bersedia mengikuti program food estate tersebut. Namun ada satu pertanyaan mengganjal dalam pikiran kami: kenapa harus di Ria-Ria? Kami pun menanyakan hal ini.
Pemerintah melalui Ditjen Hortikultura menjawab bahwa status tanah di Ria-Ria “putih”. Kami belum mendapatkan jawaban tentang apa arti status tanah “putih” itu. Namun saat itu kami tidak mempedulikannya. Harapan kami muncul mendengar penjelasan perbaikan ekonomi tentang program food estate.
Kami, masyarakat petani di Ria-Ria, bertambah antusias ketika Presiden Joko Widodo melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Humbang Hasundutan memberikan kami sertifikat atas lahan yang menjadi bagian dari program food estate.
Namun pemberian sertifikat gratis ini ternyata tidak cuma-cuma. Ada persyaratannya. Pertama, ada surat pernyataan bahwa sertifikat atau tanah di food estate tidak boleh dialihfungsikan selain untuk kepentingan food estate. Kedua, lahan food estate tidak boleh dialihkan atau dijual kepada orang lain, kecuali kepada ahli waris. Ketiga, petani yang ada di food estate harus bersedia menyerahkan lahan untuk dipakai selama program food estate.
Dengan tiga persyaratan itu, kami bertanya kepada BPN Humbang Hasundutan. Tanah itu adalah satu-satunya aset atau harta kami. Hanya tanah itu yang bisa kami gunakan ketika kelak orang tua meninggal, anak sakit, atau bersekolah. “Tapi pemerintah bilang tidak bisa dialihfungsikan atau dijual. Terus bagaimana kami?”
BPN menanggapi bahwa persyaratan itu tidak mutlak dan hanya untuk menjaga tanah kami dari kepentingan mafia tanah atau orang-orang kaya yang punya modal. “Nanti ditawarkan ke petani Ria-Ria Rp 100 juta, langsung tergiur kalian. Syarat-syarat tersebut untuk menjaga itu.”
Dengan jawaban seperti itu, masuklah program food estate ke desa kami. Program ini dimulai dengan musim tanam pertama pada September 2020. Semua dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hasil pertanian semuanya untuk petani.
Komoditas bawang merah dan bawang putih di kawasan lumbung pangan (food estate) Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 27 Oktober 2020. BPMI Setpres/Laily Rachev
Sejak Awal Sudah Terlihat Gagal
Musim tanam pertama itu sebenarnya sudah bisa dibilang gagal. Kenapa? Sistem kerja pelaksanaan proyek food estate kejar target. Lahan lokasi program di Ria-Ria semula adalah lahan tidur yang ditumbuhi pakis dan pinus. Penyiapan lahan dimulai pada September dan harus siap ditanami pada Desember. Karena model kejar target itu, kegiatan bajak tanah pertama langsung diikuti bajak tanah kedua dengan mesin rotary, pemasangan humusan, dan penanaman.
Pengalaman kami sebagai petani, cara mengolah atau budi daya tanam seharusnya dilakukan bertahap. Setelah lahan dibajak untuk pertama kalinya, tanah semestinya dibiarkan dua bulan sebelum kembali dibajak. Pembajakan tanah kedua juga harus diselingi waktu sebulan untuk kemudian kembali dibajak ketiga kalinya. Setelah itu, petani baru membajak dengan mesin rotary, yang kemudian didiamkan selama beberapa minggu. Jika semuanya sudah rampung, petani bisa mengolah tanah dengan memasukkan kompos, humus, dan memulai penanaman.
Tata cara penanaman itu sudah kami lakukan sejak dulu. Namun proyek food estate tidak menerapkannya. Otomatis penanaman gagal.
Selain itu, proyek food estate menetapkan jenis budi daya yang boleh ditanam petani. Ada tiga jenis budi daya yang disyaratkan dalam program ini, yaitu bawang merah, bawang putih, dan kentang. Budi daya kentang memang sudah sering kami lakukan. Kami sudah terbiasa menanamnya. Tapi tidak demikian dengan budi daya bawang putih dan bawang merah. Kami belum punya pengalaman melakukan budi daya kedua jenis tanaman pangan tersebut.
Serita Siregar menunjukkan poster protes petani terhadap proyek Food Estate di Desa Ria-ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, 7 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri
Sementara itu, pengelolaan program juga tidak jelas. Pada musim tanam kedua, Kementerian Pertanian tidak lagi menjadi penanggung jawab karena diambil alih oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi—yang dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan.
Semula, pada masa tanam pertama, Kementerian Pertanian sebenarnya telah membentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP). BUMP ini semacam koperasi yang bertujuan membantu petani menampung hasil pertanian, mencari investor atau offtaker, dan lain-lain.
Namun Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan tiba-tiba membentuk Koperasi Unit Bersama (KUB) yang bekerja di bawah naungan bupati. Ketua KUB ditunjuk langsung oleh bupati. Ketua KUB ini di luar petani food estate. Dalam struktur organisasinya terdapat divisi-divisi yang melibatkan beberapa petani food estate yang pada kenyataannya tidak difungsikan.
Dengan kondisi tersebut, para petani secara teratur keluar dari BUMP dan beralih masuk ke KUB. Para petani bekerja sama dengan KUB karena paksaan. Saat itu muncul semacam ancaman bahwa, jika tidak bergabung dengan KUB, pada masa tanam kedua kami tidak akan dibantu, baik dalam mencari kemitraan dengan investor, offtaker, maupun bentuk-bentuk bantuan lain. Jadi, mau tidak mau, petani banyak yang bergabung dengan KUB.
Koperasi bentukan bupati inilah yang mendatangkan offtaker dengan skema perjanjian bagi hasil 60 persen langsung dicairkan kepada petani, 30 persen disimpan oleh KUB untuk modal masa tanam kedua, dan 10 persen untuk kegiatan operasional KUB. Bagi hasil 60 persen selesai dicairkan. Sedangkan yang 30 persen, sampai sekarang petani sudah ada yang menjalani masa tanam ke-7, tidak cair.
Berulang kali kami mencoba menanyakan hal tersebut, tapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Saat ini jawaban yang kami dengar hanya, “Kami tidak tahu lagi. Ketuanya sudah meninggal.” Bagi hasil 30 persen itu sudah lenyap.
Rumah pembibitan terlantar yang dibangun tahun 2020-2021 di kampung Ria-Ria, Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 6 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri
Proyek Berlanjut, Begitu Pula Masalahnya
Pada masa tanam kedua, investor sekaligus offtaker mulai berdatangan. Pada masa itu, saya bergabung atau bermitra dengan satu perusahaan swasta yang skema kerja samanya berupa pinjaman bibit. Biaya bibit akan diperhitungkan pada musim panen.
Setelah menandatangani kontrak, saya mulai bekerja. Pada waktu itu, saya menanam kurang-lebih 1 hektare. Biaya menanam bawang merah di lahan seluas itu sekitar Rp 100 juta, yang diperlukan untuk penyediaan kompos, tenaga kerja, mulsa, dan pestisida.
Namun ternyata varietas bibit bawang merah yang didatangkan oleh perusahaan tidak cocok ditanam di Humbang Hasundutan. Di situlah saya mengalami banyak kerugian. Saya gagal panen. Dari sini, saya tidak ada lagi modal untuk musim tanam selanjutnya dan bahkan sudah terlilit utang.
Saya meminjam dana ke bank melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Agunannya adalah sertifikat yang diberikan oleh Presiden Jokowi melalui BPN Humbang Hasundutan. Dana KUR saya perlukan sebagai modal menggarap lahan pada musim tanam berikutnya setelah masa tanam ke-2 berantakan.
Kondisi masa tanam ke-3 tidak membaik. Pada saat itu, kami sudah dibiarkan pemerintah. Tidak ada penyuluhan, bimbingan, atau bantuan apa pun yang datang dari pemerintah. Mereka juga sudah tidak mau tahu hasil panen kami. Padahal harga hasil panen juga sedang anjlok sehingga tidak bisa menutupi angsuran utang yang kami gunakan sebagai modal.
Sampai sekarang, setiap bulan, saya masih pusing memikirkan angsuran KUR. Kondisi ini tidak hanya dialami saya. Sekitar 30 persen petani juga terlilit utang KUR untuk modal di pertanian food estate. Sebagian di antara mereka, tanahnya sudah dilelang karena utang macet. Jadi, saat ini, sebagian tanah di lahan food estate telah berpindah tangan karena pemiik awalnya gagal bayar.
Petani Desa Ria-Ria, Serita Siregar di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 7 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri
Untuk bertahan hidup, saya kadang menjadi buruh di lahan food estate. Beberapa petani masih menjalin kemitraan dengan investor baru, seperti yang sekarang datang melalui kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Taiwan. Kerja sama ini melibatkan petani. Semua biayanya dari investor, termasuk tenaga kerja. Hasilnya baru dibagi dua.
Jadi, agar saya bisa mengangsur utang KUR, saya menjadi buruh di sana. Pendek kata, saya adalah petani pemilik tanah yang menjadi tenaga kerja harian di lahan tetangga. Saya juga menggarap sebagian tanah milik keluarga yang sejak awal tidak diikutsertakan dalam proyek food estate. Lahan itu tidak luas, kurang dari 0,5 hektare, tapi setidaknya dari sana kami masih bisa menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Biasanya saya pulang dari lahan food estate milik petani lain yang bermitra dengan perusahaan sekitar pukul 17.00 WIB. Sehabis itu saya masih menyempatkan waktu dua jam lagi untuk menggarap lahan sendiri. Ketika lahan food estate tidak menerima tenaga kerja, kadang-kadang saya minta dari keluarga. Tentu saja saya merasa seperti punya beban ganda. Tapi begitulah cara saya demi menutup angsuran.
Saya berpesan kepada pemerintah agar memperhatikan nasib petani, tidak harus melalui program food estate. Kalaupun pemerintah mau mengembangkan food estate, apalagi sekarang sudah ada Peraturan Presiden tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara, selesaikan dulu masalah-masalah yang ada di Ria-Ria. Jangan dibiarkan kami pusing, bergelut dengan masalah-masalah yang sebenarnya justru dibuat oleh pemerintah. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel dari Serita Siregar ini disunting dan disesuaikan dengan hasil wawancara Tempo.