Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sungai Musi <font color=#FF9900>Tak Lagi Murni</font>

Industri karet mencemari Sungai Musi. Pengusaha tak mau merogoh kocek untuk membenahi sistem pengolahan limbahnya.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAUNYA sungguh menyengat. Sebagian warga Kampung Kramasan di tepi Sungai Musi serentak mual, pusing, dan muntah-muntah. Akibatnya, mereka tak punya nyali mandi di sungai. ”Selain ada cairan hitam, seluruh tubuh jadi gatal-gatal jika mandi di situ,” kata Sahrul, warga salah satu kampung di Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan.

Beberapa pabrik karet yang berjejer membelakangi sungai tersebut diduga sebagai pihak yang bertanggung jawab. Menurut hasil survei Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan, setidaknya ada 15 pabrik yang membuang limbah ke sungai terpanjang di Sumatera itu.

Nah, untuk menguji ada-tidaknya pencemaran, lembaga ini lantas mengambil sampel air di anak Sungai Musi, yakni Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Gerong, dan Sungai Rebo. Hasilnya, ”Pencemaran yang dilakukan industri karet sudah membahayakan,” kata Dolly Reza Pahlevi, Kepala Divisi Polusi Industri Walhi Sumatera Selatan.

Dari hasil investigasi, Walhi menemukan fakta bahwa sebagian besar pabrik karet di kawasan Kramasan dan Kertapati tidak memiliki instalasi pembuangan air limbah yang memadai. Rata-rata, kata Dolly, masih memakai pola lama, yaitu menggunakan tawas sebagai katalis dalam pengolahan limbah. Dan yang bikin celaka, setelah proses pengolahan selesai, limbah berwarna hitam itu langsung digelontorkan ke Sungai Musi.

Cara lawas dengan tawas ini diakui Alex Kurniawan, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Provinsi Sumatera Selatan, masih dilakukan oleh sebagian besar anggotanya. Termasuk pabrik karet di kawasan Kramasan. ”Karena biayanya lebih murah,” ujarnya. Selain itu, teknologi kimiawi ini banyak digunakan industri karet dan mudah dibuat.

Pola lain yang masih banyak digunakan sebagian pengusaha karet adalah membuat kolam-kolam penampungan. Dengan cara ini, limbah diendapkan di kolam penampungan, sebelum akhirnya dibuang ke sungai. Lantas bagaimana dengan penerapan teknologi modern melalui sistem biologi? Alex mengakui baru empat perusahaan karet yang menggunakannya, yakni Aneka Buana Pratama, Muara Kelingi, Panca Samudra, dan Kirana Musi Persada.

Dengan sistem ini, semua limbah karet diolah di dalam kolam lumpur aktif yang berisi bakteri penghilang bau dan zat berbahaya lain. Tapi persoalannya, kata Alex, ”Biayanya sangat mahal.” Untuk menyiapkan peralatan saja, pengusaha harus rela merogoh Rp 3 miliar dari kantongnya. Sistem ini pun butuh lahan cukup luas dan pasokan listrik 24 jam penuh.

Menurut Alex, ketiga sistem di atas memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Pada sistem kimiawi, misalnya, ”Kalau zat kimia yang digunakan berlebih, bisa berbahaya.” Itu sebabnya pengurus Gabungan Pengusaha Karet mengarahkan para anggotanya agar lebih berorientasi ramah lingkungan dalam proses produksi. ”Belakangan mereka pun mulai melirik sistem lumpur aktif,” kata Alex.

Meski diakuinya urusan limbah masih menjadi persoalan, Alex mengklaim bahwa kondisi saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang pada 1990-an. Ketika itu, katanya, pengusaha karet membuang limbahnya ke Sungai Musi tanpa mengolahnya terlebih dahulu.

Ia pun menimpakan sebagian kesalahan kepada para petani karet di daerah hulu. Sebab, para petani selama ini biasa merendam karet dengan air agar beratnya bertambah. Mereka pun kerap memasukkan zat-zat berbahaya untuk mengeraskan karet. Alhasil, limbah yang dihasilkan pabrik menjadi sangat buruk kualitasnya dan tak jarang meninggalkan bau menyengat. ”Air merupakan media yang paling diminati bakteri penyebar bau,” kata Alex.

Apa pun pernyataan Alex, buat Dolly, pemerintah daerah telah gagal mengelola lingkungan dan menegakkan peraturan. Salah satu buktinya, kata dia, ”Sampai saat ini belum ada pengusaha karet yang dikenai sanksi.” Padahal sejatinya pemerintah bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Dengan aturan ini, semua perusahaan wajib menerapkan instalasi pengolahan limbah yang sesuai dengan standar.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Amri Wikana Toha membantah keras tuduhan Walhi. Selain melakukan pembinaan, kata Amri, pihaknya menjatuhkan sanksi administratif kepada perusahaan-perusahaan yang melanggar. ”Kalau sanksi pidana dan perdata bukan domain kami,” ujarnya. Langkah lainnya, pabrik-pabrik karet telah diminta memperbaiki sistem pengolahan limbah.

Bantahan juga datang dari Hadelin Ugihan, Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Lingkungan Bapedalda. Menurut dia, sejak tahun 2000, pabrik karet sudah memperhatikan persoalan lingkungan. Mereka tidak lagi membuang limbahnya langsung ke Sungai Musi. Sebab, pembeli karet dari luar negeri ikut mengawasi. ”Jika itu tidak dipatuhi, produk mereka tak akan laku,” katanya.

Berangkat dari asumsi itu, Hadelin pun menyatakan pencemaran Sungai Musi tidak hanya berasal dari pabrik di sepanjang sungai. Lagi pula, ia menambahkan, ”Limbah domestik seperti dari rumah tangga menyumbang sekitar 50 persen.” Hal ini terkait dengan perilaku masyarakat yang terbiasa membuang sampah di sungai. Belum lagi buruknya sanitasi dan drainase permukiman di sepanjang sungai.

Sungai Musi kini ibarat tong sampah raksasa. Membentang 460 kilometer dengan delapan anak sungai, Musi tak kuasa lagi menampung sampah yang terus membanjir.

Tak ada lagi cahaya terpantul dari air jernih dan murni, seperti digambarkan Sutan Takdir Alisjahbana dalam romannya yang terkenal, Dian yang Tak Kunjung Padam. Yang tersisa tinggallah serakan sampah plastik, potongan kayu, dan eceng gondok, yang bercampur dengan cairan pekat hitam limbah pabrik karet.

Untung Widyanto, Arif Ardiansyah (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus