Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA usia 69, ia masih terlihat sehat dan segar. Suhu dingin menusuk tulang di pengujung musim gugur tak menghambatnya menyambut ramah Tempo di tepi jalan. Asahan Aidit kemudian mengajak menyusuri lekuk liku kompleks tempat tinggalnya di Hoofddorp, daerah pinggiran Schiphol, Belanda.
Rumah petak bertingkat yang dihuninya tipikal rumah-rumah pinggiran kota. Di sanalah ia menetap sejak 1984. Istrinya, Sen-seorang perempuan Vietnam-sedang ke luar rumah. Detak jam tua di atas lemari terdengar seperti waktu yang terus mendesak.
Banyak sudah peristiwa yang dilalui pria kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, 4 Desember 1938, ini. Sebagai anggota PKI dan adik Dipa Nusantara Aidit, dia tertahan di negeri jauh, dimusuhi banyak orang, dan beberapa kali terpaksa mengganti nama.
Semua luka itu belum kering, tapi Asahan menganggapnya sudah berlalu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah hidup tenang bersama sang istri. "Saya bukan utopis," katanya. "Saya realistis. Dunia berubah, masa lalu tertinggal di belakang." Dia kini menenggelamkan diri dengan dunia yang dicintainya sejak dulu: menulis prosa dan puisi. Sambil menghirup kopi panas, ia menuturkan banyak hal kepada Asmayani Kusrini dari Tempo.
Bagaimana pergaulan Anda sebagai sastrawan pada 1960-an?
Saya bersastra sendirian. Saya bukan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat-Red.), meski saya tahu tokoh-tokoh Lekra. Abang saya sendiri, Sobron Aidit, adalah tokoh Lekra yang aktif. Saya kadang-kadang ketemu mereka, Agam Wispi misalnya. Tapi saya juga ketemu semua orang. Saya mengirim sajak ke mana-mana, tidak terbatas pada terbitan Lekra. Waktu itu sajak saya belum banyak, tapi sudah masuk Mimbar Indonesia, Waktu, dan lain-lain.
Apa tema puisi Anda saat itu?
Bebas. Saya enggak pernah membuat program dan membatasi diri dengan tema tertentu. Begitu terpikir apa saja, saya tulis. Saya lihat kehidupan gembel atau pelacur di Jakarta, ya, saya tulis.
Anda tidak bergabung dengan kelompok sastrawan mana pun?
Enggak, sama sekali tidak.
Mengapa tidak?
Memang tidak tertarik. Saya hanya merasa, bila saya menulis, saya tidak mewakili siapa-siapa kecuali diri saya sendiri. Abang saya yang Ketua PKI tidak pernah bertanya apakah saya anggota Lekra. Dia sangat peka, dan tahu harus sangat berhati-hati bila berhadapan dengan para sastrawan atau seniman.
Aidit tak pernah meminta Anda menjadi anggota Lekra?
Bila abang saya salah bertanya, umpamanya, mengapa saya tidak menjadi anggota Lekra, dia akan terjerumus oleh jawaban saya: "Mengapa harus menjadi anggota Lekra?" Dan bila dia berani memberikan jawaban, "Ya, sastrawan komunis harus masuk Lekra, itu wajar saja," pasti akan saya jawab, "Apakah tanpa menjadi anggota Lekra, keanggotaan PKI saya lalu batal?"
Bukankah Lekra identik dengan PKI?
Seniman atau sastrawan selalu makhluk rumit. Karenanya, PKI tidak pernah mengendalikan Lekra seperti yang banyak dipikirkan orang. Makhluk liar itu bila dikendalikan siapa saja akan cepat bubar dan berantakan. Lekra tidak pernah bubar selama berdampingan dengan PKI karena PKI bisa memahami kepekaan makhluk liar itu dan membiarkan keliarannya dalam pengaruh baik PKI.
Ada contoh keanehan seniman Lekra?
Jangan jauh-jauh. Sobron waktu itu sudah terkenal namanya sebagai seniman dan penyair. Suatu hari, saya saksikan dia datang ke rumah, ngobrol. Dengan spontan dia cerita, "Wah, saya baru saja baca buku. Bagus banget." Buku apa? Dale Carnegie. Judulnya How to Win Friends and Influence People. Menurut Sobron, dia sudah mempraktekkan ilmu dari buku itu. Ternyata hasilnya luar biasa.
Apa anehnya membaca buku Dale Carnegie?
Karena buku itu menganjurkan pembacanya rajin memuji orang lain sehingga orang tersebut mengikuti kemauan kita. Abang saya, Aidit, mengatakan, "Itu kan ilmunya borjuasi, ilmu untuk nipu orang." Saya pikir betul juga. Memuji-muji orang supaya dia senang sama kita, itu kan nipu. Itu beda banget dengan ideologi komunisme. Komunisme itu menyenangkan kehidupan rakyat. Tapi pengaruh buku itu sangat kuat pada diri Sobron. Sampai kematiannya, ia punya teman banyak di mana-mana. Dia pandai bergaul. Itu bukan bakat. Ada ilmunya itu.
Jadi bagaimana persisnya PKI memandang Lekra?
Isi kepala seorang seniman sulit diubah. Partai menyadari seniman sangat sulit diurus. Tapi bahwa ada Lekra, ada organisasi seniman, itu baik. Lekra bukan organisasi revolusioner. Orientasinya kepada rakyat. Dia mempromosikan kesenian rakyat. Itu kan baik semua. PKI tidak punya kuasa atas Lekra. PKI tidak pernah menyuruh ini-itu ke Lekra. Enggak mungkin bisa.
Bukankah orientasi kepada rakyat merupakan program PKI?
Di sini kan yang penting garis. Garis PKI tidak ada dalam Lekra. Kalau sejalan, ya. Itu karena dia punya moto: kesenian mewakili rakyat. Itu sesuai dengan cita-cita PKI. Tapi bukan berarti Lekra sudah jadi cabang suara PKI. Itu sama sekali tidak benar. Lekra sangat sulit dikemudikan. PKI menyadari soal itu, jadi boro-boro mau ngasih instruksi.
Anda menyukai kebebasan. Karena itu, tak mau bergabung dengan Lekra?
Lekra saya anggap terlalu antusias. Mereka sangat antusias membatasi karya untuk rakyat. Pokoknya, harus mewakili rakyat! Galak, deh.
Ketika Manifes Kebudayaan diumumkan, Anda di Moskow. Apa pendapat Anda tentang soal itu?
Tentang Manifes Kebudayaan, saya tidak banyak menerima informasi. Bahkan di dalam partai sendiri tidak pernah ada diskusi mengenai itu. Saya dengar pembicaraan dalam koridor universitas dari sesama teman mahasiswa Indonesia. Situasi yang saya dapatkan ketika itu ialah kalangan militer semakin panik karena meningkatnya pengaruh PKI di tubuh mereka.
Sikap kalangan PKI sendiri seperti apa?
Ketua PKI pernah mengatakan, "Siap-siap bila piring mangkuk akan berpecahan." Peringatan itu lalu ditafsirkan orang secara salah kaprah, terutama sesudah G-30-S, seolah PKI akan mengadakan pemberontakan. Padahal peringatan semacam itu justru karena PKI, yang menempuh jalan damai, harus pandai karena tidak punya senjata dan tidak bermaksud memberontak, agar menyiapkan diri pagi-pagi untuk mempertahankan diri, menyelamatkan diri.
Setelah puluhan tahun, aktivis Lekra, Kohar Ibrahim, menulis bahwa Manifes Kebudayaan mempanglimakan politik kaum militer. Mereka, menurut dia, menjalankan politik yang paling kotor dan keji. Apa pendapat Anda?
Kohar Ibrahim adalah teman baik saya. Saya menghargai pendapatnya, tapi bukan berarti saya setuju dengan semua pendapatnya. Seperti yang sudah pernah saya katakan, panglima saya adalah saya sendiri. Panglima orang lain panglima orang lainlah. Perdebatan antara Lekra dan penanda tangan Manifes Kebudayaan sesungguhnya perang Pram (Pramoedya Ananta Toer-Red.) pribadi dengan mereka. Tidak bisa kita katakan bahwa itu adalah perdebatan antara Lekra dan Manifes Kebudayaan. Coba aja baca. Semua itu kan kata-kata Pramoedya?
Jadi Pramoedya tidak mewakili Lekra?
Pram tidak mudah mewakili orang banyak. Perdebatan itu tidak seratus persen Lekra versus Manikebu. Yang pokok itu Pram. Itu adalah bahasanya Pram, bukan bahasa Lekra. Lekra itu kan banyak? Enggak mungkin mereka menyuruh Pram ngomong. Pram aja yang jawab semua. Coba saja lihat seniman-seniman sekarang. Jangankan dulu, sekarang saja seniman-seniman masih berkelahi enggak jelas. Seniman itu enggak mungkin disetir. Masak, anggota Lekra begitu mudahnya disetir oleh PKI? Enggak ada itu.
Mencuatnya kembali perdebatan lama antara Manifes Kebudayaan dan Lekra apakah bermanfaat bagi generasi sekarang?
Tergantung perkembangan perdebatan itu sendiri. Mungkin saja masih ada manfaatnya, tapi mungkin saja tidak, dan hanya menimbulkan rasa perseteruan yang terbangunkan kembali, dan tidak produktif. Namun perdebatan yang tergelincir kembali mempersoalkan sastra untuk siapa, seni untuk seni, seni untuk rakyat, humanisme universal, realisme sosialis, dan semacamnya sudah tidak pada tempatnya dan kontraproduktif di abad kita sekarang ini.
Mengapa kontraproduktif?
Jangan menjegal jauh-jauh, dan menetapkan sastra untuk siapa, dan harus bagaimana. Itu akan mematikan kreativitas, bahkan bisa menghambat perkembangan sastra itu sendiri. Sastrawan sebaiknya lebih banyak memikirkan bagaimana karyanya bisa menarik dan enak dibaca, daripada terlalu sibuk memikirkan atau menentukan saya menulis untuk siapa dan mengabdi apa.
Apa salahnya berpikir seperti itu?
Buat apa berpikir mengabdi siapa: rakyat atau seni? Kalau karyanya jelek, akhirnya tidak untuk siapa-siapa dan tidak mengabdi apa-apa kecuali menghasilkan tumpukan kertas tak berguna, yang bak "pencalang sarat tiada ke timur tiada ke barat". Tapi, kalau perdebatan beralih ke arah penilaian kembali perkembangan sastra Indonesia ataupun kemacetannya, dan menemukan sebab-sebabnya, itu mungkin akan punya nilai produktif.
Anda melihat sastra Indonesia mengalami kemacetan?
Sastra Indonesia, baik modern maupun klasik, terlalu sedikit yang "go international". Sedikit yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, terutama ke dalam bahasa modern seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Spanyol.
Apakah masih mungkin muncul manfaat dari perdebatan sastra?
Bila bisa mengarah ke satu perdebatan produktif dan menemukan pemikiran-pemikiran baru, perdebatan apa pun bisa bermanfaat. Tidak tergantung apakah "lagu lama" atau "barang basi". Jadi kita tak perlu cepat-cepat apriori menyetop perdebatan antara Lekra dan Manifes Kebudayaan. Indonesia sedang ketagihan, bahkan maniak, berdebat dan bertengkar, dan ribut-ribut. Jangan semuanya disetop. Kadang-kadang masturbasi verbal juga perlu dilampiaskan.
Ada yang menuding Anda mendiskreditkan dan mengkhianati abang sendiri, setelah membaca buku-buku Anda.
Tudingan itu pernah saya jawab melalui Internet. Saya katakan, jelas orang yang menuding demikian tidak membaca buku-buku saya, atau membaca tapi tidak mengerti. Atau dia cuma dengar-dengar, lalu karena rasa sentimen terhadap saya, menyerang dan ingin merusak nama saya. Semacam pembunuhan karakter terhadap saya. Dan yang terjadi adalah "Anjing menggonggong kena lindas kafilah".
Mengapa Anda menyebut diri sendiri komunis abangan?
Saya menulis roman memoar berjudul Alhamdulillah. Artinya, ada yang bersifat memoar, tapi pada pokoknya adalah sebuah karya fiksi. Roman saya yang terdahulu, Perang dan Kembang, sepenuhnya novel. Tapi, dalam sebuah resensi di Kompas, penulis resensi memperlakukan roman itu sebagai otobiografi saya. Itu kekeliruan besar. Saya tidak menulis roman otobiografi.
Mungkin karena sang tokoh dalam roman itu menyebut dirinya "Aku"?
Kalau protagonis dalam roman itu menyebut dirinya "Aku", itu tidak bisa diidentikkan sebagai sang penulis roman. Bila sang protagonis mengakui dirinya sebagai "komunis abangan", itu kan bisa diartikan sebagai otokritik darinya dan juga mungkin bisa berlaku pada banyak orang lain yang sebarisan atau sejenis dia. Kalau tuduhan otomatis dilemparkan kepada sang penulis, itu sudah terang bukan pendapat pembaca yang cerdas.
Banyak hal sekarang sudah berubah. Apakah Anda juga mengalami perubahan ideologi atau pemikiran?
Tentu saja saya turut berubah dan, karena itu pula, pikiran-pikiran baru saya ditentang oleh sementara orang, terutama sebagian kecil orang bekas satu kandang dengan saya di waktu lalu. Pikiran baru saya harus dicari dalam berbagai buku yang saya tulis, yang sudah diserang oleh sejumlah kecil orang.
Sebagai sastrawan eksil, apakah Anda merasa terpaku pada Tanah Air dan itu menjadi semacam pagar kreativitas?
Saya menulis tentang manusia-manusia bangsa saya dan di tanah air saya, tapi saya juga menulis pengalaman-pengalaman selama berada di luar negeri, terutama ketika masih jadi mahasiswa di berbagai negeri. Saya tidak punya "pagar kreativitas", tapi memang kadang-kadang menemui "kebuntuan kreativitas".
Apa yang Anda lakukan ketika mengalami kebuntuan dalam berkarya?
Bila itu terjadi, saya tak memaksa diri. Tenang saja di rumah, dan mulai membaca secara lebih intensif. Bagi saya, membaca dan berkreativitas sama pentingnya. Dua-duanya saya lakukan bila ada hasrat. Bila sedang tidak ada hasrat, saya jalan-jalan sepanjang hari dan "persetan dengan sastra!" hingga "setan" itu kembali menyalami saya. Pemaksaan dalam kreativitas adalah kegagalan, dan itu sangat membunuh semangat.
Bagaimana cara Anda mengikuti perkembangan dunia sastra Indonesia sekarang?
Saya terpisah dengan Tanah Air begitu lama, bahkan akan hampir seumur hidup. Sastra Indonesia saya ikuti dari buku-buku yang sebagian besar disuplai oleh teman saya, Ayip Rosidi. Belakangan juga dari berita-berita tak seberapa di Internet. Saya tidak bisa melihat perkembangannya dari dekat dan langsung. Hak bicara saya sangat sedikit, atau mungkin saya tidak punya hak bicara.
Apa penilaian Anda terhadap sastrawan dari generasi lebih muda?
Saya kira munculnya seorang Ayu Utami dalam sastra Indonesia modern bisa membuka perspektif yang menginternasional. Dia seorang pengarang wanita yang berani mengatakan semua saja yang dia rasakan, lihat, dan alami dengan bahasa jelas, terus terang, tapi tidak banal. Bahkan terasa mendalam meskipun terkadang bisa berdiri bulu kuduk. Tapi justru di sini salah satu keunggulan Ayu Utami.
Tahukah Anda, gaya penulisan Ayu Utami diserang oleh beberapa pengarang lain?
Dia masih banyak keunggulannya yang lain, dan itu bagi pengarang yang tidak satu selera dengannya bisa menimbulkan rasa iri hati. Tapi kesusastraan tidak bisa dihambat hanya dengan iri hati. Sastra selalu kompetisi yang tak habis-habisnya, dan para pemenang silih berganti. Ada yang menjadi pemenang klasik, ada yang macet di tempat, ada yang tenggelam sama sekali.
Mungkinkah ada hegemoni dalam dunia sastra?
Sastra tidak cuma estetika semata, tapi juga ideologi, bahkan bisa politik. Tapi sastra juga sebuah kamar kosong yang bisa dimasuki siapa saja, lalu memberikan papan nama pada pintunya masing-masing. Sastra bukan sebuah gedung raksasa milik orang-orang tertentu, melainkan berjuta-juta kamar kosong yang menunggu peminat dan pemiliknya. Lalu setiap peminat sastra bisa mengetuk sendiri kamar-kamar mana yang dia sukai setelah dia berkenalan dengan si pemilik kamar.
Di antara pemilik kamar bisa terjadi pertengkaran?
Bila terjadi pertengkaran di antara tetangga kamar sastra, sebaiknya jangan sampai main bakar. Setiap sastrawan punya hak atas kebebasannya sendiri-sendiri. Boleh bertengkar, tapi tak perlu mengarah ke ekstremitas. Bangunlah kompetisi yang sehat dan menyehatkan sastra itu sendiri.
Asahan Aidit
Tempat dan tanggal lahir: Tanjung Pandan, Belitung, 4 Desember 1938
Pendidikan:
- Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1961
- Magister, Fakultas Filologi, Moskow, 1966
- Doktor, Universitas Hanoi, Vietnam, 1978
Kegiatan:
- Mulai menulis sejak 1950-an.
- Kumpulan puisi dan prosanya diterbitkan dalam berbagai buku.
- Menjadi eksil sejak 1962, tinggal di berbagai negara: Uni Soviet, Cina, dan Vietnam. Sekarang menetap di Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo