Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Potret Manusia-manusia Kesepian

Art Summit mendatangkan Constanza Macras dan grupnya: Dorky Park, yang dianggap mewakili salah satu tren terbaru tari kontemporer Jerman.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki itu bernama Knut Helmut Berger. Ia bercerita, pada umur 14 tahun, pamannya—Paman Berthold yang gemuk, pendek, dan tak pernah melakukan hubungan seks—membelikannya sepatu Converse All Star. Dan suatu sore, anak-anak punk melihat ia berjalan dengan sepatu barunya itu, lalu menghujaninya dengan batu. Ia lari, menangis.

Perempuan itu bernama Jill Emerson. Ia berdiri, tangannya seolah menelepon, seakan melakukan hubungan interlokal. Ia nekat meninggalkan negaranya untuk mengembangkan diri sebagai penari. ”Pa, jangan khawatir, aku bertahan hidup di sini. Di sini aku juga bekerja sebagai penjaga toko buku. Bayangkan, Pa, aku menari sampai Bratislava,” katanya.

Inilah I’m Not the Only One karya Constanza Macras, 37 tahun. Menyaksikan karya koreografer asal Argentina yang bermukim di Berlin itu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, seperti menonton sebuah kolase kenangan yang energetik. Berbentuk teater tari, ia membiarkan aktor dan penarinya berdialog, bercengkerama, bergerak bebas, dengan sorotan video yang menampilkan ingatan-ingatan intim.

Karya ini adalah sebuah seri bertema kampung halaman. Macras ingin melihat apa yang paling diingat oleh pendatang di metropolis seperti Berlin itu: keluarga, makanan, hewan kesayangan, atau tak ada sama sekali? Publik Jakarta berkesempatan menyaksikan bagian pertama dan kedua dari proyek Macras ini.

Bagian pertama I’m Not the Only One lebih menekankan unsur teatrikal. Selain menampilkan Berger dan Jill, Macras menampilkan tokoh bernama Hyoung Min yang selalu teringat Korea dan Jared yang terlihat memiliki kenangan akan Meksiko dan tengah belajar bahasa Spanyol. Tidak tahu apakah materi pertunjukan diambil dari pengalaman para aktor sesungguhnya karena nama tokoh di panggung sama dengan nama asli para pemain. Cara Macras menyuguhkan pengalaman tokohnya itu bukan dengan fragmen-fragmen yang ketat, terpisah satu sama lain, melainkan dengan mencampur aduk, saling menyilangkan.

Penonton dapat memahami dialog-dialog Jerman lantaran terjemahan Inggrisnya ditampilkan di layar besar. Melalui layar itu juga disorotkan video yang menampilkan hal-hal yang menancap di benak mereka dari kampung halaman. Dan kita melihat ingatan mereka unik-unik. Ketika Jill terhuyung-huyung menari sembari membawa gitar, di dinding tersorot dokumentasi film sebuah topan besar yang mengakibatkan seekor sapi terbawa angin melayang di udara. Atau, ketika ia menelepon keluarganya, di dinding tersorot satu kejadian di peternakan kuda—dengan tangan terbungkus plastik, seorang perempuan belajar memasukkan jari-jarinya ke anus kuda.

Jared mengingat karnaval di pasar-pasar Meksiko dan Knut Berger mengingat kotanya yang kecil. Ia ingat satu per satu wajah warga kota, juga dinding-dinding di kotanya yang ditempeli poster besar wajah Kurt Cobain dengan tulisan ”I Hate myself, I want to Die” dan poster film Matrix Reloaded.

Di tangan Macras, tari bukan lagi sebuah pertunjukan yang berusaha menampilkan bloking-bloking yang indah. Tubuh bukan lagi medium untuk menyampaikan simbol-simbol yang cantik. Berger, Jill, Hyoung Min, dan Jared, keempatnya menyampaikan memori personal dan menghadirkan peristiwa keseharian mereka dengan gaya yang bebas. Gerak-gerak mereka tak beraturan, campuran balet, pantomim, akrobat, jumpalitan ala anak muda, pecicilan, segar, dengan iringan musik langsung, piano, biola, drum.

Lihatlah Jill Emerson itu. Ia melemparkan sepatu haknya dan dengan girang berputar-putar menari dengan roknya terangkat ke atas. Atau sering ia melangkah ke ”boks telepon” dan dengan santai membuka bajunya, telanjang. Atau ia menyanyi dengan mengulur-ulur kabel mikrofon. Atau dengan tubuh hanya berbalut BH dan celana dalam hitam ia melakukan gerakan tari—yang mempermainkan sebuah bolpoin di sela-sela jari kakinya,

Akan halnya Jarred, tindak-tanduknya sedari awal sudah aneh. Ia mulanya berdiri kaku, dari ujung rambut sampai kaki dibalut kostum putih bertotol-totol merah, mengingatkan pada sosok joker tapi dengan bagian muka yang terbuka, tanpa make-up. Set untuknya mengandaikan sebuah kamar yang berantakan, penuh baju bertebaran dan kotak jus. Ia mungkin bekerja sebagai penyiar radio karena ia mengoceh terus-menerus seolah melakukan dialog interaktif dengan pendengar. Perilakunya banal. Ia berjalan dengan kursi menempel di bokong—atau terjengkang di atas kursi yang diikat kain.

Macras menghadirkan ”clash of civilization”—benturan-benturan dalam kehidupan kecil sehari-hari. Benturan mulai hubungan asmara antar-”ras”. Adegan persanggamaan di bangku antara Hyoung Min dan Jared yang dilakukan dengan ”keras” tanpa kesan erotik sama sekali itu, misalnya, diawali pertengkaran hebat di antara keduanya, lempar-melempar kain, banting-membanting kursi.

Atau benturan lantaran urusan-urusan kesalahpahaman bahasa atau masalah sekuriti. Ada adegan Hyoung Min yang ingin mengirim kain ke Korea dengan paket kilat. Namun terjadi pertengkaran dengan petugas karena kesalahmengertian apakah harus dipak atau tidak. ”I don’t speak your language!”

Juga ketika Jill mengamen, dan dimintai tiket masuk. ”This is my first day in Berlin,” katanya. Lalu Berger yang menjadi petugas mengucap, ”Passport, passport!” Ia meminta paspor. ”Me? But I’m a blonde,” jawab Jill. Ia heran mengapa ia yang orang Eropa, bukan Asia-Afrika, diperlakukan seperti orang lain. Sama ketika ia dengan gelisah menggendong bas drum di punggungnya, mondar-mandir ke sana-kemari, sembari berkisah bagaimana bagasinya dianggap overweight di bandara.

Jelas, carut-marut kehidupan yang disajikan Macras bersangkut-paut suka-duka menjadi imigran. Yang menarik, tiba-tiba kemudian mereka bersama-sama menyanyi. Berger berdiri, meniup seruling, diikuti semuanya menyanyikan lagu Nirvana, Come As You Are. Meski instrumental, bagi penonton yang tahu, liriknya berurusan tentang diri dan kenangan. Come as you were, as an old enemy, as an old memoria…. Atau tiba-tiba Jared terkapar sembari melantunkan lagu yang bercerita tentang seseorang yang mendadak bangun pukul dua pagi dan berkeinginan bunuh diri. Cause suicide is painless…. It bring many changes….

Terasa pahit. Terasa bahwa tinggal tak berakar dalam negeri orang lain memiliki banyak kesenangan global tapi juga risiko. ”Saya ingin karya saya menampilkan batas antara kesakitan dan kelucuan,” kata Macras dengan bahasa Inggris yang cepat kepada Tempo. Ia terasa ingin memotret potret multikultural kehidupan Berlin yang ditemuinya.

Ia melihat bahwa perjalanan menjadi ”orang asing” itu seperti perjalanan dalam banyak kisah mitologi dan dongeng. ”Saya suka Joseph Campbel,” katanya. Campbel adalah ahli mitologi Amerika yang karyanya mengilhami George Lucas untuk membuat Star Wars. Itulah sebabnya tiba-tiba dalam pertunjukan malam itu Jill menari dengan mengenakan topeng Master Yoda, atau Jared mengenakan topeng Darth Vader. Pada I’m Not the Only One bagian kedua, unsur mitologis lebih banyak diolah Macras. Seorang penarinya membawa akordeon, lalu berkisah tentang sebuah kerajaan yang dihuni katak-katak, keledai, kurcaci-kurcaci.

Terlatih dalam tradisi Merce Cunningham, seorang raksasa tari kontemporer Amerika yang banyak memberi peluang pada unsur-unsur tak terduga dalam panggung, Macras mengaku mengembangkan prinsip-prinsip gurunya itu dengan physical theater. Dalam sebuah lokakarya yang diikuti pekerja teater dan penari kita, Macras mengajarkan teknik jatuh-bangun, mengempaskan diri. Di panggung, teknik dieksplorasi dengan membuat banyak gerakan dengan volume dilebih-lebihkan, diisi dialog-dialog aneh dengan interaksi fisik yang muskil, yang semuanya itu diistilahkannya perfect fake.

Seorang kritikus Jerman menggolongkan kemunculan Constanza Macras di belantika tari Jerman sebagai sayap ”New German Dance Comedy”. Memang malam itu penonton banyak tergelak. Misalnya ketika rekaman pelajaran bahasa Spanyol lamat-lamat memperdengarkan kalimat ”… suck your… suck your….” Atau ketika Jill dan Hyoung Min bernyanyi dengan lengking yang false.

Pada akhir I’m Not the Only One bagian pertama, di dinding tersorot sebuah jalan raya yang kosong. Dari kaca sebuah mobil yang berjalan kita melihat kanan-kiri tanah tertimbun salju. Tiang-tiang listrik berkelebatan. Suasana sunyi. Pada akhir I’m Not the Only One bagian kedua, di dinding tersorot lorong-lorong hiburan malam, tempat-tempat karaoke di Korea. Dan Hyoung Min kemudian menyanyi melengking sejadi-jadinya, seolah melampiaskan kerinduannya akan Korea.

Dua karya Constanza Macras itu, meski dipenuhi sosok-sosok yang belingsatan, tokoh-tokoh yang suka menyetel televisi dan radio sepanjang hari, suka pencilakan, dan suka hal-hal komikal, pada dasarnya menampilkan potret manusia-manusia kesepian.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus