KAMIS pagi, 25 Agustus. Penduduk ramai menciduk ikan di aliran
Kali Surabaya dekat jembatan Sepanjang. Ikan-ikan itu mabuk.
Keesokan harinya, gerombolan ikan yang mengambang lantaran
kehabisan zat asam melorot sampai dan Gunungsari Malam harinya,
sudah ada bahkah yang terbawa arus sungai sampai di Kali Mas
dalam batas kotamadya Surabaya.
Sementara rakyat kecil berpesta-pora makan ikan, dengan risiko
kulit gatal dan nyaris terkupas kena air sungai yang sudah cemar
para langananl air minum mulai kelabakan. Sejak hari-hari itu,
air minum yang mengucur dari instalasi penjernihan PAM di Jagir
sudah berwarna kuning jorok. Juga baunya amis. Maka banyak orang
yang mendingan mandi parfum ketimbang mandi air keran yang
jorok. Mereka yang mau mengambil air wudhu, di malam Minggu itu
terpaksa bertayamum - membasuh tangan dan kaki dengan pasir.
Pers Surabaya sendiri, sampai saat itu masih menghimbau penduduk
kota buaya itu agar tak cemas dengan perubahan warna dan bau air
kerannya. Tapi orang-orang di Bagian Produksi PAM makin risau
juga menyaksikan traLedi ikan semaput di hilir Kali Brantas.
Tengah malamnya, jam setengah satu memasuki Minggu 29 Agustus,
Kepala Bagian Produksi PAM - tanpa permisi dengan atasannya lagi
-- menghentikan produksi air minum dari Jagir.
Kata sebuah sumber di bagian produksi PAM Surabaya pada Slamet
Oerip Prihadi dari TEMPO "Ini memang belum hasil penelitian
laboratorium. Tapi dengan bertumpu kepada panca indera saja.
keadaan memang sudah gawat. Buktinya, ikan-ikan yang mati bukan
saja dari jenis yang hidup di bagian atas dekat permukaan air.
Malah telah merembet sampai ke jenis ikan yang hidup di dasar
sungai, misalnya ikan wager, dan lele. Pun warna keruh yang
tadinya bisa hilang setelah dimasak, sekarang sudah tak bisa
hilang. Makanya tanpa menunggu lama lagi, produksi kami hentikan.
Penyetopan pipa PAM ini bukan baru pertama kalinya. Sudah kedua
kalinya dalam dua tahun terakhir. Dua tahun lalu, 2 Juli 1975,
PAM Surabaya juga terpaksa menghentikan produksi air minum dari
Jagir selama 6 jam, karena air bakunya tercemar oleh buangan
pabrik bumbu masak Mi-Won ke Kali Surabaya. Kini produksi distop
selama 15 jam: dari jam 00.30 tengah malah, sampai jam 15.30
sore harinya. Penduduk baru .nenerima kucuran pertama dari keran
waterledingnya paling cepat jam 17.30, menjelang berbuka puasa.
Penyetopan itu terjadi tengah malam ketika penduduk Surabaya
masih tidur lelap sebelum makan sahur. Jadi banyak yang tak
menyana. Seorang penduduk di Pucang Anom Timur II/22 bangun
tidur langsung ke kakus. Hajat sudah tunai, baru disadarinya
bahwa bak airnya kosong. Dan kerannya tak kunjung mengucurkan
air. Terpaksa finishing di sumur. "Untung saya punya sumur,"
katanya sembari senyum.
Tapi Walikotamadya Suparno tak punya sumur. Sehabis mengontrol
keadaan instalasi air minum di Jagir, dia terus saja berangkat
dengan mobilnya ke rumah anaknya di Wonocolo -- sekitar 20 Km
dari pusat kota -- numpang mandi. Bahkan Gubernur Sunandar Priyo
sudarmo sendiri - yang sudah dilapori tentang polusi di Kali
Surabaya sejak mula kejadiannya - bangun tidur langsung mau
mengambil air wudhu buat sembahyang subuh. Nyatanya, dia hanya
kebagian tetesan-tetesan air terakhir yang kuning keruh dan
berbau itu. Dia juga kebetulan lagi punya beberapa tamu dari
Kanada. Mereka itu, pada hari Minggu yang naas itu, buru-buru
diungsikan ke Tretes - tempat peristirahatan dekat Surabaya yang
udaranya sejuk dan kaya air gunung.
Siang harinya, instalasi Jagir tak luput dari serbuan sejumlal1
penduduk. Maklumlah, sekitar 447 penduduk kota Surabaya yang
jumlallnya 2 juta jiwa lebih itu tergantung pada air dari PAM.
Memang, hanya 17% berlangganan langsung. Sisanya membeli air
minum yang dijajakan dengan gerobak. Soalnya, kebanyakan sumur
di Surabaya airnya asin. Maka tak sedikit penduduk Surabaya yang
mandi dengan air sumur yang asin itu, tapi minum dan masak
dengan air tawar dari PAM. Penduduk pun ramai-ramai minta
keterangan kapan air PAM mancur lagi. Pada saat itu pula,
barangkali karena pengalaman tahull 1975, ada yang berteriak:
"Ini tentu sumbernya dari Mi-Won lagi!"
Dugaan itu ternyata tak jauh meleset. Cuma pabrik bumbu masak
eks-Korea itu kali ini tak sendirian dituding sebagai biang
kerok polusi Kali Surabaya. Miwon ditemani oleh pabrik kulit
tetangganya, PT Haka Surabaya Leather, yang sama-sama terletak
di Kecamatan Driyorejo di bilangan Kabupaten Gresik. Malah Sabtu
27 Agustus, saluran pembuangan air ampas PT Haka sudah lebih
dulu ditutup atas instruksi Gubernur via Bupati Gresik. Senin
Jam 1 siang semua alat produksi Haka dan Miwon disegel oleh
petugas dari Dinas Perindustrian Jatim yang Minggu pagi sudah
dapat instruksi per telepon dari Gubemur Sunandar.
Instruksi ini tak kalah mengejutkan ketimbang instruksi Gubernur
(waktu itu) Noer ketika menutup PT Miwon dua tahun lalu. Selain
kedua pabrik itu dilarang berproduksi sampai mereka benar-benar
tak membuang sampah industrinya langsung maupun tak langsung ke
Kali Surabaya, 4 pabrik lainnya juga dilarang buang hajat ke
Kali Surabaya. Keempat pabrik lain yang dijewer, meski tak
distop total seperti Haka dan Miwon, adalah pabrik korek api PT
Pakabaya, pabrik deterjen PT Jayabaya, pabnk kawat PT Surabaya
Wire, dan pabrik pipa PT Spindo.
Letak pabrik kawat dan pabrik pipa itu m1sih dalam bilangan
Kabupaten Gresik, sedang pabrik korek api dan deterjen itu di
Kecamatan Wonocolo, wilayah Kotamadya Surabaya. Keempatnya,
seperti juga PT Miwon membuang air bekasnya ke Kali Bambe --
sebuah sungai mini yang kemudian memuntahkan seluruh isi
perutnya ke Kali Surabaya.
Akibat pencemaran Kali Surabaya kali ini tampaknya lebih hebat
ketimbang dua tahun lalu. Meskipun air minum PAM hari Senin
sudah mengalir lagi dengan normal, instalasi Jagir belum dapat
menghilangkan warnanya yang keruh ke kuning-kuningan. "Warna
jernih baru bisa didapatkan paling cepat seminggu lagi," ujar
drs Alie Prayitno, Kepala Humas KMS (Kotamadya Surabaya) waktu
itu.
Pun bau amis air minum itu tak hilang segera setelah produksi
PAM yang mogok 15 jam itu dipulihkan kembali. Menurut sumber
TEMPO di PAM, warna yang suram itu bisa segera diatasi,
"seandainya instalasi kami sudah punya alat penjernihnya." Namun
karena yang dianggap lebih urgen oleh PAM adalah melayani
sebanyak mungkin penduduk kota Surabaya yang air tanahnya asin
itu, alat itu belum terbeli.
Akibat polusi sungai itu pula, PAM dibiayai ongkos produksi yang
semakin tinggi. Terutama di musim kemarau. Saat itu, "penggunaan
aluminium sulfat untuk mempercepat pengendapan, kalium
permanganat untuk menghilangkan lumut dan kaporit untuk
sterilisasi air minum terpaksa dilipatgandakan," tutur sumber
itu. Kalau dulu cukup satu ton, sekarang butuh dua ton. Dosis
bahan mentah pengolah air minum itu sudah berlipat ganda 2 x
sejak 1972, "karena mutu air baku yang diambil dari Kali
Surabaya tiap tahun tambah buruk," katanya lebih lanjut.
Akibat dosis zat-zat kimia yang semakin tinggi, ikan yang dalam
akuarium rumah anda yang diisi air dari PAM, akan mati. Begitu
pendapat sumber di Bagian Produksi PAM tadi. Namun lain lagi
pendapat ir. Dachlan, Direktur PAM. Katanya pada TEMPO: "Ikan
dalam akuarium mati bukan karena kebanyakan obat dalam air. Tapi
karena air bakunya semakin miskin oksigen."
Itu merupakan salah satu pertanda memburuknya mutu air baku PAM
dari Kali Surabaya. Menurut Dachlan, air itu "lebih banyak
dikotori oleh industri ketimbang penduduk yang membuang tinjanya
ke sungai itu." Alasannya: bakteri scherichia coli sebagai
polutan hayati utama yang bersarang dalam tinja manusia, masih
bisa diperangi dengan chloor. Tapi warna air Kali Surabaya yang
sehari-harinya sudah coklat kehitam-hitaman - apalagi setelah
masuk kota - karena campuran air buangan industri makin sulit
diperangi.
"Penduduk bertambah terus. Padahal Dinas Kesehatan Kota belum
pernah memberikan laporan coli positif dari air PAM yang mereka
periksa. Tapi industri yang baru belakangan ini mulai menjamur
sepanjang Kali Surabaya, sejak tahun 1975 telah mengganggu
produksi air PAM," kata ir. Dachlan.
Dia pun berpendapat, bahwa Miwonlah sumber polusi sungai yang
utama. Meskipun polusi Haka dan keempat pabrik lainnya tak juga
dapat diabaikan.
Kesimpulan itu dia tarik dari observasi orang-orang PAM sendiri
ke Kali Bambe dan Kali Surabaya. "Tanggal 13 Agustus, PT
Surabaya Wire sudah berhenti mengambil air pendingin dari Kali
Bambe. Kemudian tanggal 27, sebelum Miwon ditutup oleh Gubernur,
kami lihat sendiri air buangan dari Miwon sedang menghebat.
Mereka memang tidak membuang air bekasnya ke sungai, melainkan
ke sawah. Katanya karena petani yang minta, sebab air itu
mengandung pupuk. Bagaimana sisa produksi bahan bumbu masak
yang menggunakan tetes tebu sebagai bahan baku bisa menyuburkan
tanaman, saya tidak tahu." Menurut Dachlan pula, yang jelas, di
musim kemarau begini, air sungai lebih rendah permukaannya
ketimbang air sawah. Maka mengalirlah air buangan Miwon itu dari
sawah ke Kali Surabaya.
Bukan saja orang-orang PAM yang sudah lama sibuk memata-matai
Miwon dan pabrik lain di sepanjang Kali Surabaya. Juga para
petugas Team Pengendali Lingkungan Hidup (PPLH) Jawa Timur. Tim
antar-instansi yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur
itu dibentuk Agustus 1975, sebagai tindak lanjut setelah polusi
Miwon yang pertama. Ketua dan sekretarisnya tumpang tindih
dengan ketua & sekretaris Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah
(BKPMD) Jawa Timur, dengan inti teknis dari Dinas Pengairan
Propinsi. Dari Badan inilah lahirnya instruksi Gubernur yang
mel1utup Miwon dan Haka untuk sementala, serta melarang keempat
pabrik lainnya buang-air ke Kali Surabaya.
"Boleh dikata, SK Gubernur itu sudah merupakan peringatan yang
ketiga bagi keenam pabrik itu," kata drs. Soedjarwo, Sekretaris
Team PPLH kepada TEMPO. Tanggal 30 Oktober 1976 dan 21 Mei 1977
sudah ada peringatan kepada mereka, berdasarkan data analisa air
buangan yang diambil di belakang pabrik masing-masing. "Jadi
tidak betullah anggapan bahwa kami hanya reaktif saja, setelah
air minum tercemar," ujar Soedjarwo pula.
Atas petunjuk tim ini, keenam pabrik itu diperintahkan untuk
sementara membuang air bekasnya dalam tanki ke Kanal Wonokromo,
di hilir pintu air Jagir. Itu sebelum mereka mampu mengolah
kembali air buangannya di lingkungan pabriknya sendiri, sehingga
hanya air bersih saja yang dialirkan kembali ke Kali Surabaya.
Juga atas petunjuk tim itu pula, 10 hari kemudian Gubernur
mencabut kembali larangan produksi buat Haka, setelah pabrik
milik Ketua Asosiasi Kulit Indonesia. Haji Aminullah Thalib
Karim membangun bak pengendap air buangan di belakang pabriknya.
Kata Gubernur ketika mengumumkan hal itu dalam acara buka puasa
dengan wartawan di Surabaya, Jumat 9 September yang lalu:
"Keputusan itu diambil sebagai hasil monitoring kami secara diam
diam di 36 tempat di sana." Di samping itu ada alasan lain: 200
karyawan pabrik itu perlu diberi kesempatan ber-Lebarah dengan
THR dari perusahaan. Begitulah, Haka dapat kesempatan
menghabiskan stok kulit kambing dan sapinya yang macet dengan
syarat: air buangannya - yang menurut PAM ada mengandung amonium
(NH4) arsenicum dan cyanicla -- dilempar jauh, dengan mobil
tangki ke muara Kali Mas.
Sampai minggu sebelum Lebaran ketika TEMPO berkunjung ke sana,
Miwon belum berproduksi lagi. Yang tampak hanya kesibukan truk
sampah perusahaan bermodal Korea itu mengangkut ampas padat ke
tanah seluas 30 Ha di depan pabrik. Di sana ampas padat itu
ditimbun setelah diolah dengan gamping (kapur). "Maksudnya
sekaligus untuk menguruk tanah sawah itu untuk fundasi perluasan
pabrik Miwon nantinya " kata Chong-Hyon Paek, manajer pabrik itu
menjelaskan.
Tapi karena jumlah kotoran padat jauh lebih sedikit ketimbang
air bekas produksi + air pendinginan, "pengurukan sawah" itu
tentunya masih akan makan waktu lama. Kata seorang penjaga di
Miwon, baru setelah pabrik ditutup sementara untuk kedua
kalinya, dibangun sebuah tanggul rendah di sekitar tanah tempat
pembuangan sampah padat Miwon itu, di mana airnya sudah hampir
tandas. Beberapa bocah kampung sibuk mencari ikan sepat di
lumpur sawah itu. Di sebelahnya truk Miwon dengan kalem
mengaduk-aduk kotoran pabrik dengan kapur dan lumpur.
Miran, 48 tahun, seorang petani penggarap yang menjaga 12 Ha
sawah di sekitar areal tanah Miwon. tak punya keluhan terhadap
polusi air dari pabrik bumbu masak itu. "Airnya memang suka
berubah warna. Kadang-kadang hitam, kadang-kadang merah,
kadang-kadang kuning. Tapi tidak ada pengaruhnya terhadap
tanaman padi. Juga ikanikan di parit dekat pabrik itu tetap
hidup," katanya menjelaskan.
Dia membenarkan, bahwa pabrik itu justru membantu air irigasi
untuk sawah-sawah penduduk. Menurut pimpinan Miwon, luasnya
mencakup sampai 70 Ha. Apakah ke sana mengalir pula "pupuk
organis" yang menurut Chong-Hyon Park dicampur dengan air
buangan itu? Milan tak dapat menjelaskan. "Airnya biasa saja.
Tidak membuat tanaman tambah suhingga tidak perih di kaki,"
katanya sementara sibuk menjemur padi hasil garapannya.
Lain lagi keterangan penduduk di hilir Kali Bambe, tempat air
buangan dari Miwon dan empat pabrik lain yang ditegur oleh
Gubernur bertemu dengan arus Kali Surabaya. Kata beberapa
pencetak batu baa di sana, waktu itu muara Kali Bambe digenangi
cairan kental berwarna gelap seperti ter, yang kalau didekati
berbau sekali. Memang, ikanikan pada mengambang. Bukan semaput
lagi, tapi mati. Sedang anak-anak yang ramai-ramai turun ke air
menangkapi ikan-ikan itu, kulit kakinya pada lecet karena cairan
itu begitu melekat ke kulit. Tapi tentang orang yang mati
setelah makan ikan hasil tangkapan itu, belum terdengar
kasusnya.
Air kali yang tercemar itu, sudah hampir tak ada bekasnya. Sebab
segera setelah SK Gubernur 29 Agustus itu pabrik-pabrik yang
buang air ke Kali Bambe diperintahkan oleh Team PPLH menyedot
air itu ke darat, agar tidak terus terbuang seluruhnya ke Kali
Surabaya.
Perintah itu telah ditangani sendiri oleh Miwon, sebagai
perusahaan yang paling kuat modalnya di sana. Akibatnya, banyak
tanaman kacang milik penduduk di pinggir Kali Bambe yang
ditumpahi air kotor itu mati terendam, dan tak jadi panen.
Untunglan masih ada ganti rugi bagi petani-petani palawija itu,
yang besarnya sampai Rp 10 ribu. Anehnya, tanah bekas disirami
air Kali Bambe yang dikotori sekian pabrik itu, setelah kering
ternyata menyuburkan tanaman yang baru ditanam. Begitu cerita
penduduk di sana. Hal itu mungkin disebabkan oleh fosfat buangan
dari pabrik korek api PT Pakabaya. Fosfor memang merupakan zat
hara utama bagi tanaman di samping nitrogen dan kalium. Hanya,
kalau dosisnya berlebihan, ia akan merangsang tumbuhnya eceng
gondok, yang memang kaya di muara Kali Bambe.
Miwon memang sudah membuat fasilitas pengolah air buangan
setelah polusi tahun 1975. Namun ternyata konstruksinya
sederhana saja. Agak darurat. Sedang yang dikontrol dalam bak
berkisi-kisi yang penuh cairan hitam pekat berbau perengus itu
hanyalah derajat keasamannya. Alias pH, yang menurut ketentuan
Team PPLH hanya boleh bergoyang antara 6,5 dan 8,5. Sementara
itu BOD (bio-chemical oxygeen demand) alias kadar oksigen bebas,
yang harus tersedia dalam air buangan itu untuk memungkinkan
penguraian zat buangan organis secara 'alamiah', tanpa
mengganggu kehidupan ikan dan biota lainnya dalam air, tak
diukur di situ.
Maka ada kemungkinan bahwa matinya ikan-ikan di Kali Bambe dan
Kali Surabaya terutama akibat kehabisan zat asam bebas dalam
air. Plus permukaan air yang tertutup minyak, sehingga menyumbat
proses aerasi (pertukaran hawa) secara alamiah.
Itu masih mendingan ketimbang ikanikan itu tetap hidup tapi
menimbun polusi logam berat dalam perutnya, seperti air raksa
(mercury) di Minamata (1953). Ikan-ikan di perairan pulau Kyushu
itu masih sempat berenang dengan bebas, bagaikan 'bom waktu
hidup' - yang siap meledak dalam syaraf kucing dan manusia yang
memakannya. Waktu terjadi, lahirlah penyakit Minamata - yang
hampir sama mengerikan seperti perduduk Hiroshima dan Nagasaki
yang ketularan zat radio-aktif. Penyakit itu bisa menurun ke
anak-cucu.
Untunglah Jawa Tirnur cepat pasang kuda-kuda. Semenjak
pengalaman pahit yang pertama akibat polusi Miwon 1975, pemda
Jawa Timur menetapkan peraturan bahwa izin BKPMD untuk penanam
modal baru hanya dapat diberikan, apabila si pemohon izin dapat
meyakinkan BKPMD - dan otomatis juga Team PPLH - tentang cara
penanggulangan polusinya.
Berabenya, banyak pabrik sudah berdiri sebelum peraturan itu
keluar. 'Benteng' berikutnya adalah Peraturan Daerah No. 6/1955.
Ini hanya menetapkan denda Rp 10 ribu atau kurungan badan
maksimal 6 bulan. Bagi pencemar, ini terlalu ringan. "Sambil
merem saja denda seringan itu akan dapat dibayar oleh
cukong-cukong yang bikin polusi," komentar Alie Prayitno. Yang
kini telah dimutasikan menjadi Sekretaris Badan Perencana
Pembangunan Kodya Surabaya.
Fihak PAM Surabaya termasuk yang tidak puas juga dengan lemahnya
peraturan anti-polusi industri. Dengan tercemarnya Kali Surabaya
dalam waktu dekat PAM Surabaya terpaksa membangun pipa ke Kanal
Mangetan untuk menyadap air Kali Brantas sebelum dicemari di
Kali Surabaya (penggal antara Mojokerto dan batas kota
Surabaya).
Bijaksanakah? Kata ir Dachlan direktur PAM Surabaya pada George
Y. Adicondro dari TEMPO yang menemuinya di Surabaya: "Saya
sebenarnya kurang setuju. Di samping biayanya banyak untuk
ongkos investasi pipa ke Mangetan itu, masa' kami sebagai
penghuni lama yang harus mengalah pada penghuni baru -
pabrik-pabrik itu?. Dan juga, mengambil air di Kanal Mangetan
tak menutup kemungkinan polusi yang lebih ke hulu. Misalnya di
Mojokerto, atau Kertosono. yang juga dilalui Kali Brantas."
Makanya, meski dengan banyak pengeluaran ekstra, ada rencana PAM
Surabaya untuk membebaskan dirinya sama sekali dari
ketergantungan pada air. Kali Brantas. Yakni dengan menyedot
air dari sumber Umbulan dekat Pasuruan 80 km di selatan
Surabaya. Kata drs Soedjarwo sekretaris Team PPLH yang juga
merisaukan hal itu: "Yah, memang ongkos investasinya banyak.
Tapi karena air dari Umbulan itu bersih, biaya pengolahannya
akan jauh lebih murah dari pada biaya pengolahan air Kali
Brantas. Jadi dalam jangka panjang, lebih menguntungkan."
Namun sementara biaya untuk membangun pipa air 80 km dari
Umbulan ke Surabaya belum ada, ada usul Teamnya pada Gubernur
untuk menyatakan daerah aliran Kali Brantas mulai dari Kertosono
sebagai "daeran bebas polusi."
Masalah ini memang cukup memusingkan orang Surabaya. Tapi
untunglah, penduduk dan pemda di sana nampak lebih peka terhadap
polusi ketimbang Bandung atau Bogor. Sebab seperti kata
Soedjarwo pada TEMPO: "Di Surabaya hanya ada satu sungai
penting yang masuk kota. Dan digunakan beramai-ramai oleh
berbagai fihak. Pabrik-pabrik mengambil airnya, lalu membuang
kotorannya bersama air itu kembali ke sungai. PAM menimbanya
untuk air minum penduduk, tapi juga buat kapal-kapal di
pelabuhan Perak. Jadi kalau air minum yang kotor itu terbawa
oleh kapal ke luar negeri, kan kita juga yang malu? Sementara
itu, buat irigasi, juga digunakan air sungai ini."
Itu sebabnya, para sarjana dari ITS (Institut Teknologi 10
Nopember). Dinas Pengairan DPU serta instansi lainnya, sedang
sibuk berkecimpung dalam proyek penelitian polusi Kali Brantas.
Seperti dijelaskan oleh ir Hanafi Pratomo, dosen ITS yang juga
anggota team peneliti itu: "Hasil penelitian Brantas Pollution
Study ini nantinya akan dijadikan dasar untuk menyusun UU Anti
Polusi, yang diharapkan segera digarap oleh lembaga legislatif
kita." Debat soal pro dan- kontra polusi Miwon - yang pernah
berkobar antara pemda Kabupaten Gresik dan Kotamadya Surabaya,
tahun 1975 -- menurut Hanafi pula "tak perlu terjadi jika
Indonesia punya UU Anti Polusi yang jelas." Maksudnya, yang
menyebutkan secara pasti standar kwalitas air kali Surabaya -
maupun sungai-sungai lainnya -- yang diperkenankan. Juga standar
kwalitas air buangan industri yang diperkenankan.
Hanafi Pratomo cenderung menonjolkan peranan pemerintah dalam
soal pengendalian polusi begini. Sebab "pabrik Miwon di
Indonesia jelas berjalan dengan Miwon di Malaysia -- yang lebih
ketat dalam pengendalian polusinya." Dan bagi pengusaha sendiri,
memang lebih ringan diwajibkan memasukkan peralatan anti-polusi
dalam perencanaan sejak semula. Dari pada memasang belakangan,
yang membutuhkan perombakan dan biaya lebih besar. Belum lagi
pencemaran dan kerugian yang sudah tak dapat ditarik kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini