Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Racun Untuk Anda Surabaya...

Air kali surabaya kena polusi sampah industri pabrik yang dibuang ke sungai. warga kota protes. akibat air mengandung dosis zat kimia terlalu tinggi, mematikan ikan dan mahluk hidup lainnya.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMIS pagi, 25 Agustus. Penduduk ramai menciduk ikan di aliran Kali Surabaya dekat jembatan Sepanjang. Ikan-ikan itu mabuk. Keesokan harinya, gerombolan ikan yang mengambang lantaran kehabisan zat asam melorot sampai dan Gunungsari Malam harinya, sudah ada bahkah yang terbawa arus sungai sampai di Kali Mas dalam batas kotamadya Surabaya. Sementara rakyat kecil berpesta-pora makan ikan, dengan risiko kulit gatal dan nyaris terkupas kena air sungai yang sudah cemar para langananl air minum mulai kelabakan. Sejak hari-hari itu, air minum yang mengucur dari instalasi penjernihan PAM di Jagir sudah berwarna kuning jorok. Juga baunya amis. Maka banyak orang yang mendingan mandi parfum ketimbang mandi air keran yang jorok. Mereka yang mau mengambil air wudhu, di malam Minggu itu terpaksa bertayamum - membasuh tangan dan kaki dengan pasir. Pers Surabaya sendiri, sampai saat itu masih menghimbau penduduk kota buaya itu agar tak cemas dengan perubahan warna dan bau air kerannya. Tapi orang-orang di Bagian Produksi PAM makin risau juga menyaksikan traLedi ikan semaput di hilir Kali Brantas. Tengah malamnya, jam setengah satu memasuki Minggu 29 Agustus, Kepala Bagian Produksi PAM - tanpa permisi dengan atasannya lagi -- menghentikan produksi air minum dari Jagir. Kata sebuah sumber di bagian produksi PAM Surabaya pada Slamet Oerip Prihadi dari TEMPO "Ini memang belum hasil penelitian laboratorium. Tapi dengan bertumpu kepada panca indera saja. keadaan memang sudah gawat. Buktinya, ikan-ikan yang mati bukan saja dari jenis yang hidup di bagian atas dekat permukaan air. Malah telah merembet sampai ke jenis ikan yang hidup di dasar sungai, misalnya ikan wager, dan lele. Pun warna keruh yang tadinya bisa hilang setelah dimasak, sekarang sudah tak bisa hilang. Makanya tanpa menunggu lama lagi, produksi kami hentikan. Penyetopan pipa PAM ini bukan baru pertama kalinya. Sudah kedua kalinya dalam dua tahun terakhir. Dua tahun lalu, 2 Juli 1975, PAM Surabaya juga terpaksa menghentikan produksi air minum dari Jagir selama 6 jam, karena air bakunya tercemar oleh buangan pabrik bumbu masak Mi-Won ke Kali Surabaya. Kini produksi distop selama 15 jam: dari jam 00.30 tengah malah, sampai jam 15.30 sore harinya. Penduduk baru .nenerima kucuran pertama dari keran waterledingnya paling cepat jam 17.30, menjelang berbuka puasa. Penyetopan itu terjadi tengah malam ketika penduduk Surabaya masih tidur lelap sebelum makan sahur. Jadi banyak yang tak menyana. Seorang penduduk di Pucang Anom Timur II/22 bangun tidur langsung ke kakus. Hajat sudah tunai, baru disadarinya bahwa bak airnya kosong. Dan kerannya tak kunjung mengucurkan air. Terpaksa finishing di sumur. "Untung saya punya sumur," katanya sembari senyum. Tapi Walikotamadya Suparno tak punya sumur. Sehabis mengontrol keadaan instalasi air minum di Jagir, dia terus saja berangkat dengan mobilnya ke rumah anaknya di Wonocolo -- sekitar 20 Km dari pusat kota -- numpang mandi. Bahkan Gubernur Sunandar Priyo sudarmo sendiri - yang sudah dilapori tentang polusi di Kali Surabaya sejak mula kejadiannya - bangun tidur langsung mau mengambil air wudhu buat sembahyang subuh. Nyatanya, dia hanya kebagian tetesan-tetesan air terakhir yang kuning keruh dan berbau itu. Dia juga kebetulan lagi punya beberapa tamu dari Kanada. Mereka itu, pada hari Minggu yang naas itu, buru-buru diungsikan ke Tretes - tempat peristirahatan dekat Surabaya yang udaranya sejuk dan kaya air gunung. Siang harinya, instalasi Jagir tak luput dari serbuan sejumlal1 penduduk. Maklumlah, sekitar 447 penduduk kota Surabaya yang jumlallnya 2 juta jiwa lebih itu tergantung pada air dari PAM. Memang, hanya 17% berlangganan langsung. Sisanya membeli air minum yang dijajakan dengan gerobak. Soalnya, kebanyakan sumur di Surabaya airnya asin. Maka tak sedikit penduduk Surabaya yang mandi dengan air sumur yang asin itu, tapi minum dan masak dengan air tawar dari PAM. Penduduk pun ramai-ramai minta keterangan kapan air PAM mancur lagi. Pada saat itu pula, barangkali karena pengalaman tahull 1975, ada yang berteriak: "Ini tentu sumbernya dari Mi-Won lagi!" Dugaan itu ternyata tak jauh meleset. Cuma pabrik bumbu masak eks-Korea itu kali ini tak sendirian dituding sebagai biang kerok polusi Kali Surabaya. Miwon ditemani oleh pabrik kulit tetangganya, PT Haka Surabaya Leather, yang sama-sama terletak di Kecamatan Driyorejo di bilangan Kabupaten Gresik. Malah Sabtu 27 Agustus, saluran pembuangan air ampas PT Haka sudah lebih dulu ditutup atas instruksi Gubernur via Bupati Gresik. Senin Jam 1 siang semua alat produksi Haka dan Miwon disegel oleh petugas dari Dinas Perindustrian Jatim yang Minggu pagi sudah dapat instruksi per telepon dari Gubemur Sunandar. Instruksi ini tak kalah mengejutkan ketimbang instruksi Gubernur (waktu itu) Noer ketika menutup PT Miwon dua tahun lalu. Selain kedua pabrik itu dilarang berproduksi sampai mereka benar-benar tak membuang sampah industrinya langsung maupun tak langsung ke Kali Surabaya, 4 pabrik lainnya juga dilarang buang hajat ke Kali Surabaya. Keempat pabrik lain yang dijewer, meski tak distop total seperti Haka dan Miwon, adalah pabrik korek api PT Pakabaya, pabrik deterjen PT Jayabaya, pabnk kawat PT Surabaya Wire, dan pabrik pipa PT Spindo. Letak pabrik kawat dan pabrik pipa itu m1sih dalam bilangan Kabupaten Gresik, sedang pabrik korek api dan deterjen itu di Kecamatan Wonocolo, wilayah Kotamadya Surabaya. Keempatnya, seperti juga PT Miwon membuang air bekasnya ke Kali Bambe -- sebuah sungai mini yang kemudian memuntahkan seluruh isi perutnya ke Kali Surabaya. Akibat pencemaran Kali Surabaya kali ini tampaknya lebih hebat ketimbang dua tahun lalu. Meskipun air minum PAM hari Senin sudah mengalir lagi dengan normal, instalasi Jagir belum dapat menghilangkan warnanya yang keruh ke kuning-kuningan. "Warna jernih baru bisa didapatkan paling cepat seminggu lagi," ujar drs Alie Prayitno, Kepala Humas KMS (Kotamadya Surabaya) waktu itu. Pun bau amis air minum itu tak hilang segera setelah produksi PAM yang mogok 15 jam itu dipulihkan kembali. Menurut sumber TEMPO di PAM, warna yang suram itu bisa segera diatasi, "seandainya instalasi kami sudah punya alat penjernihnya." Namun karena yang dianggap lebih urgen oleh PAM adalah melayani sebanyak mungkin penduduk kota Surabaya yang air tanahnya asin itu, alat itu belum terbeli. Akibat polusi sungai itu pula, PAM dibiayai ongkos produksi yang semakin tinggi. Terutama di musim kemarau. Saat itu, "penggunaan aluminium sulfat untuk mempercepat pengendapan, kalium permanganat untuk menghilangkan lumut dan kaporit untuk sterilisasi air minum terpaksa dilipatgandakan," tutur sumber itu. Kalau dulu cukup satu ton, sekarang butuh dua ton. Dosis bahan mentah pengolah air minum itu sudah berlipat ganda 2 x sejak 1972, "karena mutu air baku yang diambil dari Kali Surabaya tiap tahun tambah buruk," katanya lebih lanjut. Akibat dosis zat-zat kimia yang semakin tinggi, ikan yang dalam akuarium rumah anda yang diisi air dari PAM, akan mati. Begitu pendapat sumber di Bagian Produksi PAM tadi. Namun lain lagi pendapat ir. Dachlan, Direktur PAM. Katanya pada TEMPO: "Ikan dalam akuarium mati bukan karena kebanyakan obat dalam air. Tapi karena air bakunya semakin miskin oksigen." Itu merupakan salah satu pertanda memburuknya mutu air baku PAM dari Kali Surabaya. Menurut Dachlan, air itu "lebih banyak dikotori oleh industri ketimbang penduduk yang membuang tinjanya ke sungai itu." Alasannya: bakteri scherichia coli sebagai polutan hayati utama yang bersarang dalam tinja manusia, masih bisa diperangi dengan chloor. Tapi warna air Kali Surabaya yang sehari-harinya sudah coklat kehitam-hitaman - apalagi setelah masuk kota - karena campuran air buangan industri makin sulit diperangi. "Penduduk bertambah terus. Padahal Dinas Kesehatan Kota belum pernah memberikan laporan coli positif dari air PAM yang mereka periksa. Tapi industri yang baru belakangan ini mulai menjamur sepanjang Kali Surabaya, sejak tahun 1975 telah mengganggu produksi air PAM," kata ir. Dachlan. Dia pun berpendapat, bahwa Miwonlah sumber polusi sungai yang utama. Meskipun polusi Haka dan keempat pabrik lainnya tak juga dapat diabaikan. Kesimpulan itu dia tarik dari observasi orang-orang PAM sendiri ke Kali Bambe dan Kali Surabaya. "Tanggal 13 Agustus, PT Surabaya Wire sudah berhenti mengambil air pendingin dari Kali Bambe. Kemudian tanggal 27, sebelum Miwon ditutup oleh Gubernur, kami lihat sendiri air buangan dari Miwon sedang menghebat. Mereka memang tidak membuang air bekasnya ke sungai, melainkan ke sawah. Katanya karena petani yang minta, sebab air itu mengandung pupuk. Bagaimana sisa produksi bahan bumbu masak yang menggunakan tetes tebu sebagai bahan baku bisa menyuburkan tanaman, saya tidak tahu." Menurut Dachlan pula, yang jelas, di musim kemarau begini, air sungai lebih rendah permukaannya ketimbang air sawah. Maka mengalirlah air buangan Miwon itu dari sawah ke Kali Surabaya. Bukan saja orang-orang PAM yang sudah lama sibuk memata-matai Miwon dan pabrik lain di sepanjang Kali Surabaya. Juga para petugas Team Pengendali Lingkungan Hidup (PPLH) Jawa Timur. Tim antar-instansi yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur itu dibentuk Agustus 1975, sebagai tindak lanjut setelah polusi Miwon yang pertama. Ketua dan sekretarisnya tumpang tindih dengan ketua & sekretaris Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Jawa Timur, dengan inti teknis dari Dinas Pengairan Propinsi. Dari Badan inilah lahirnya instruksi Gubernur yang mel1utup Miwon dan Haka untuk sementala, serta melarang keempat pabrik lainnya buang-air ke Kali Surabaya. "Boleh dikata, SK Gubernur itu sudah merupakan peringatan yang ketiga bagi keenam pabrik itu," kata drs. Soedjarwo, Sekretaris Team PPLH kepada TEMPO. Tanggal 30 Oktober 1976 dan 21 Mei 1977 sudah ada peringatan kepada mereka, berdasarkan data analisa air buangan yang diambil di belakang pabrik masing-masing. "Jadi tidak betullah anggapan bahwa kami hanya reaktif saja, setelah air minum tercemar," ujar Soedjarwo pula. Atas petunjuk tim ini, keenam pabrik itu diperintahkan untuk sementara membuang air bekasnya dalam tanki ke Kanal Wonokromo, di hilir pintu air Jagir. Itu sebelum mereka mampu mengolah kembali air buangannya di lingkungan pabriknya sendiri, sehingga hanya air bersih saja yang dialirkan kembali ke Kali Surabaya. Juga atas petunjuk tim itu pula, 10 hari kemudian Gubernur mencabut kembali larangan produksi buat Haka, setelah pabrik milik Ketua Asosiasi Kulit Indonesia. Haji Aminullah Thalib Karim membangun bak pengendap air buangan di belakang pabriknya. Kata Gubernur ketika mengumumkan hal itu dalam acara buka puasa dengan wartawan di Surabaya, Jumat 9 September yang lalu: "Keputusan itu diambil sebagai hasil monitoring kami secara diam diam di 36 tempat di sana." Di samping itu ada alasan lain: 200 karyawan pabrik itu perlu diberi kesempatan ber-Lebarah dengan THR dari perusahaan. Begitulah, Haka dapat kesempatan menghabiskan stok kulit kambing dan sapinya yang macet dengan syarat: air buangannya - yang menurut PAM ada mengandung amonium (NH4) arsenicum dan cyanicla -- dilempar jauh, dengan mobil tangki ke muara Kali Mas. Sampai minggu sebelum Lebaran ketika TEMPO berkunjung ke sana, Miwon belum berproduksi lagi. Yang tampak hanya kesibukan truk sampah perusahaan bermodal Korea itu mengangkut ampas padat ke tanah seluas 30 Ha di depan pabrik. Di sana ampas padat itu ditimbun setelah diolah dengan gamping (kapur). "Maksudnya sekaligus untuk menguruk tanah sawah itu untuk fundasi perluasan pabrik Miwon nantinya " kata Chong-Hyon Paek, manajer pabrik itu menjelaskan. Tapi karena jumlah kotoran padat jauh lebih sedikit ketimbang air bekas produksi + air pendinginan, "pengurukan sawah" itu tentunya masih akan makan waktu lama. Kata seorang penjaga di Miwon, baru setelah pabrik ditutup sementara untuk kedua kalinya, dibangun sebuah tanggul rendah di sekitar tanah tempat pembuangan sampah padat Miwon itu, di mana airnya sudah hampir tandas. Beberapa bocah kampung sibuk mencari ikan sepat di lumpur sawah itu. Di sebelahnya truk Miwon dengan kalem mengaduk-aduk kotoran pabrik dengan kapur dan lumpur. Miran, 48 tahun, seorang petani penggarap yang menjaga 12 Ha sawah di sekitar areal tanah Miwon. tak punya keluhan terhadap polusi air dari pabrik bumbu masak itu. "Airnya memang suka berubah warna. Kadang-kadang hitam, kadang-kadang merah, kadang-kadang kuning. Tapi tidak ada pengaruhnya terhadap tanaman padi. Juga ikanikan di parit dekat pabrik itu tetap hidup," katanya menjelaskan. Dia membenarkan, bahwa pabrik itu justru membantu air irigasi untuk sawah-sawah penduduk. Menurut pimpinan Miwon, luasnya mencakup sampai 70 Ha. Apakah ke sana mengalir pula "pupuk organis" yang menurut Chong-Hyon Park dicampur dengan air buangan itu? Milan tak dapat menjelaskan. "Airnya biasa saja. Tidak membuat tanaman tambah suhingga tidak perih di kaki," katanya sementara sibuk menjemur padi hasil garapannya. Lain lagi keterangan penduduk di hilir Kali Bambe, tempat air buangan dari Miwon dan empat pabrik lain yang ditegur oleh Gubernur bertemu dengan arus Kali Surabaya. Kata beberapa pencetak batu baa di sana, waktu itu muara Kali Bambe digenangi cairan kental berwarna gelap seperti ter, yang kalau didekati berbau sekali. Memang, ikanikan pada mengambang. Bukan semaput lagi, tapi mati. Sedang anak-anak yang ramai-ramai turun ke air menangkapi ikan-ikan itu, kulit kakinya pada lecet karena cairan itu begitu melekat ke kulit. Tapi tentang orang yang mati setelah makan ikan hasil tangkapan itu, belum terdengar kasusnya. Air kali yang tercemar itu, sudah hampir tak ada bekasnya. Sebab segera setelah SK Gubernur 29 Agustus itu pabrik-pabrik yang buang air ke Kali Bambe diperintahkan oleh Team PPLH menyedot air itu ke darat, agar tidak terus terbuang seluruhnya ke Kali Surabaya. Perintah itu telah ditangani sendiri oleh Miwon, sebagai perusahaan yang paling kuat modalnya di sana. Akibatnya, banyak tanaman kacang milik penduduk di pinggir Kali Bambe yang ditumpahi air kotor itu mati terendam, dan tak jadi panen. Untunglan masih ada ganti rugi bagi petani-petani palawija itu, yang besarnya sampai Rp 10 ribu. Anehnya, tanah bekas disirami air Kali Bambe yang dikotori sekian pabrik itu, setelah kering ternyata menyuburkan tanaman yang baru ditanam. Begitu cerita penduduk di sana. Hal itu mungkin disebabkan oleh fosfat buangan dari pabrik korek api PT Pakabaya. Fosfor memang merupakan zat hara utama bagi tanaman di samping nitrogen dan kalium. Hanya, kalau dosisnya berlebihan, ia akan merangsang tumbuhnya eceng gondok, yang memang kaya di muara Kali Bambe. Miwon memang sudah membuat fasilitas pengolah air buangan setelah polusi tahun 1975. Namun ternyata konstruksinya sederhana saja. Agak darurat. Sedang yang dikontrol dalam bak berkisi-kisi yang penuh cairan hitam pekat berbau perengus itu hanyalah derajat keasamannya. Alias pH, yang menurut ketentuan Team PPLH hanya boleh bergoyang antara 6,5 dan 8,5. Sementara itu BOD (bio-chemical oxygeen demand) alias kadar oksigen bebas, yang harus tersedia dalam air buangan itu untuk memungkinkan penguraian zat buangan organis secara 'alamiah', tanpa mengganggu kehidupan ikan dan biota lainnya dalam air, tak diukur di situ. Maka ada kemungkinan bahwa matinya ikan-ikan di Kali Bambe dan Kali Surabaya terutama akibat kehabisan zat asam bebas dalam air. Plus permukaan air yang tertutup minyak, sehingga menyumbat proses aerasi (pertukaran hawa) secara alamiah. Itu masih mendingan ketimbang ikanikan itu tetap hidup tapi menimbun polusi logam berat dalam perutnya, seperti air raksa (mercury) di Minamata (1953). Ikan-ikan di perairan pulau Kyushu itu masih sempat berenang dengan bebas, bagaikan 'bom waktu hidup' - yang siap meledak dalam syaraf kucing dan manusia yang memakannya. Waktu terjadi, lahirlah penyakit Minamata - yang hampir sama mengerikan seperti perduduk Hiroshima dan Nagasaki yang ketularan zat radio-aktif. Penyakit itu bisa menurun ke anak-cucu. Untunglah Jawa Tirnur cepat pasang kuda-kuda. Semenjak pengalaman pahit yang pertama akibat polusi Miwon 1975, pemda Jawa Timur menetapkan peraturan bahwa izin BKPMD untuk penanam modal baru hanya dapat diberikan, apabila si pemohon izin dapat meyakinkan BKPMD - dan otomatis juga Team PPLH - tentang cara penanggulangan polusinya. Berabenya, banyak pabrik sudah berdiri sebelum peraturan itu keluar. 'Benteng' berikutnya adalah Peraturan Daerah No. 6/1955. Ini hanya menetapkan denda Rp 10 ribu atau kurungan badan maksimal 6 bulan. Bagi pencemar, ini terlalu ringan. "Sambil merem saja denda seringan itu akan dapat dibayar oleh cukong-cukong yang bikin polusi," komentar Alie Prayitno. Yang kini telah dimutasikan menjadi Sekretaris Badan Perencana Pembangunan Kodya Surabaya. Fihak PAM Surabaya termasuk yang tidak puas juga dengan lemahnya peraturan anti-polusi industri. Dengan tercemarnya Kali Surabaya dalam waktu dekat PAM Surabaya terpaksa membangun pipa ke Kanal Mangetan untuk menyadap air Kali Brantas sebelum dicemari di Kali Surabaya (penggal antara Mojokerto dan batas kota Surabaya). Bijaksanakah? Kata ir Dachlan direktur PAM Surabaya pada George Y. Adicondro dari TEMPO yang menemuinya di Surabaya: "Saya sebenarnya kurang setuju. Di samping biayanya banyak untuk ongkos investasi pipa ke Mangetan itu, masa' kami sebagai penghuni lama yang harus mengalah pada penghuni baru - pabrik-pabrik itu?. Dan juga, mengambil air di Kanal Mangetan tak menutup kemungkinan polusi yang lebih ke hulu. Misalnya di Mojokerto, atau Kertosono. yang juga dilalui Kali Brantas." Makanya, meski dengan banyak pengeluaran ekstra, ada rencana PAM Surabaya untuk membebaskan dirinya sama sekali dari ketergantungan pada air. Kali Brantas. Yakni dengan menyedot air dari sumber Umbulan dekat Pasuruan 80 km di selatan Surabaya. Kata drs Soedjarwo sekretaris Team PPLH yang juga merisaukan hal itu: "Yah, memang ongkos investasinya banyak. Tapi karena air dari Umbulan itu bersih, biaya pengolahannya akan jauh lebih murah dari pada biaya pengolahan air Kali Brantas. Jadi dalam jangka panjang, lebih menguntungkan." Namun sementara biaya untuk membangun pipa air 80 km dari Umbulan ke Surabaya belum ada, ada usul Teamnya pada Gubernur untuk menyatakan daerah aliran Kali Brantas mulai dari Kertosono sebagai "daeran bebas polusi." Masalah ini memang cukup memusingkan orang Surabaya. Tapi untunglah, penduduk dan pemda di sana nampak lebih peka terhadap polusi ketimbang Bandung atau Bogor. Sebab seperti kata Soedjarwo pada TEMPO: "Di Surabaya hanya ada satu sungai penting yang masuk kota. Dan digunakan beramai-ramai oleh berbagai fihak. Pabrik-pabrik mengambil airnya, lalu membuang kotorannya bersama air itu kembali ke sungai. PAM menimbanya untuk air minum penduduk, tapi juga buat kapal-kapal di pelabuhan Perak. Jadi kalau air minum yang kotor itu terbawa oleh kapal ke luar negeri, kan kita juga yang malu? Sementara itu, buat irigasi, juga digunakan air sungai ini." Itu sebabnya, para sarjana dari ITS (Institut Teknologi 10 Nopember). Dinas Pengairan DPU serta instansi lainnya, sedang sibuk berkecimpung dalam proyek penelitian polusi Kali Brantas. Seperti dijelaskan oleh ir Hanafi Pratomo, dosen ITS yang juga anggota team peneliti itu: "Hasil penelitian Brantas Pollution Study ini nantinya akan dijadikan dasar untuk menyusun UU Anti Polusi, yang diharapkan segera digarap oleh lembaga legislatif kita." Debat soal pro dan- kontra polusi Miwon - yang pernah berkobar antara pemda Kabupaten Gresik dan Kotamadya Surabaya, tahun 1975 -- menurut Hanafi pula "tak perlu terjadi jika Indonesia punya UU Anti Polusi yang jelas." Maksudnya, yang menyebutkan secara pasti standar kwalitas air kali Surabaya - maupun sungai-sungai lainnya -- yang diperkenankan. Juga standar kwalitas air buangan industri yang diperkenankan. Hanafi Pratomo cenderung menonjolkan peranan pemerintah dalam soal pengendalian polusi begini. Sebab "pabrik Miwon di Indonesia jelas berjalan dengan Miwon di Malaysia -- yang lebih ketat dalam pengendalian polusinya." Dan bagi pengusaha sendiri, memang lebih ringan diwajibkan memasukkan peralatan anti-polusi dalam perencanaan sejak semula. Dari pada memasang belakangan, yang membutuhkan perombakan dan biaya lebih besar. Belum lagi pencemaran dan kerugian yang sudah tak dapat ditarik kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus