Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tanah Liat Memperlambat Laju Perubahan Iklim

Jumlah karbon organik yang tersimpan di tanah 10 kali lipat lebih banyak ketimbang seluruh karbon di atmosfer. Mengurangi dampak perubahan iklim.

11 Februari 2024 | 22.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anak lelaki asal Palestina, Jamal Fakhori bekerja di bengkel ayahnya dalam membuat pot tanah liat di kota Jaba dekat Jenin, di Tepi Barat, Palestina, 1 Mei 2018 REUTERS/Raneen Sawafta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) beberapa tahun belakangan kian cemas dengan meningkatnya sumbangan emisi gas rumah kaca dari negara-negara berkembang. Mereka lantas melakukan segala upaya untuk menahan laju perbahan iklim. Mulai dari penerapan perdagangan karbon internasional, kewajiban pelaporan emisi nasional, hingga pendanaan aksi iklim di negara-negara berkembang.

Penelitian ihwal pengurangan emisi karbon juga tak kurang banyaknya sebagai upaya penyelamatan bumi. Baru-baru ini, Associate Professor Teknik Sipil dan Lingkungan pada Northwestern Engineering Ludmilla Aristilde menemukan solusi berbasis tanah untuk memperlambat perubahan iklim. “Jumlah karbon organik yang tersimpan di tanah sekitar 10 kali lipat dari seluruh karbon di atmosfer,” kata Aristilde seperti dikutip dari Northwestern University pada Ahad, 11 Februari 2024.

Aristilde menjelaskan, tanah merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di bumi. Dapat menyimpan 2.500 miliar ton karbon, nomor dua setelah lautan. Aristilde dan timnya lantas meneliti lebih jauh fungsi tanah liat smektit—sejenis mineral lempung yang diketahui menyerap karbon di tanah alami—untuk diperiksa bagimana permukaan mineral terikat pada sepuluh biomolekul berbeda. Misalnya terhadap asam amino, selulosa yang terkait dengan gula, dan asam fenolik yang terkait dengan lignin, dengan kimia dan struktur bervariasi.

“Kami memutuskan untuk mempelajari mineral tanah liat ini karena mineral ini ada di mana-mana,” kata Aristilde. “Hampir semua tanah mengandung mineral lempung. Selain itu, tanah liat banyak ditemukan di daerah beriklim semi-kering dan sedang – wilayah yang kita tahu akan terkena dampak perubahan iklim.”

Temuan baru ini dapat membantu para peneliti memprediksi sifat kimia tanah mana yang paling cocok untuk memerangkap karbon. Kata Aristilde, ini menjadi solusi berbasis tanah untuk memperlambat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Caranya adalah—penggabungan eksperiman laboratorium dan pemodelan molekuler—para peneliti menguji interaksi antara biomolekul karbon organik dan sejenis mineral tanah liat.

Penelitian tersebut menemukan muatan elektrostatis, fitur struktural molekul karbon, nutrisi logam di sekitar tanah, dan persaingan antar molekul, semuanya memainkan peran utama dalam kemampuan tanah untuk menjaga karbon. “Ada banyak upaya untuk menjaga karbon tetap terperangkap agar tidak masuk ke atmosfer. Jika kita ingin melakukan hal tersebut, pertama-tama kita harus memahami mekanisme yang berperan.”

Aristilde selanjutnya merencanakan pengujian bagaimana biomolekul berinteraksi dengan mineral di tanah yang ditemukan di daerah beriklim tropis. Terutama melihat cara tanah liat di wilayah hangat memerangkap bahan organik. “Jika kita ingin menjaga karbon tetap terperangkap di dalam tanah, maka kita perlu memahami bagaimana karbon tersebut tersusun dan bagaimana susunan ini mempengaruhi akses terhadap mikroba,” ucap Aristilde.

Baca: Pentingnya Proteksi Hutan untuk Mengatasi Emisi Karbon

Menteri Lingkungan Hidup periode 1978-1993, Emil Salim, menyatakan bahwa Indonesia memiliki hutan gambut dan mangrove yang teridentifikasi sebagai penyumbang karbon terbesar. Ini lantaran gambut dan bakau mampu memberi perlindungan dari ancaman lingkungan serta mampu menyerap karbon secara efektif. “Ekosistem yang ada harus dipertahankan keasliannya,” kata Emil dalam acara Indonesia Forest Forum 2023 yang diselenggarakan Tempo Media Group.

World Argoforestry Centre sempat menerbitkan laporan ihwal gambut yang menyimpan karbon paling besar. Misalnya hutan gambut, akan bertahan dalam bentuk bahan organik. Adapun bila hutan gambut telah dibuka, maka karbon yang disimpan akan mudah terdekomposisi dan menghasilkan karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca terpenting. Hal ini juga yang menyebabkan lahan gambut rentan kebakaran.

Proses dekomposisi, konsolidasi, dan kebakaran mengakibatkan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) atau kehilangan fungsinya sebagai penyangga. Dampaknya yakni menciptakan emisi gas rumah kaca. Pemerintah menekan laju emisi melalui skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+). Di dalamnya berisi sistem dokumentasi, pelaporan, dan verifikasi perubahan cadangan karbon secara transparan.

Baca: Hutan Solusi Terbaik Penyerap Karbon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus