Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Para Tabib Tanah Rejang: Mengandalkan Tanaman Obat dari Hutan

Masyarakat adat Rejang mengandalkan tabib yang disebut t’wan anoak langia. Ramuan tanaman obat dari hutan.

6 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penampakan Kabupaten Lebong. TEMPO/Phesi Ester Julikawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK tebersit keletihan di mata Yusdawati saat menerima kedatangan Tempo di rumahnya di Desa Air Kopras, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Bengkulu. Malam itu, 23 Juli 2024, entah sudah berapa anoak langia alias pasien yang ditangani perempuan 55 tahun itu. Sebagai t’wan anoak langia atau pengobat orang sakit bagi masyarakat adat Rejang, Yusdawati tak pernah menolak tamunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusdawati, yang akrab dipanggil Wak Yus, mengakui sudah ribuan anoak langia yang berhasil dia sembuhkan. Sayangnya, dia tidak pernah mencatat setiap pasien yang datang kepadanya. Di kediamannya yang kecil dan sederhana itu, ada saja orang yang datang berobat atau sekadar meminta tanaman obat yang ada di pekarangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya akhirnya memutuskan tidak punya ponsel karena tak berhenti orang menelepon. Kadang mau jenguk orang sakit atau kondangan saja saya tidak bisa,” kata Wak Yus dalam bahasa daerah Bengkulu berlogat Rejang.

Layaknya dokter, t’wan anoak langia juga memiliki spesialisasi. Wak Yus, misalnya, spesialis penyakit kanker, gondok, dan sakit lambung. Seperti malam itu, Wak Yus kedatangan anoak langia bernama Rafki berusia 24 tahun. Pemuda lajang bertubuh kurus itu mengaku menderita sakit lambung. Meski telah mendatangi beberapa t’wan anoak langia di Lebong, penyakitnya tidak kunjung sembuh. “Ada yang menyarankan saya berobat ke Wak Yus. Saya berharap kali ini cocok,” ujar Rafki berharap.

Sehari-hari Yusdawati hidup dari bertani. Menjadi t'wan anoak langia baginya hanya membantu orang karena ia tidak pernah meminta imbalan atau bayaran atas pengobatan yang dia berikan. “Jika meminta atau mengambil imbalan, kemampuan saya hilang,” ujar Wak Yus, yang tinggal di rumah kecil itu bersama suami, anak, dan ibunya.

Menurut Wak Yus, ia mendapatkan kemampuan sebagai t’wan anoak langia dari mimpi. Dia mengaku tidak memiliki kemampuan bahasa Arab atau mengaji, tapi saat mengobati ia terdengar pandai merapal doa-doa. Menurut dia, saat mengobati pasien, yang melakukan pengobatan bukanlah dirinya, melainkan ada leluhur yang masuk ke tubuhnya.

Proses pengobatan yang dilakukan Wak Yus sederhana. Saat pasien datang, dia langsung memeriksa bagian tubuh yang sakit. Jika penyakit sudah umum, dia langsung mendiagnosis dan meminta pasien mencari ramuan obat. Jika penyakit belum pernah ditemukan, biasanya dia akan menunggu mimpi. Dalam mimpi itu, leluhurnya akan menyebutkan jenis penyakit, obat, dan lokasi menemukan tanaman obat.

“Pasien boleh mencari tanaman obat sendiri dan bisa juga menyerahkan kepada saya karena banyak yang tidak tahu obat tersebut serta di mana bisa menemukannya,” ucap Wak Yus.

Wak Yus mengatakan sebagian besar obat yang dia resepkan itu berada di hutan. Biasanya dia akan meminta suaminya ke hutan atau membayar orang yang biasa ke hutan dan paham seluk-beluk tanaman yang ada di sana untuk mengambil tanaman obat.

Sebagai t’wan anoak langia sejak 31 tahun lalu, Wak Yus mengakui tidak ada kesulitan mencari tanaman obat. Hanya, ada beberapa tanaman saat ini mulai sulit ditemukan di pinggiran hutan, seperti akar sempur merah. Tanaman tersebut saat ini baru bisa ditemukan jauh di dalam hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Dia sendiri tidak mengetahui secara pasti penyebab tanaman tersebut mulai langka, padahal mereka senantiasa menjaga tanaman obat tersebut. Namun, menurut Wak Yus, salah satu penyebabnya adalah meningkatnya suhu udara di Kabupaten Lebong saat ini. “Lebong ini tidak sedingin dulu. Bisa jadi dia (akar sempur merah) tak cocok dengan panas,” ujarnya.

Wak Yus mengakui memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap keberadaan hutan di sekitarnya karena dia sama sekali tidak dapat mengobati pasiennya tanpa obat-obatan yang ada di hutan. Ketergantungan yang besar ini membuat Wak Yus tidak dapat hidup jauh dari hutan. “Kalau hutan rusak, rusak semua,” katanya.

Rafki, misalnya, terpaksa harus mencari tanaman obat ke pinggiran TNKS dekat Kecamatan Pinang Belapis pada malam itu juga. Pasalnya, tanaman obat yang dibawanya bukan yang seharusnya, yakni akar duri sungsang. Beruntung, pada malam itu, Rafki dibantu kerabatnya yang paham tanaman obat sehingga berhasil menemukan tanaman yang merambat itu di tepi sungai kecil dekat pohon besar.

Menurut Wak Yus, tanaman duri sungsang ini tidak hanya akarnya yang bisa dijadikan obat. Bagian daunnya pun kerap digunakan masyarakat adat Rejang untuk membersihkan kuku. Daunnya yang agak kasar, jika digosokkan ke kuku tangan atau kaki, seketika permukaan kuku menjadi bersih dan halus.

Rafki menyerahkan tanaman duri sungsang itu kepada Wak Yus. Ternyata yang diperlukan hanya akar serabut yang ada di pangkal tanaman itu. Wak Yus mengambil beberapa akar serabut itu, lalu menggabungkannya dengan tanaman lain, seperti jamur marapi, putik buah kundur (sejenis labu), kucai, dan tanaman janggut udang, di atas sebuah piring. Kemudian ia membacakan doa sebanyak tiga kali.

Setelah itu, Wak Yus menyerahkan ramuan obat dan menginstruksikan Rafki untuk menumbuk semua tanaman obat tersebut, kemudian menempelkannya di bagian atas lambungnya pada malam hari sebelum tidur.

Tuan Anok Langi Yusdawati dan tanaman obat Duri Sunsang. TEMPO/Phesi ester Julikawati

Proses pengobatan yang dilakukan Wak Yus hanya butuh beberapa menit, kemudian pasien bisa pulang dan melakukan pengobatan sendiri di rumah tanpa perlu merampalkan mantra, cukup berdoa meminta kesembuhan kepada Yang Mahakuasa. “Selain ke t’wan anoak langia lain, saya sudah berobat ke dokter, tapi tidak ada perubahan,” kata Rafki sebelum meninggalkan kediaman Wak Yus.

Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu, Thamrin Bungsu, mengatakan kuatnya relasi antara masyarakat dan t’wan anoak langia karena adanya kepercayaan yang tinggi terhadap sistem pengobatan tersebut. Penelitian Thamrin yang bertajuk “Pola Perilaku Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Pinggiran Hutan di Kabupaten Lebong” menemukan masih banyak warga yang mengakses pengobatan tradisional t’wan anoak langia dan bukti pasien sembuh.

“Salah satu dukun yang saya temui itu bisa mengobati kanker payudara. Kita melakukan pengecekan kepada pasiennya dan terbukti benar-benar sembuh,” Thamrin menjelaskan. Ia juga melakukan pengecekan terhadap beberapa pasien, termasuk orang dengan gangguan jiwa akut dan telah mengalami gangguan mental cukup lama. Saat ini pasien tersebut dinyatakan sembuh secara medis dan telah beraktivitas layaknya orang normal.

Thamrin mengatakan adanya realitas atau kenyataan pasien yang berobat itu sembuh mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat makin tinggi. Hal itu juga yang menjadi salah satu faktor kearifan ini terjaga hingga saat ini. “Realitas ini akan terus berlanjut dari mulut ke mulut sehingga makin banyak masyarakat yang mengakses layanan ini dan makin banyak pula yang sembuh.”

Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian yang telah dia lakukan, kearifan lokal pengobatan Rejang ini layak dilestarikan. Dia melihat pengobatan ini tidak hanya dapat menyembuhkan orang sakit, tapi juga menggunakan obat-obat tradisional dari bahan-bahan alami. Hal ini dapat meminimalkan efek negatif obat-obat kimia. 

Belum lagi, kata Thamrin, kearifan ini mendorong perilaku masyarakat untuk bersahabat dengan hutan sebagai sumber obat mereka. Rasa ketergantungan yang tinggi terhadap sesuatu tentu saja akan mendorong seseorang untuk menjaganya dengan baik. Jika dikaitkan dengan pelestarian hutan TNKS, hal ini tentu saja menjadi suatu hal yang sangat baik untuk keberadaan hutan itu sendiri.

Ia mengatakan semua pihak wajib mendorong pelestarian kearifan lokal ini. Pemerintah daerah direkomendasikan membuat kebijakan perihal pengobatan tradisional ini. Salah satu contohnya adalah kemitraan antara layanan kesehatan medis dan para t’wan anoak langia sehingga dapat bersinergi dalam dunia kesehatan.

Tokoh pemuda Adat Masyarakat Adat lebong, Arafik Tresno bersama buah langka Durian Hantu koleksinya. TEMPO/Phesi Ester Julikawati

Thamrin mengungkapkan bahwa dia baru merampungkan penelitian pemetaan pengobatan tradisional masyarakat Rejang. Pemetaan itu meliputi sebaran t’wan anok langia di Kabupaten Lebong. “Pemetaan ini meliputi klasifikasi t’wan anoak langia berdasarkan penyakit yang bisa diobati, lokasinya lengkap dengan kontaknya. Dengan demikian, jika masyarakat butuh, akan lebih mudah mengakses layanan pengobatan tersebut,” ujarnya.

Ihwal pemanfaatan tanaman hutan sebagai bahan obat, dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Agus Susatya, mengatakan kearifan lokal pengobatan masyarakat yang sumber obatnya adalah hutan mempunyai potensi penting ke depan. “Selama ini orang melihat hutan itu kayunya, sekarang muncul potensi obat,” ucap doktor botani dari Universitas Kebangsaan Malaysia tersebut. 

Agus menambahkan, berdasarkan hasil penelitian yang pernah dia lakukan di hutan di Kabupaten Lebong, ditemukan ada 185 jenis tanaman obat. Setelah diteliti, ada 54 jenis tanaman memiliki potensi antikanker, 37 jenis tanaman berpotensi untuk mengobati HIV, serta 20 jenis tanaman untuk mengobati parkinson dan Alzheimer.

Menurut Agus, hampir semua tumbuhan mempunyai potensi sebagai tanaman obat. Kadarnya saja berbeda antara satu jenis tanaman dan jenis lainnya. Hanya, kata Agus, butuh langkah panjang untuk membuktikan bahwa potensi ini bisa bekerja dengan baik guna menyembuhkan suatu penyakit. “Perlu dicek bahan aktifnya, uji klinis, dan seterusnya.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Laporan ini didukung program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerja sama AJI Indonesia dan DW Akademie, yang disokong Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi laporan merupakan tanggung jawab Tempo. Artikel disunting oleh Dody Hidayat dan Agoeng Wijaya dari Tempo.

Phesi Ester Julikawati

Phesi Ester Julikawati

Koresponden Tempo di Bengkulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus