Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAYANGAN film "burung surga" itu memukau puluhan penonton yang memadati auditorium pusat budaya @america di Pacific Place, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Selama lebih dari 45 menit mereka disuguhi tayangan berbagai atraksi salah satu kelompok burung paling endemik sejagat: cenderawasih. Sebanyak 39 spesies burung khas wilayah ujung timur Nusantara itu memamerkan keelokan warna bulu, semarak kicauan, hingga kepiawaian menari. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan, yakni berkembang biak.
"Setiap spesies memiliki cara dan tarian sendiri untuk menarik pasangannya," kata Tim Laman, mempresentasikan tayangan berjudul Birds of Paradise: Crown Jewels of Indonesia's Biodiversity itu.
Laman adalah pakar burung dari Universitas Harvard sekaligus fotografer senior National Geographic. Ia bersama ahli biologi evolusioner dari Universitas Cornell, Edwin Scholes, berhasil mendokumentasikan semua spesies burung cenderawasih itu. Selama proses pengambilan gambar, tak jarang mereka harus menjelajahi hutan perawan belantara di Pulau Halmahera, Raja Ampat, Papua, Papua Nugini dan Kepulauan Melanesia, hingga Australia timur. Satu per satu habitat burung anggota keluarga Paradisaeidae itu mereka sambangi.
Sebanyak 18 ekspedisi di 51 lokasi dihajat dengan total waktu penelitian delapan tahun. Tak kurang dari satu setengah tahun di antaranya mereka habiskan untuk tinggal di hutan. Menenteng berbagai kamera dan perangkat audiovisual, Laman dan Scholes memotret serta merekam gerakan dan suara setiap spesies cenderawasih. Walhasil, ekspedisi yang dimulai pada 2004 itu menghasilkan 39.568 potret serta 2.000 rekaman video dan suara. "Kami orang pertama yang mengabadikan semua spesies cenderawasih dalam kondisi hidup," ucap Laman.
John F. Hansen, direktur United States Agency for International Development untuk isu lingkungan, mengatakan ekspedisi ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan tempat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup cenderawasih. Sebab, 27 dari 39 spesies cenderawasih tinggal di wilayah Indonesia. Empat spesies ada di Australia timur dan sisanya di Papua Nugini. "Indonesia adalah ibu kota burung cenderawasih," ujarnya. Cenderawasih, kata dia, merupakan aset bagi ekoturisme dan konservasi.
Cenderawasih dikenal sebagai burung surga. Julukan itu disematkan oleh bangsa Eropa pada September 1522. Kala itu, Ferdinand Magellan, penjelajah Portugis, pulang kampung dari ekspedisi pertamanya mengelilingi dunia. Ia membawa buah tangan berupa dua burung cenderawasih yang diperoleh saat kapalnya bersandar di Pulau Tidore, Maluku, pada Desember 1521. Burung yang sudah diawetkan itu merupakan hadiah dari Sultan Bacan—penguasa Tidore saat itu—untuk Kaisar Charles V.
Dalam catatan harian Antonio Pigafetta, penulis sejarah dari ekspedisi Magellan, dua cenderawasih itu digambarkan memiliki bulu yang indah dan kepala mungil. Awetan burung ini tidak memiliki kaki dan sayap karena penduduk pribumi saat itu mengawetkan cenderawasih dengan cara memotong kaki dan sayapnya. Sejak itu, cenderawasih dikenal luas oleh bangsa Eropa, yang hingga akhir 1540 banyak mendatangkan awetannya untuk dijadikan pajangan di lemari dan ruang tamu. Lantaran bulunya yang indah itulah cenderawasih lantas diyakini sebagai "burung yang turun dari surga".
Rasa penasaran untuk bersua langsung dengan burung surga pula yang mendorong Laman dan Scholes melakukan penjelajahan penuh tantangan. Mereka menempuh 50 perjalanan dengan perahu menuju hulu sungai. Sebanyak 33 penerbangan dengan pesawat dan helikopter dijalani untuk menggapai habitat yang letaknya sangat terpencil. Mereka juga lihai membuat puluhan rumah penyamaran dari kayu dan dedaunan untuk mengamati burung pemalu ini. Laman bahkan sampai 146 kali memanjat pohon agar bisa memotret cenderawasih yang hidup di kanopi hutan. "Salah satu spesimen saya potret di ketinggian 50 meter," katanya.
Tak hanya mengabadikan gambar, kedua ilmuwan asal Amerika Serikat itu mempelajari perilaku kawin cenderawasih. Burung ini terkenal karena individu jantannya memiliki variasi bulu yang beraneka warna dan berbentuk unik. Mayoritas memiliki kombinasi lebih dari satu warna dengan komposisi yang kontras. Sedangkan betinanya hanya berbulu cokelat. Cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), misalnya, memiliki sayap berwarna cokelat, kepala kuning dan hijau, serta ekor kuning. Spesies khas Papua ini akan memekarkan ekornya tiap musim kawin untuk menarik perhatian betina, seperti merak.
"Betina selalu yang memilih pejantan, mencari yang bulunya bagus dan berwarna," ujar Laman. Namun warna-warni bulu bukanlah satu-satunya cara menggaet betina. Cenderawasih jantan juga akan memperagakan tarian untuk mempesona calon pasangannya. Setiap spesies memiliki tarian khasnya sendiri. Laman menjuluki sebagian di antaranya sebagai penari ranting, penari tiang, dan balerina.
Pakar ornitologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dewi Malia Prawiradilaga, mengatakan Laman dan Scholes terbilang sukses merekam perilaku berbiak cenderawasih, terutama pada tahap pre-mating atau courting. Pada tahap ini, beberapa pejantan berlomba memamerkan bulu, kicauan, dan tarian perkawinan terbaiknya. Betina hanya akan memilih pejantan yang dinilai paling menarik. "Tiap spesies burung memiliki ciri khas yang hanya bisa dikenali oleh anggota spesies itu," ujar Dewi. Semua jenis burung memiliki unsur perilaku berbiak yang sama, tapi cara melakukannya berbeda.
Hanya, metode pengamatan tim dokumentasi itu bukan hal baru. Pada 1990, Sir David Attenborough, penulis dan produser program Natural History di stasiun televisi BBC, memfilmkan beberapa spesies cenderawasih dan menulis sejumlah buku dari ekspedisinya di tanah Papua dan Papua Nugini. Bedanya, ekspedisi Attenborough tak sekomplet yang dilakukan Laman dan Scholes. "Dokumentasi (Laman dan ÂScholes) ini bisa berguna melengkapi referensi yang masih bolong tentang cenderawasih," ucap Dewi.
Lagi pula, ekspedisi Laman dan kawan-kawan tak berfokus pada eksplorasi spesies baru. Peneliti dari Burung Indonesia, Hanom Bashari, mengatakan semua jenis cenderawasih yang diabadikan Laman dan Scholes sebenarnya sudah dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Yang baru adalah kedua ilmuwan itu mengambil sudut pandang berbeda dalam foto atau video setiap jenis cenderawasih. Ini memberi wawasan baru yang melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. "Saya pikir ekspedisi mereka untuk dokumentasi, bukan inventarisasi ataupun penilaian aspek bioekologi tertentu."
Dewi menambahkan, penelitian perilaku (etologi) memang semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Kamera yang semakin canggih sangat membantu para ilmuwan untuk meneliti perilaku satwa. Dengan merekam setiap gerakan satwa, mereka dapat menganalisis perilaku frame by frame. "Rekaman bisa ditonton berulang-ulang untuk mengamati detail perilaku," katanya. Dulu, sebelum ada kamera, para ilmuwan harus mengamati perilaku satwa dengan monokuler atau teropong jarak jauh, lalu mencatatnya di buku.
Toh, hasil petualangan Laman dan ÂScholes tetap menarik. Menurut Hanom, selama ini orang banyak mengenal cenderawasih sebagai burung khas Papua. Sebenarnya ada dua jenis yang penyebarannya berada di luar kawasan Âbiogeografi Australasia (daratan Australia dan Papua), yaitu bidadari Halmahera (Semioptera wallacii) dan cenderawasih gagak (Lycocorax pyrrhopterus). Keduanya endemik di Kepulauan Maluku Utara—Pulau Halmahera, Bacan, Kasiruta, dan Obi—yang masuk kawasan Wallacea. Dua jenis ini termasuk yang paling kurang dikenal bahkan oleh masyarakat Indonesia sendiri.
Mahardika Satria Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo