SETELAH 75 tahun dipakai, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebentar lagi bakal menjadi barang rongsokan. Undang-undang bikinan parlemen Belanda pada akhir abad ke-19, yang diberlakukan di Indonesia sejak 15 Oktober 1915, itu akan segera digantikan dengan undang-undang baru, yang tentu saja asli buatan Indonesia. Sejumlah pasal usang yang dianggap tak relevan lagi bakal rontok dari KUHP. Di antaranya, pasal larangan kampanye keluarga berencana, yaitu mempertunjukkan alat kontrasepsi (pasal 283) dan usaha mencegah kehamilan (pasal 534). Sebaliknya, banyak pasal baru, yang dulu tak terpikirkan oleh penyusun KUHP akan memperindah wajah hukum pidana kita. Di antara berbagai masalah baru itu, terdapat delik penyelenggaraan peradilan (contempt of court), kejahatan komputer (computer crime), dan pembajakan pesawat udara. Ada pula soal lama, yang diperbarui, seperti tindak pidana yang berhubungan dengan agama, keamanan negara, pencemaran lingkungan, dan perusakan bangunan komunikasi satelit. Berbagai pasal baru itu kini tertuang dalam embrio pengganti KUHP, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP. Sejak 1984 hingga kini, seperti penjelasan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang didampingi Kepala BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), Dr. Sunaryati Hartono, dan Ketua Tim Penyusun RUU KUHP, Mardjono Reksodiputro, Senin pekan lalu, RUU tersebut masih digodok BPHN. Menurut Ismail Saleh, RUU itu diharapkan bisa diajukan ke DPR tahun depan. Baik dari segi sistematika maupun materi, RUU KUHP (terdiri dari dua buku masing-masing dengan 6 bab 140 pasal dan 33 bab 485 pasal) terhitung lebih modern dan progresif daripada KUHP (tiga buku, 49 bab 569 pasal). Contohnya, ya, beberapa ketentuan baru tadi. Selain itu, ada juga masalah baru, yang terhitung menunjukkan perbedaan mendasar antara RUU KUHP dan KUHP, yakni dikualifikasikannya korporasi (badan usaha) sebagai subyek hukum. Memang, di negara-negara lain, termasuk Belanda, soal korporasi sudah dicantumkan dalam KUHP-nya. Tapi di KUHP kita, yang warisan Belanda, hanya manusia yang bisa disebut pelaku kejahatan. Hal itu bisa ditilik dari setiap pasal pidana yang dimulai dengan kata barang siapa. Padahal, "Tak adil jika hanya menghukum pengurus suatu perusahaan, yang melanggar undang-undang. Perusahaan dan pemegang sahamnya juga harus kena," kata Mardjono Reksodiputro, 53 tahun. Yang juga termasuk materi progresif dalam RUU itu adalah jenis pidana kerja sosial sebagai pengganti pidana penjara. Pidana alternatif ini, kata Mardjono, bisa diterapkan terhadap pengemudi kendaraan yang menabrak korban. Nah, si pengemudi tak perlu lagi dipenjara, tapi dipekerjakan selama beberapa waktu tertentu di unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Hanya saja, dalam penerapannya kelak, sambung Mardjono, pidana pengganti itu tak boleh sampai merendahkan martabat terpidana. Terlebih lagi, kata Menteri Kehakiman Ismail Saleh, seperti dikutip Jawa Pos, jangan sampai kerja sosial itu berganti kulit menjadi semacam kerja paksa. Yang baru lainnya dalam RUU itu adalah hal ancaman pidana minimum khusus. Ketentuan ini, menurut Mardjono, akan diberlakukan untuk tindak pidana yang terhitung meresahkan masyarakat, misalnya perkosaan. Gara-gara tak diaturnya hukuman minimum dalam KUHP, selama ini masyarakat sering menganggap vonis pengadilan dalam kasus perkosaan terlalu ringan. Nah, dengan hukuman minimum, misalnya 6 bulan penjara, "Diharapkan rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi," ujar bekas Dekan FH UI itu. Menariknya, ternyata RUU KUHP masih menganut pidana hukuman mati. Padahal, soal hukuman mati yang selalu dipolemikkan sejak bertahun-tahun lalu di Indonesia, di Belanda sendiri sudah dihapuskan sejak 1870. Tapi, menurut Ismail Saleh, hukuman mati di sini akan digunakan secara selektif, tidak sembarangan. Hukuman itu hanya diberlakukan untuk kasus yang benar-benar mengguncangkan rasa keadilan masyarakat, atau mengguncangkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sementara itu, ahli Hukum Pidana Prof. Oemar Senoadji mengaku gembira dengan diakuinya hukum adat dalam RUU KUHP. Dengan begitu, berarti Undang-Undang Darurat No. 1/1951, yang memperkenankan hakim memidana orang-orang yang melanggar kebiasaan dan tradisi suatu masyarakat, juga dikukuhkan keberadaannya. Berdasarkan itu, berbagai kasus asusila yang selama ini tak terjaring KUHP kelak bisa dihukum. Misalnya, kata Oemar, kasus incest (hubungan sungsang antara orangtua dan anaknya) kendati si anak sudah dewasa. Guru besar FH UI itu, yang kini menggeluti dunia advokat, juga mengaku senang dengan rumusan pasal anti pengguguran (abortus) dalam RUU KUHP. Memang, seperti dalam KUHP, pada prinsipnya abortus dilarang. Tapi dalam RUU KUHP, sambung Oemar, yang juga konsultan tim penyusun RUU KUHP, abortus diperbolehkan asalkan demi kemanusiaan dan pertimbangan kesehatan si ibu. Ketua Umum Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia), Albert Hasibuan, juga menyambut gembira RUU KUHP itu. Hanya saja, Albert berpendapat sebaiknya hukuman mati dikeluarkan dari KUHP. Sebab, hukuman itu tak sesuai lagi dengan sila kemanusiaan. Kecuali itu, Albert tak setuju jika korporasi dijadikan subyek hukum. Sebab "Membuktikan unsur kesengajaan dan perencanaannya kan sulit," ujarnya. Begitu pula masalah pidana kerja sosial, katanya, penerapannya akan sukar. Ia pun menambahkan soal pelanggaran dan kejahatan agar tetap dipisahkan. Masih banyak, memang, persoalan yang bakal menanti kelahiran RUU KUHP. Toh pagi-pagi Mardjono sudah menandaskan bahwa KUHP baru nanti tetap bentuknya. "Jika ada jenis tindak pidana baru, akan ditampung dalam peraturan perundangan di luar KUHP," katanya. Happy S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini