KALAU ada pasien tak sanggup membayar biaya perawatan rumah sakit, itu bukan soal luar biasa. Tapi kalau ada pasien digugat ke pengadilan karena dituduh tak membayar biaya perawatan, ini kasus yang jarang terjadi. Dan ini terjadi di rumah sakit (RS) Telogorejo, di Semarang. Kendati bekas pasiennya, Marto Hutomo, sudah meninggal, rumah sakit itu tetap "memburu" ganti rugi perawatannya (sekitar Rp 16 juta) dari anak mendiang Marto, Nyonya Budi Hartono, dan suaminya, sampai ke meja hijau. Menariknya, Kamis dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan seluruh gugatan rumah sakit swasta terbesar di Semarang itu. Vonis ganti rugi yang terhitung pertama kalinya ini memang bermula dari dirawatnya Marto di RS Telogorejo. Karena penyakit pada usia senja, Marto terpaksa opname dari tanggal 7 September 1989 sampai 17 November 1989 di rumah sakit yang memiliki 325 tempat tidur dan berbagai peralatan canggih itu. Setelah sempat pulang ke rumah pada 18 November 1989, keesokan harinya pasien itu masuk kembali ke RS Telogorejo. Hanya enam hari bertahan di sana, Marto kemudian meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Hitung punya hitung, ternyata perawatan itu menelan biaya sampai Rp 12,94 juta -- termasuk sewa kamar, ongkos dokter, dan obat. Belakangan, Nyonya Budi Hartono dan suaminya melunasi biaya itu dengan giro bilyet BRI Semarang, senilai tagihan tersebut. Ternyata, "Giro bilyet itu tak ada dananya," kata kuasa hukum RS Telogorejo, Tedjorahardjo. Karena upaya menagih buntu, terpaksa pihak RS Telogorejo menempuh upaya hukum. Pasangan Budi Hartono dituntut ganti rugi Rp 16,04 juta -- biaya perawatan plus penagihan dan bunga. "Tergugat sebenarnya mampu membayar biaya itu, tapi tak dilakukan," ujar Tedjorahardjo. Jika saja pasangan itu, juga keluarga Marto, terhitung tak mampu, kata Tedjorahardjo, pihak RS sudah menyediakan fasilitas "Kelas Bakti", yang tentu saja bebas biaya. Tapi persoalannya, sambung Tedjorahardjo, keluarga itu termasuk berekonomi mampu (kelompok menengah ke atas). Bahkan Marto pun selama di RS Telogorejo dirawat di kelas VIP. Di persidangan, pasangan Budi Hartono membantah tudingan pihaknya telah ingkar janji. Menurut Nyonya Budi, dia tetap bersedia membayar biaya perawatan itu. "Tapi saat ini kami sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga baru mampu membayar Rp 1 juta," ucapnya. Sedangkan sisa tagihan, katanya, akan dilunasi secara angsuran sebesar Rp 250 ribu per bulan. Ternyata Hakim S.M. Binti mengabulkan seluruh gugatan RS Telogorejo, yang dikelola sebuah yayasan pimpinan Jaya Suprana -- humoris terkenal dan airektur perusahaan Jamu Jago. "Tergugat terbukti ingkar janji sehingga merugikan penggugat," kata Hakim S.M. Binti. Sebab itu, hakim juga mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap dua buah mobil milik pasangan Budi Hartono. Baik Budi Hartono, 43 tahun, maupun istrinya menyatakan masih pikir-pikir atas vonis tersebut. Bagaimana tanggapan pasangan itu atas vonis tersebut memang belum diketahui. Salah seorang pembantu rumah tangga mereka menyatakan bahwa majikannya itu jarang pulang ke kediamannya di Jalan Majapahit, Semarang. Agaknya, vonis langka itu boleh dikatakan tidak berlebihan. Itu jika menilik besarnya biaya perawatan yang telanjur ditanggung RS Telogorejo. Namun, barangkali kasus semacam ini tak perlu muncul jika saja jasa pelayanan kesehatan di sini menganut sistem asuransi kesehatan. Di negara-negara lain, terutama negara maju, sistem asuransi cukup mampu mengatasi berbagai problem biaya kesehatan. Hp.S., Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini