KAWAT bronjong dan karung-karung plastik telah dikirim ke
berbagai tempat yang rawan di Ciamis Selatan. Peragaan 'siaga
banjir' pun telah diadakan. Sementara Bupati Ciamis, Soeyoed,
juga telah memerintahkan segenap aparatnya untuk berjaga-jaga.
Soalnya, daerah pertanian di kabupaten paling tenggara di Jawa
Barat itu hampir setiap tahun dilanda banjir kiriman dari hulu
Citanduy di kabupaten tetangganya, Tasikmalaya.
Sampai akhir Januari, banjir belum sampai melibatkan Ja-Bar
Selatan. Hujan yang begitu deras di daerah Utara -- seperti di
kabupaten Bekasi, Karawang dan Indramayu -- rupanya masih
menaruh belas kasihan pada kaum tani di Selatan. Namun
masyarakat di daerah Priangan Timur menyadari bahwa banjir
sungai Citanduy tak dapat hanya ditanggulangi dengan tanggul
buatan di hilirnya. Melainkan harus dicegat di hulu, dengan
menghijaukan bukit-bukit dan punggung Gunung Cakrabuana yang
kian gundul.
Dinas Kehutanan Propinsi Ja-Bar tadinya juga menanam pohon-pohon
cemara di hulu Citanduy. Namun reboisasi begitu saja dirasa
belum cukup oleh masyarakat di sana, demikian pendapat pengurus
Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Mereka adalah
ikhwan (alumni) pesantren Suryalaya yang letaknya di lembah
antara Gunung Cakrabuana (ñ 1721 m) dan Gunung Sawal (ñ 1764 m)
"Penghijauan itu 'kan harus dapat dirasakan langsung manfaatnya
oleh rakyat? Kalau tidak, apa motivasi mereka untuk ikut menjaga
dan memelihara pohon-pohon yang masih muda itu?" tukas Zaidi
Abidin Anwar, salah seorang Ketua Yayasan yang sehari-hari
mendampingi Abah Anom, pemimpin pesanren tersebut, sebagai
Ketua Majelis Harian Pesantren.
Sejak awal tahun ini pesantren yang didirikan hampir 3/4 abad
lalu memulai kampanye penghijauannya sendiri. Bukan dengan
cemara atau pepohonan lainnya, tapi cukup dengan tanaman teh.
Berkata Anwar "Ada 5000 Ha tanah rakyat di hulu Citanduy ini
yang dapat ditanami teh."
Untuk menunjang program itu, Suryalaya telah mengirim sepuluh
kader petani teh dari desa-desa di kaki Cakrabuana untuk dilatih
di perkebunan PT Surangga di Sukabumi. Kebetulan, pemilik
perkebunan tehtpartikelir itu, Haji T. Mustofa, adalah juga
seorang ikhwan (alumnus) pesantren Suryalaya. Selain membantu
latihan kader petani itu selama dua bulan, sejak 2 Nopember, H.
Mustofa juga memberi sejumlah bibit teh untuk ditanam para
petani itu di tanahnya masing-masing.
Sesudah Kartosuwiryo
Para pengurus yayasan pesantren itu pun telah membuat tempat
persemaian bibit teh di Suryalaya. Dan sampai akhir Januari,
ketika waFtawan TEMPO George Y. Adicondro dan Najib Salim
berkunjung ke sana, sudah 3000 bibit teh yang tersebar melalui
perkebunan rakyat di hulu Citanduy itu.
Suryalaya memang bukan baru kali ini bergerak dalam bidang
penyuluhan pertanian. Ketika daerah itu mulai aman dengan
berakhirnya pemberontakan Kartosuwiryo (1962), pesantren
setempat sudah mulai memperkenalkan penanaman cengkeh ke
Tasikmalya Utara. Sambil menaikkan pendapatan penduduk, usaha
itu sedikit menutupi kebutuhan belanja pesantren dan
menghijaukan tanah-tanah gundul di punggung Cakrabuana. Tapi
setelah 16 tahun, Anwar melihat beberapa segi kelemahan.
"Penanaman cengkeh," katanya, "membutuhkan modal yang tak
kecil."
Partisipasi rakyat desa dalam kampanye cengkeh ini rupanya masih
sangat tak merata. Maklumlah, hanya petani kaya saja yang dapat
membeli bibit cengkeh dalam jumlah besar serta menanggung ongkos
pemeliharaan kebunnya selama lima tahun pertama. Sebab baru
setelah itu bunga cengkeh dapat dipanen, setahun sekali.
Tak sedikit petani cengkeh, yang karena kekurangan biaya, sudah
memborongkan bunga cengkehnya yang masih hijau kepada tengkulak
(ijon). Sedang kalau sudah berbunga pun, risiko gagal pun masih
tetap membayang. Bila salah memetik, umpamanya bila induk
tanamannya belum cukup dewasa, tanaman itu bisa "mati bujang".
Seluruh dedaunannya akan kering, rontok, menyusul seluruh
tanamannya mati. "Dari sudut pendidikan mental agama maupun
semangat wiraswasta, menanam teh lebih baik dari pada menanam
cengkeh," kata Anwar lagi.
Supaya Merata
Tanaman teh itu dapat dipetik pucuk-pucuk daunnya setelah
berusia setahun. Dan itu dapat dilakukan setiap 6 bulan. Uang
petani teh tetap masuk secara konstan, dalam waktu relatif
singkat, meskipun tak terlalu banyak. Dengan demikian godaan
untuk memboroskan uang hasil panen, seperti sering dilakukan
petani cengkeh, kurang menonjol pada pertanian teh. Tak kalah
pula pentingnya bibit teh jauh lebih murah harganya, sehingga
penanaman teh bisa jauh lebih merata di pedesaan.
Dari sudut pencegahan erosi pun, teh lebih unggul ketimbang
cengkeh. Sebab di tanah seluas 1 Ha, orang dapat menanam sampai
10 ribu batang teh. Tanah yang dulu gundul itu jadi tertutup
rapat oleh perkebunan teh, sehingga hujan yang turun ke bumi
tertapis oleh dedaunan teh nan rimbun, yang akhirnya terserap
pula oleh lapisan daun busuk (humus) di atas tanah.
Faktor perlindungan tanah ini kurang terdapat pada tanaman
cengkeh, yang sifatnya lebih egois. Jarak pohonnya yang satu
dengan yang lainnya harus sekitar 7 meter. Begitu pohon cengkeh
sudah menjelang usia 4 tahun, pohon pelindungnya harus ditebang.
Maksudnya mungkin agar ia tak berebutan zat hara dalam tanah,
maupun sinar matahari di udara.
Menggalakkan penanaman teh di hulu Citanduy itu, pihak pesantren
sudah melakukan percobaan skala kecil sejak 5 tahun lalu.
Dibantu ahli-ahli dari Bandung dan Sukabumi, para penyuluh
pertanian di Suryalaya berhasil menerapkan metode baru dalam
pembibitan teh. "Dulu orang selalu menanam teh dari bijinya.
Dengan cara itu, pucuk teh baru dapat dipetik setelah 4 tahun.
Kami membibit melalui stek (cutting)-nya. Hasilnya sudah dapat
dipanen setelah pohonnya berumur setahun. Setelah tanaman teh
itu berusia dua tahun, steknya sudah dapat ditanam lagi untuk
bibit," tutur Anwar.
Tentu saja, para ikhwan Suryalaya itu merasa kewalahan kalau
harus menyediakan sendiri bibit teh untuk tanah kritis yang 5000
Ha luasnya. Untuk program penghijauan itu, mereka mengharapkan
agar pemerintah mau memberi kredit bibit teh dan modal kerja
selama setahun bagi rakyat petani di hulu Citanduy itu. Juga
mereka mengharapkan perlindungan pemerintah terhadap kaum
spekulan tanah dan calon tuan tanah dari luar desa. Alasan Anwar
"Kalau sudah ditanami teh, otomatis harga tanah yang dulu tandus
itu akan naik. Ini sudah terlihat pada tanah-tanah yang sekarang
telah berhasil ditanami cengkeh. "
Ke dalam, kaum pesantren itu juga berusaha menciptakan suatu
sistim pencegah jual-beli tanah. Para petani teh, yang memasuki
kelompok pengajian mingguan dan bulanan, diarahkannya ke semacam
koperasi. Para anggota menjadikan tanah masing-masing sebagai
modal dalam kelompok. Siapa yang menjual tanahnya kepada orang
luar desa, otomatis akan dipecat dari kelompok. Sanksi sosial
ini, apalagi buat orang desa yang selama ini sudah terhimpun
dalam suatu perkerabatan agama, diharapkan dapat mengatasi
godaan uang.
Namun itu saja dirasa belum cukup. Semacam peraturan pemerintah
masih diperlukannya untuk mencegah munculnya tuan-tuan tanah
absen yang sudah jadi wabah di berbagai pelosok Priangan Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini