DEMI kelestarian lingkungan, sebuah usaha penambangan tembaga
mungkin harus dihentikan. Ini terjadi di Sulawesi Selatan sejak
PN Aneka Tambang melakukan eksplorasi di Pegunungan Sangkaropi,
Kabupaten Tana Toraja yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten-
Luwu. Di sana ditemukan kandungan tembaga -- juga emas, timah
hitam dan seng. Areal itu hampir seluas 3 hektar.
Selain di Sangkaropi, Kabupaten Tana Toraja, kandungan mineral
yang sama juga terdapat di Rumanga, Kecamatan Walenrang,
Kabupaten Luwu seluas 24 hektar, serta di Pilolo 3 kilometer
dari Rumanga. Menurut Ir. Sudirman Tjakradinata, salah seorang
tenaga peneliti Aneka Tambang, sejak dimulai 1974, eksplorasi
itu sudah memasuki tahap studi kelayakan. Tapi usaha itu
mendadak menghadapi hambatan.
Karena kemudian ternyata Bupati Luwu dan Bupati Tana Toraja
tidak setuju eksplorasi itu diteruskan, apalagi dengan usaha
penambangan. "Saya mengkhawatirkan kemungkinan pencemaran
lingkungan akibat pembukaan tambang itu kelak," kata Bupati
Luwu, Drs. Abdullah Suara, yang rupanya telah menulis surat
kepada Menteri Negara PPLH Emil Salim dan Sesdalopbang Solihin
G.P. untuk menyatakan keberatannya.
Pencemaran itu terutama dikhawatirkan terhadap Sungai Sa'dang
dan Lamasi yang berhulu di Pegunungan Sangkaropi. Apalagi
sekarang ini sedang dibangun sebuah bendungan di Batusitanduk
(Kecamatan Walenrang, salah satu lokasi eksplorasi) yang
menampung air Sungai Lamasi. Bendungan yang akan mengairi 18.000
hektar itu merupakan rangkaian proyek irigasi Luwu, meliputi
irigasi Kalaena, Kanjiro dan Pompengan .
Proyek eksplorasi tambang tembaga itu bertabrakan dengan proyek
irigasi, menurut seorang pejabat di Provinsi Sul-Sel yang
membidangi pembangunan, karena nampaknya memang tidak ada saling
kontak antara Aneka Tambang dan pemda setempat. "Aneka Tambang
melakukan eksplorasi secara diam-diam, sedang bupati mengirim
surat langsung ke pusat tanpa setahu provinsi," kata pejabat
tersebut.
Menurut Humas PN Aneka Tambang di Jakarta, Ali Erman, tahun lalu
sudah dibentuk sebuah tim gabungan yang antara lain terdiri atas
pemda, agraria, perindustrian untuk mensurvei kemungkinan
pencemaran itu. "Dan sekarang Aneka Tambang sedang menunggu
hasilnya," katanya. Mengenai kemungkinan pencemaran, menurut Ali
Erman, "itu baru kekhawatiran, sebab yang dilakukan sekarang ini
baru eksplorasi, sedang usaha penambangannya belum dilakukan. "
Selain itu Aneka Tambang juga sudah menyediakan sebuah tempat
khusus untuk menampung limbah, bila kelak pabrik tembaga mulai
bekerja. "Penampungan itu di kawasan yang lebih rendah, dan saya
kira tidak mengganggu sungai yang menjadi sumber air minum
penduduk," kata Ali Erman pula.
Celakanya justru tempat penampungan itulah, namanya Lembah
To'dao, yang juga dikhawatirkan. Sebab ada anak-anak sungai yang
berhulu di sana. Selain itu lembah itu juga dikhawatirkan akan
mengalami erosi karena buangan limbah kelak.
Di tengah gencarnya kritik itu, kini Aneka Tambang sedang
mencari jalarl keluar: bagaimana menambang tanpa mencemari
lingkungan. "Misalnya penambangan itu dilakukan secara tertutup,
artinya di bawah tanah. Tapi hal itu makan banyak biaya," kata
Ir. Sudirman. Kalau diiakukan secara terbuka, diatas tanah,
tentu harus membabat hutan.
Sekarang di lokasi eksplorasi sudah banyak hutan lindung yang
mulai dibabat. Tapi sebaliknya menurut Sudirman, kini sedang
dilakukan penghijauan. Bahkan sudah ada sejumlah tanaman yang
tumbuh. Menurut Humas Aneka Tambang Ali Erman, penghijauan itu
memang otomatis merupakan keharusan setiap usaha penambangan.
Selat Bone
Sudirman kini juga sedang merumuskan berapa batas ambang mineral
yang didapat di sana. Dengan begitu kelak sistem pembuangan
limbahnya dapat disesuaikan agar bisa mengurangi perembesan
limbah yang dikhawatirkan dapat mencemari sungai itu. Kalanpun
anak-anak sungai di kawasan penambangan itu kelak tercemar,
Sudirman punya teori buat menanggulanginya.
Yaitu: air anak-anak sungai yang tercemar itu dinetralisasikan
oleh aliran Sungai Lamasi. Anak-anak sungai itu bergabung di
hulu Lamasi, sedang aliran Lamasi jauh lebih deras, lagi pula
datang dari jurusan lain. Dengan kata lain, limbah yang
mengotori anak-anak sungai itu kelak dapat "diglontor" oleh
Lamasi.
Tetapi seorang sarjana Unhas, yang dikenal sebagai tokoh
lingkungan dan tak mau disebut namanya, meragukan teori itu.
"Mana mungkin mineral tembaga yang berat itu dapat
dinetralisasikan," katanya. Menurut pengamatannya, Sungai Lamasi
bisa dipastikan bakal tercemar bila kelak penambangan itu
dimulai. Lamasi akan mati, tidak bisa lagi untuk irigasi, dan
untuk mandi serta minum penduduk.
Ahli lingkungan itu memang melihat kemungkinan membuat sungai
baru untuk membuang limbah. "Tapi karena harus bermuara di Selat
Bone, selat ini pun nantinya juga akan tercemar," katanya. Jadi
bagaimana jalan keluarnya? "Masalah ini sudah di tangan pusat.
Kami tinggal tunggu komando saja," kata seorang pejabat di
kantor Gubernur Sul-Sel.
Dari kantor Meneg PPLH Emil Salim, juga tidak diperoleh
kepastian. Sebab seperti kata seorang staf Humas PPLH, Syariful
Salim, "kalau seorang bupati keberatan, itu tidak berarti
menteri lantas menyetujui keberatan tersebut." Sebab, katanya
pula, Emil Salim harus membicarakannya dengan menteri-menteri
lain, kalau perlu membawanya ke sidang kabinet terbatas.
"Kalau dalam sidang kabinet juga tidak bisa diputuskan, biasanya
menteri lantas minta pertimbangan Presiden. Pokoknya Pak Emil
tidak berwenang memutuskan sendiri, ia hanya memberi
pertimbangan saja," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini