GERAK-GERIKNYA memang mirip wanita. Serba luwes, termasuk
caranya berbicara dan tertawa yang tampak seakan-akan manja.
Belum lagi kegemarannya memukulkan tangan pada lengan orang lain
yang diajaknya berbicara untuk menekankan suatu ungkapan yang
juga sangat luwes, 'Ah masak begitu, mas!'
Gaya kewanitaan itu lebih-lebih terlihat dalam ketelitiannya
memilih barang, dan kepandaiannya untuk tawar menawar dalam apa
pun, dengan menunjukkan hal-hal kecil sebagai points untuk
tawarannya sendiri.
Dan terakhir, kepandaiannya memasak yang sudah legendaris:
sewaktu ia menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar di Cairo, ia
adalah sandaran kaum ibu-ibu Kedutaan Besar Rl dalam keperluan
masak-memasak dan hidangan untuk resepsi dan sebagainya.
Pantaslah kalau ia sering diselorohi dengan panggilan 'tante'.
Penampilan seperti itu ternyata bukan datang dari seorang eks
pria yang kemudian menjadi wanita 'penuh' dengan cara berganti
kelamin, seperti Vivian Rubianti beberapa tahun yang lalu. Ia
muncul dari seorang kiai yang memiliki ilmu agama yang cukup
dalam dan lama sekali hidup di lingkungan pesantren.
Sejak masa kanak-kanak, ia sudah bergumul dengan kitab-kitab
kuno keagamaan, yang sejak semula masa pertumbuhannya sudah
terikat dengan norma-norma keagamaan dengan nilainya yang
menetap. Sebagai murid Kiai Idris selama bertahun-tahun di
Tebuireng semasa usia belasan tahun, ia telah terlatih dalam
ilmu-ilmu keagamaan tradisional, bahkan sebelum ia berangkat
meneruskan pendidikan dalam hukum agama (syari'ah) Islam di
Timur Tengah.
Sepenuhnya identitas ke-kiai-annya memiliki kredibilitas penuh,
didukung oleh peranannya sebagai salah seorang mubalig di
ibukota dewasa ini. Lebih terkenal dengan gelar Ustaz karena
penampilannya yang membawakan vitalitas orang muda (walaupun
sedikit banyak sudah di'rasuki' gaya jadi orang tua), ia
merupakan sasaran kajian yang menarik untuk diperhatikan.
Bukan karena gaya kewanitaannya itu, bukan karena vitalitas usia
muda yang diperlihatkannya, dan bukan karena ia kini sudah mulai
mengarah kepada sikap menjadi orang tua.
Yang membuat kiai ini menarik adalah pandangan dunia yang
dikembangkannya, yang sepenuhnya berlandaskan keyakinan kepada
kebenaran ajaran-ajaran agama yang dihayatinya sejak kecil.
Pandangan dunia yang sering diharapkan akan memunculkan
ke'khusyuk'an (asetisme) hidup yang jauh dari perhatian kepada
masalah-masalah duniawi.
Diharapkan dari seorang kiai hasil didikan Kiai Idris Tebuireng,
dan kemudian dididik di Al-Azhar, untuk lebih tertarik kepada
masalah-masalah ukhrwai saja.
Paling jauh hanya akan menyinggung masalah perlunya kembali
kepada ahlak perorangan yang berlandaskan ajaran agama, tak akan
menyimpang dari acara lama 'amar makruf nahi munkar' yang biasa
dikumandangkan oleh para mubalig dalam uraian-uraian mereka.
Atau, kalau tidak begitu, akan mengambil sikap agresif,
menyerang tanda-tanda kerusakan moral, terutama di kalangan
muda, sebagai bukti dari kerusakan akibat kehidupan modern yang
sedang merayap ke bumi Indonesia juga.
Ternyata bukan itu yang muncul dari Kiai Masyhuri Syahid. Ia
justru memberikan perhatian sangat besar kepada soalsoal
duniawi, terutama perdagangan. Maklum ia dulu juga senang
berdagang di kalangan masyarakat Indonesia di Cairo.
Ia senang dengan isu-isu memasyarakatan, karena ia terlibat
dalam berbagai usaha sosial. Di samping menjadi sekretaris
Yayasan Ikatan Alumni Tirnur Tengah di Jakarta, ia juga aktif
dalam sebuah lembaga penganjur transmigrasi dan sebuah
organisasi antar pedagang kecil. Bahkan ia memotori serangkaian
penataran teknis elementer di bidang pengetahuan usaha bagi para
anggota ikatannya, pedagang kecil dari berbagai sudut Jakarta,
bekerjasama dengan PPN (Pusat Produktivitas Nasional). Serban
yang tersampir di bahunya tidak menghalanginya untuk melakukan
transaksi dagang dengan siapa pun.
Tidak heranlah kalau muncul juga mutiara keagamaan tidak
sedikit, yang menggambarkan kecenderungan dan pandangan hidupnya
itu. Seperti penafsiran 'kontemporer'nya atas ayat Quran "jika
kalian mendapatkan teguran (baik), balaslah dengan tegur sapa
yang lebih baik" (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi
ahsana minha).
Tahiyyah, menurut Kiai Masyhuri, bukan hanyalah berbentuk tegur
sapa secara vokal atau oral belaka. Ia memiliki arti lebih jauh,
hingga mencapai semua perbuatan yang menunjukkan penghargaan dan
kepercayaan kepada kita. Kalau orang membeli barang yang kita
produksikan, itu berarti tahiyyah, tegur sapa dalam arti yang
paling dalam. Nah, kita wajib menjawabnya dengan tahiyyah lebih
baik, tegur sapa nonoral lebih baik: peningkatan kualitas barang
yang kita tawarkan kepada pembeli.
Ini adalah essensi perbuatan membalas tahiyyah yang baik dengan
tahiyyah lebih baik. "Ayat ini menurut saya adalah ayat
advertensi," demikian Kiai Masyhuri dalam salah satu acara
tabligh-nya.
Herankah kita kalau ada penamaan untuk kiai yang satu ini,
dengan pesan agamanya yang begitu kontemporer, sebagai 'kiai
dollar'?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini