Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kiai dollar berdakwah

Seorang kiai sepulangnya belajar syariah islam di timur tengah, memberikan perhatian besar kepada soal duniawi. dalam transaksi dagang bukan hanya bertegur sapa secara oral, juga nonoral: dengan kualitas yang baik.

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Kiai dollar berdakwah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
GERAK-GERIKNYA memang mirip wanita. Serba luwes, termasuk caranya berbicara dan tertawa yang tampak seakan-akan manja. Belum lagi kegemarannya memukulkan tangan pada lengan orang lain yang diajaknya berbicara untuk menekankan suatu ungkapan yang juga sangat luwes, 'Ah masak begitu, mas!' Gaya kewanitaan itu lebih-lebih terlihat dalam ketelitiannya memilih barang, dan kepandaiannya untuk tawar menawar dalam apa pun, dengan menunjukkan hal-hal kecil sebagai points untuk tawarannya sendiri. Dan terakhir, kepandaiannya memasak yang sudah legendaris: sewaktu ia menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar di Cairo, ia adalah sandaran kaum ibu-ibu Kedutaan Besar Rl dalam keperluan masak-memasak dan hidangan untuk resepsi dan sebagainya. Pantaslah kalau ia sering diselorohi dengan panggilan 'tante'. Penampilan seperti itu ternyata bukan datang dari seorang eks pria yang kemudian menjadi wanita 'penuh' dengan cara berganti kelamin, seperti Vivian Rubianti beberapa tahun yang lalu. Ia muncul dari seorang kiai yang memiliki ilmu agama yang cukup dalam dan lama sekali hidup di lingkungan pesantren. Sejak masa kanak-kanak, ia sudah bergumul dengan kitab-kitab kuno keagamaan, yang sejak semula masa pertumbuhannya sudah terikat dengan norma-norma keagamaan dengan nilainya yang menetap. Sebagai murid Kiai Idris selama bertahun-tahun di Tebuireng semasa usia belasan tahun, ia telah terlatih dalam ilmu-ilmu keagamaan tradisional, bahkan sebelum ia berangkat meneruskan pendidikan dalam hukum agama (syari'ah) Islam di Timur Tengah. Sepenuhnya identitas ke-kiai-annya memiliki kredibilitas penuh, didukung oleh peranannya sebagai salah seorang mubalig di ibukota dewasa ini. Lebih terkenal dengan gelar Ustaz karena penampilannya yang membawakan vitalitas orang muda (walaupun sedikit banyak sudah di'rasuki' gaya jadi orang tua), ia merupakan sasaran kajian yang menarik untuk diperhatikan. Bukan karena gaya kewanitaannya itu, bukan karena vitalitas usia muda yang diperlihatkannya, dan bukan karena ia kini sudah mulai mengarah kepada sikap menjadi orang tua. Yang membuat kiai ini menarik adalah pandangan dunia yang dikembangkannya, yang sepenuhnya berlandaskan keyakinan kepada kebenaran ajaran-ajaran agama yang dihayatinya sejak kecil. Pandangan dunia yang sering diharapkan akan memunculkan ke'khusyuk'an (asetisme) hidup yang jauh dari perhatian kepada masalah-masalah duniawi. Diharapkan dari seorang kiai hasil didikan Kiai Idris Tebuireng, dan kemudian dididik di Al-Azhar, untuk lebih tertarik kepada masalah-masalah ukhrwai saja. Paling jauh hanya akan menyinggung masalah perlunya kembali kepada ahlak perorangan yang berlandaskan ajaran agama, tak akan menyimpang dari acara lama 'amar makruf nahi munkar' yang biasa dikumandangkan oleh para mubalig dalam uraian-uraian mereka. Atau, kalau tidak begitu, akan mengambil sikap agresif, menyerang tanda-tanda kerusakan moral, terutama di kalangan muda, sebagai bukti dari kerusakan akibat kehidupan modern yang sedang merayap ke bumi Indonesia juga. Ternyata bukan itu yang muncul dari Kiai Masyhuri Syahid. Ia justru memberikan perhatian sangat besar kepada soalsoal duniawi, terutama perdagangan. Maklum ia dulu juga senang berdagang di kalangan masyarakat Indonesia di Cairo. Ia senang dengan isu-isu memasyarakatan, karena ia terlibat dalam berbagai usaha sosial. Di samping menjadi sekretaris Yayasan Ikatan Alumni Tirnur Tengah di Jakarta, ia juga aktif dalam sebuah lembaga penganjur transmigrasi dan sebuah organisasi antar pedagang kecil. Bahkan ia memotori serangkaian penataran teknis elementer di bidang pengetahuan usaha bagi para anggota ikatannya, pedagang kecil dari berbagai sudut Jakarta, bekerjasama dengan PPN (Pusat Produktivitas Nasional). Serban yang tersampir di bahunya tidak menghalanginya untuk melakukan transaksi dagang dengan siapa pun. Tidak heranlah kalau muncul juga mutiara keagamaan tidak sedikit, yang menggambarkan kecenderungan dan pandangan hidupnya itu. Seperti penafsiran 'kontemporer'nya atas ayat Quran "jika kalian mendapatkan teguran (baik), balaslah dengan tegur sapa yang lebih baik" (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha). Tahiyyah, menurut Kiai Masyhuri, bukan hanyalah berbentuk tegur sapa secara vokal atau oral belaka. Ia memiliki arti lebih jauh, hingga mencapai semua perbuatan yang menunjukkan penghargaan dan kepercayaan kepada kita. Kalau orang membeli barang yang kita produksikan, itu berarti tahiyyah, tegur sapa dalam arti yang paling dalam. Nah, kita wajib menjawabnya dengan tahiyyah lebih baik, tegur sapa nonoral lebih baik: peningkatan kualitas barang yang kita tawarkan kepada pembeli. Ini adalah essensi perbuatan membalas tahiyyah yang baik dengan tahiyyah lebih baik. "Ayat ini menurut saya adalah ayat advertensi," demikian Kiai Masyhuri dalam salah satu acara tabligh-nya. Herankah kita kalau ada penamaan untuk kiai yang satu ini, dengan pesan agamanya yang begitu kontemporer, sebagai 'kiai dollar'?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus