DENGAN langkah ringan "Lydia" memasuki bagian pemeriksaan
paspor. Petugas di situ, Armili, dari shift . Satpamim (Satuan
Pengamanan Imigrasi) Lapangan Udara Internasional Halim PK,
mencocokkan foto yang tertera di buku paspor dengan wajah
pemiliknya. Kesan pertama Armili pada wajah bll.lt telur,
putih, berpotongan rambut pendek dan mengenakan celana jeandan
blus krem itu: "Dia betul-betul cantik -- seperti batu giok!"
Terbaca di paspornya: wanita tersebut "lahir di Jakarta, 17
November 1947," pekerjaan "ibu rumah tangga". Namun menurut
pengamatan Armili, kulit wanita tersebut terlalu putih bagi
seorang Cina kelahiran sini. Armili, seperti ceritanya kemudian,
merasa dapat membedakan keturunan Cina dari bermacam-macam
negara hanya melalui pandangan sepintas lalu saja. Ia dapat
membedakan mana Cina Hongkong, Taiwan, RRC maupun dari
Tanggerang.
Maka sesuai dengan tugasnya, ia mengetes wanita itu. Pertama, ia
menanyakan nama si pembawa paspor. Yang ditanya cuma
senyum-senyum. Dan yallg menjawab, anehnya, seseorang yang
kemudian diketahui bernama A Sui. Tentu saja Armili membentak A
Sui agar tak ikut campur. Tiga kali Armili bertanya, lucu juga,
tiga kali pula "Lydia" tak bisa mengatakan namanya sendiri.
Armili lalu meminta pengawas bagiannya, Arwin, mengurus wanita
Indonesia yang tak bisa diajak ngomong dengan bahasa Indonesia
tersebut. Mulamula Arwin bertanya dalam bahasa Inggris. Si "
Lydia" masih senyum-senyum melulu. Barulah, ketika petugas
keimigrasian bertanya dengan bahasa Cina, wanita cantik yang
mengaku hendak ke Singapura tersebut bisa menyebutkan namanya.
Ketika ditanya di mana rumahnya, seperti dikisahkan Armili
kemudian, wanita itu mengeluarkan secarik kertas -- rupanya
contekan dan membacanya terpatah-patah: "Peto-jo... "
Pokoknya Beres
Tak salah lagi, begitu pendapat Armili maupun Arwin, ada sesuatu
yang tak beres. Mereka lalu meminta kepala regu, Anton
Silitonga, mengurus wanita itu. Imigrasi lalu menghambat
kepergian "Lydia". Seorang wanita tua, ternyata ibu "Lydia" dan
berpaspor Taiwan, bermaksud hendak membatalkan perjalanannya
bila anaknya tak diperkenankan berangkat. Tapi berhubung pada
hari itu visanya habis, maka Imigrasi mengharuskan dia terbang
hari itu juga ke Singapura.
"Lydia" harus menghadapi pemeriksaan. Selama itu, A Sui
mondar-mandir di luar ruangan, mencari kesempatan bertemu dengan
wanita yang diantarnya atau dengan salah seorang petugas. Baik
Armili, Arwin maupun Anton, kata mereka, "digoda" A Sui dengan
kata-kata seperti: "Bisa diatur 'kan, pak . . . pokoknya beres .
. . !"
Peristiwa di atas terjadi belum lama ini. Seminggu kemudian
setelah peristiwa tersebut, 21 April, Regu C Satpamim yang
dipimpin Anton juga menjumpai urusan yang sama. Sore itu,
seorang wanita mengenakan baju dan celana bermotif kulit macan
-- tak kalah cantiknya dengan si "Lydia" tempo hari - melenggang
di bagian pemeriksaan paspor. Pengantarnya seorang laki-laki
perlente, yang sempat dicatat identitasnya oleh Anton bernama
Agus Sunardi Nugraha, 42 tahun direktur PT Nugindo dan beralamat
di Jalan Batu Ceper 50 A (Jakarta Pusat) -- keterangan ini
tengah diselidiki.
Sama dengan si Lydia, wanita yang bernama Chou Yu Show, 31
tahun, kelahiran Fai Chung, meski berpaspor Indonesia, ternyata
tak bisa berbahasa sini. Kecurigaan petugas, apalagi setelah
peristiwa seminggu sebelumnya, segera saja timbul. Kepergian Yu
Show dihambat.
Djoni
Dan ternyata, tak ada bedanya dengan "Lydia", paspor aslinya
diperoleh dengan cara tak beres. April lalu Kejaksaan Agung
menerima perkara kedua orang Taiwan tersebut. Dan pertengahan
Juni ini kasus tersebut diungkapkan.
Lydia, menurut Santosa Wiwoho, pejabat di Kejaksaan Agung,
sesungguhnya bernama Yen Chu Chu, berpaspor Taiwan, penari disko
di beberapa klub malam. Entah sudah berapa kali ia mondar-mandir
ke Jakarta dengan visa "kunjungan sosial budaya".
Sampai pada suatu ketika, ia bertemu dengan A Sui di Sky Room,
klub malam di Jalan Gajahmada. A Sui menjanjikan kewarganegaraan
dan paspor RI. Chu Chu menyetujui US$ 2000 sebagai imbalannya.
Melalui A Liong, begitu cerita pejabat Kejaksaan Agung tadi,
urusan Chu Chu sampai ke tangan ahlinya: Djoni.
Beberapa dokumen penting bisa diperoleh Djoni bagi kliennya
tersebut. Ia menyabet akta kelahiran seseorang bernama Tan Lin
Nio. Di pengadilan, Chu Chu mengaku pemilik akta tersebut,
kemudian minta agar boleh berganti nama menjadi Lydia. Untuk
memperoleh kewaranegaraan, begitu jalan terpendek menurut
peraturan, Chu Chu harus menikah dengan seorang WNI.
Mudah saja bagi Djoni memperoleh akta perkawinan yang
menyebutkan Lydia menikah dengan Atang Hendarman alias Theng
Tjong Pon di Kantor Catatan Sipil pada 24 November 1980. Menurut
kejaksaan, akta tersebut tak pernah tercatat di Kantor Catatan
Sipil. Tapi bagaimanapun akta tersebut toh dapat dipergunakan
Djoni mengurus proses berikutnya.
Mula-mula memang agak seret. Setelah Chu Chu menambah imbalan,
Rp 300 ribu, Djoni berhasil juga mendapatkan surat
kewarganegaraan. Dari dokumen itu jalan untuk memperoleh paspor
sudah licin. Chu Chu memperoleh paspor RI bernomor F 082936.
Tentu saja setelah melalui liku-liku untuk memenuhi berbagai
dokumen lain yang di perlukan.
Yu Show juga berhubungan dengan Djoni. Ia harus mengeluarkan
biaya Rp 1 Juta. Untuk memperoleh paspor, ia juga harus
terlebih dulu menjadi warganegara RI, melalui perkawinan dengan
warga negara sini. Menurut kejaksaan, akta perkawinannya dengan
Thio Bun Tjong tercatat di Kantor Catatan Sipil, 6 Agustus 1980.
Namun menurut cerita jaksa, yang hadir di kantor tentu bukan
Bhun Tjong sendiri.
Baik Bun Tjong maupun Tjon, Pon, "suami" Chu Chu, menurut
Santosa Wiwoho, memang tak tahu menahu urusan kedua wanita
Taiwan tersebut. Beberapa dokumen perkawinan mereka rupanya
secara diam-diam dimanfaatkan Djoni untuk mengurus keperluan Chu
Chu dan Yu Show. Kedua wanita tersebut berikut Djoni, A Sui dan
A Liong, kini ditahan yang berwajib.
Namun, menurut Santosa Wiwoho, kejaksaan tak akan menuntut
mereka melalui perkara "perkawinan semu". Sebab, bagaimanapun.
menurut Wiwoho "secara yuridis perkawinan semu seperti yang
mereka lakukan adalah sah menurut hukum -- itu celah-celah hukum
yang sulit menutupnya." (lihat box).
Yang akan digarap menurut Wiwoho lagi, adalah pemalsuan dan
keterangan palsu para tersangka untuk memperoleh berbagai
dokumen. "Di situ jelas terdapat unsur pidana," kata Wiwoho,
tanpa menyebutkan keterlibatan berbagai instansi yang begitu
mudah menerbitkan dokumen penting dengan imbalan ala kadarnya.
Tapi, untuk apa kedua wanita Taiwan berpayah-payah untuk
semuanya itu? "Eh, paspor RI itu bonafide, laku di mana-mana
Iho!" ujar Wiwoho. Paspor Taiwan memang hanya berlaku di
negara-negara yang ada hubungan diplomatik dengan negara
tersebut. Mengapa tidak berusaha di negara lain? Mungkin karena
di Indonesia ada Djoni yang mengurusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini