SEMULA A Bie merasa beruntung bukan kepalang. Hanya sebagai
pedagang buah kebanyakan, tiba-tiba dipungut menantu oleh
seorang kaya di Tanjungpinang (Riau) -- dikawinkan dengan gadis
cantik pula. Terus-terang kata A Bie (32 tahun), ia jatuh cinta
kepada istrinya setengah mati.
Tapi buntutnya tak enak di perut: Begitu surat kawin selesai
diurus di Kantor Catatan Sipil, istrinya tak mau dirayu, bahkan
"maunya pergi ke Singapura saja" tutur A Bie. Sang suami
keberatan memberi izin untuk pengurusan paspor. Terjadi
percekcokan. Lalu meningkat ke perceraian.
Belakangan A Bie menyadari: Perkawinannya sesungguhnya semu
-meski dilakukan sah menurut hukum yang berlaku. Ia hanya
diperalat oleh seorang wanita yang ingin memperoleh surat
kewarganegaraan secara mudah dan murah.
Menurut seorang makelar, yang biasa mengurus surat-surat
kewarganegaraan di Tanjungpinang, banyak "suami" yang bernasib
sama dengan A Bie. Ada yang memang bayaran dan ada pula yang
diperbodoh seperti halnya A Bie. Dengan sebuah akta perkawinan,
menurut calo tadi, Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) lebih
mudah dan murah diurus. Sedangkan naturalisasi biasa, di samping
makan waktu bertahun-tahun, harus pula memenuhi berbagai
persyaratan, biayanya juga bukan main.
Tujuannya macam-macam. "Istri" A Bie disiapkan oleh orang
tuanya, WNA, sebagai ahli waris kekayaan yang berlimpah. Ada
orang asing yang ingin punya paspor RI. Dan banyak imigran gelap
dan WNA yang benar-benar ingin jadi warganegara -- tapi tak
ingin repot dan merasa lebih murah "membeli suami" daripada
mengurus naturalisasi.
Beda Rumah
Perkawinan di atas kertas secara hukum memang sulit
dipersalahkan - "merupakan celah-celah hukum, " seperti kata
seorang pejabat di Kejaksaan Agung. Sehingga pengadilan, seperti
kata Humas Pengadilan Negeri Tanjungpinang Santun Napitupulu,
tak pernah menemukan kasus perkawinan semu, meski banyak orang
asing meminta SBKRI melalui perkawinan dengan WNI.
Selama dokumen yang diperlukan dipenuhi pemohon, menurut
Napitupulu, sulit bagi pengadilan untuk tidak mengabulkan
permohonan tersebut. Namun Hakim Suwandono, yang pernah
menangani banyak urusan kewarganegaraan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, kadang-kadang mencurigai dokumen yang secara
formal kelihatan sah.
Pernah, seorang wanita minta diakui sebagai warganegara,
mengikuti suaminya yang WNI. Coba-coba Suwandono mengecek
keadaan "rumah tangga" pemohon. Yang disebut suami oleh wanita
tadi memang pribumi asli. Tapi ia adalah pelayan toko milik
istrinya". Apa salahnya?
"Saya memang tidak menolak permohonannya," kata Suwandono. Tapi
ketika diminta melengkapi surat-surat -- yang sebenarnya tak
perlu, hanya sekedar meyakinkan -- ternyata pemohon tak muncul
lagi. Kartu penduduk (KTP) "suami-istri" tersebut memang
menunjukkan alamat rumah yang berbeda. "Kalau sepasang
suami-istri tidak hidup serumah, 'kan patut saya curigai
sebagai perkawinan semu?" kata Suwandono.
Memang, beberapa kasus yang mencurigakan terpaksa diloloskan
Suwandono. Sebab, apa boleh buat, segala dokumen yang diperlukan
tersedia secara lengkap dan meyakinkan. Sulit mengusut dokumen
aspal -- asli tapi diperoleh dengan keterangan atau cara-cara
palsu lainnya.
Kantor Catatan Sipil di Kabupaten Kepulauan Riau, yang
menghadapi banyak keturunan Cina, imigran gelap dan terutama
bekas Hoakiao, memang berusaha agar tak menerbitkan akta
perkawinan yang mungkin disalahgunakan untuk sekedar mengurus
surat kewarganegaraan.
Misalnya, seperti dikatakan seorang pejabat kantor itu,
Sutarman, pengantin yang meminta pengesahan - umumnya mereka
mengaku telah menikah secara adat beberapa waktu sebelumnya --
dikenai peraturan ekstra. Mereka harus menunjukkan surat
keterangan kepala desa, yang menerangkan bahwa mereka memang
hidup sebagai suami-istri, tinggal serumah seperti disaksikan
para tetangga.
Bahwa bisa terjadi kasus seperti si A Bie, apa mau dikata,
jual-beli dokumen toh berlaku di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini