Lelaki itu sudah setengah baya. Lima puluh tahun usianya. Tapi, dari liat otot yang merambati tangannya, ia kelihatan sehat. Maklum, pekerjaannya sehari-hari adalah menggali terowongan, mengeruk gumpalan tanah dan batu, sambil berharap menemukan satu-dua gram emas.
Pak Enda, demikian nama lelaki itu, adalah satu dari ribuan penggali emas liar di Hutan Pongkor, Gunung Butak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebuah pekerjaan yang pada masa sulit ini memiliki daya tarik besar, meski maut mengintipnya setiap saat.
"Yang mati di sini sudah ribuan. Kemarin ada lagi satu lubang yang ambruk. Dua pekerja yang ada di dalam tak dapat ditolong lagi. Dibiarkan saja di dalam (terowongan)," cerita Pak Enda ketika ditemui TEMPO, Rabu pekan lalu.
Lubang penggalian ambruk dan para penggali terperangkap di dalamnya, seakan cerita yang lumrah di Hutan Pongkor. Menurut catatan Perhutani Unit III, perusahaan yang menguasai tanah yang digali para penambang liar itu, sejak Januari 1998 hingga pekan lalu, sedikitnya 115 orang telah mati terkubur--12 nyawa setiap bulannya. Itu angka yang tercatat. Padahal, banyak kecelakaan tidak dilaporkan ke Perhutani.
Toh, intaian maut tak menghalangi para "gangsir" untuk terus menggali. Ratusan orang berlalu-lalang dari dan menuju lokasi selama 24 jam penuh. Umumnya, mereka berasal dari luar Bogor. Pak Enda tadi, misalnya, sebelumnya adalah pekerja serabutan di Pasar Kramatjati, Jakarta Timur. Tapi, ketika ekonomi susah, ia mengikuti jejak anaknya yang telah lebih dulu menjadi pemecah batu di lokasi itu.
Pongkor memang bukit yang menyimpan harta karun. Hasil penelitian Tim Geologi PT Aneka Tambang memperkirakan, areal seluas 4 hektare ini menyimpan 6 juta ton batuan berkadar emas 17,2 gram per ton, dan perak 154,3 gram per ton. Dengan sistem penambangan modern berkapasitas gali 12 ribu ton per hari, cadangan emas Pongkor baru akan habis setelah 15 tahun dieksplorasi.
Namun, pesona "emas Pongkor" itu pula yang menyebabkan lingkungan daerah itu rusak. Di lokasi hutan yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun itu, selain tercipta "jaring laba-laba" lorong bawah tanah yang sangat rentan longsor, beberapa bagian hutan juga telah menjadi gundukan tanah merah akibat galian liar. Pada musim kemarau, lokasi ini menjadi dataran tandus, sedangkan ketika musim hujan tiba menjadi kubangan lumpur.
Cara penggalian liar memang tidak menghiraukan pelestarian lingkungan. Lubang yang digali sepanjang 200 sampai 400 meter berkelok-kelok menembus perut bumi, tidak diberi penyangga. Satu-satunya penyangga dipasang di mulut gua dengan kayu seadanya. Akibatnya, tanah di atas terowongan sangat rawan longsor.
"Selain itu, air raksa yang digunakan penambang untuk mengikat emas juga merusak lingkungan," ujar Dr. Rudi Sayoga Gautama, pengajar di Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung.
Perhutani atau PT Aneka Tambang--perusahaan resmi milik pemerintah yang membuka lokasi penambangan emas di sana pada 1993 lalu--tak berdaya mencegah penambangan liar. Padahal, menurut hitungan kasar, 600 gram emas murni lenyap setiap harinya akibat penambangan liar itu.
Ketidakmampuan PT Aneka Tambang mencegah tindak ilegal itu antara lain karena adanya aparat militer yang ikut ambil bagian. Mereka memungut "biaya keamanan" kepada setiap penambang paling sedikit Rp 400 ribu per jam per lubang penambangan. Harga itu tergantung banyak-tidaknya perkiraan kandungan emas yang ada di lubang itu.
Dengan kutipan sebesar itu, penambang tidak selalu bernasib baik. Kalau sedang beruntung, dari satu ton batuan dan tanah yang mereka angkut dalam satu jam, mereka bisa mendapat satu ons emas yang berharga sekitar Rp 900 ribu. "Tapi, kalau sedang sial, bisa cuma dapat perunggu," ujar Sudar, penambang yang baru tiga bulan di tempat itu.
Departemen Pertambangan sendiri baru pekan ini akan berembuk dengan PT Aneka Tambang dan Perhutani untuk menentukan sikap terhadap penambang liar. Tentu saja itu sudah terlambat karena lingkungan keburu rusak.
Arif Zulkifli, Agus Hidayat (Jakarta), Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini