Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan Presiden Joko Widodo untuk membuka kembali izin penambangan dan ekspor pasir laut bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataannya di forum internasional yang selalu mengkampanyekan visi jangka panjang penyelamatan laut. Kebijakan terkini dinilai mencerminkan watak sesungguhnya dari Jokowi yang hanya berorientasi jangka pendek yakni ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penilaian itu disampaikan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, Parid Ridwanuddin. Menurut dia, dengan membuka izin tambang dan ekspor pasir laut maka Pemerintahan Jokowi sesungguhnya tidak fokus melihat ancaman serius perubahan iklim bagi masyarakat di pesisir dan pulau kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Krisis iklim mempercepat banyak wilayah pesisir dan pulau kecil tenggelam, penambangan dan ekspor pasir laut ini bakal mempercepat itu, dan juga menghilangkan kemampuan adaptasi masyarakat pesisir," katanya kepada Tempo, Senin 7 Oktober 2024.
Pernyataan Jokowi yang berulang kali menyebutkan bahwa eksploitasi hanya terhadap sedimentasi bukan pasir, juga dinilai Parid sekadar permainan kata. Menurut dia, Jokowi tidak paham konteks antara sedimentasi dan pasir laut.
Diterangkan Parid, ada dua teori besar soal sedimentasi di laut. Yang pertama adalah yang dikembangkan oleh para ahli geologi yang menyebutkan sedimentasi di sebagian wilayah Indonesia itu sebetulnya sedimentasi sungai-sungai pada 10-20 ribu tahun yang lalu, ketika paparan Sunda masih menjadi daratan. Sedimentasi purba disebutnya punya peran penting dalam ekosistem laut saat ini.
Teori kedua menjelaskan sumber sedimentasi itu alami dan tidak alami. Termasuk di dalam yang alami adalah sedimentasi purba itu, juga hasil erupsi gunung berapi yang sangat panjang di Indonesia. "Material letusan masuk ke laut yang kemudian jadi ekosistem laut dengan membentuk pulau-pulau kecil yang dalam bahasa lokal disebut betik atau gusung," kata Parid.
Parid menyebutkan fungsi gusung ini menjadi penahan alami bagi pesisir dari gelombang tinggi. Menurut dia, gugusan gusung banyak ditemui di perairan timur Lampung, dan Pulau Rupat, dan Bangka Belitung.
Adapun sedimentasi tidak alami dihasilkan dari proses pertambangan yang dibuang ke sungai dan berakhir di laut. Tapi, ini pun jika dikeruk belum tentu juga menyelesaikan masalah. "Karena sumber sedimentasi ini adalah kerusakan di darat. Kalau Jokowi mau, bereskan di darat biar tak terjadi sedimentasi di laut."
Lagian, Parid juga mengungkap hasil kajian Walhi bahwa kerugian negara yang bisa didulang akibat dibukanya izin tambang dan ekspor pasir laut bisa lima kali lipat dibanding keuntungan ekonomi yang didapatkan. Seperti diketahui, asosiasi perusahaan pasir laut menyebutkan akan membayar Rp 18,6 juta/hektare.
"Itu baru kerugian ekonomi, belum hilangnya biodiversitas, hancurnya ekonomi nelayan, pulau-pulau kecil yang tenggelam. Semua itu justru lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi yang jangka pendek tersebut," kata Parid.