Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anomali perubahan iklim diprediksi bakal terus melanda bumi. Terutama negara-negara di wilayah Samudera Pasifik seperti Australia, Amerika Serikat, regional Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia. The National Weather Service Climate Prediction Center atau NWS-CPC—badan cuaca Amerika Serikat—menyebut bumi menghadapi ancaman fenomena La Nina, usai peristiwa El Nino di sepanjang tahun lalu.
Head of Commodities Analysis Fitch Solutions Company atau BMI Sabrin Chowdhury menyebut, kecenderungan fenomena El Nino bakal melahirkan fenomena La Nina atau ancaman hujan yang lebih tinggi. La Nina bakal terjadi antara Juni dan Agustus 2024, sehingga beberapa negara diminta waspada dan memahami risiko fenomena cuaca yang satu ini.
"La Nina berkemungkinan besar akan memengaruhi produksi gandum dan jagung di Amerika Serikat, serta kedelai dan jagung di Amerika Latin termasuk Brasil," kata Sabrin dikutip dari Reuters pada Ahad, 11 Februari 2024. Kondisi serupa bakal dirasakan di negara-negara Asia Tenggara dan Australia. Misalnya, perkebunan sawit dan pertanian padi diprediksi bakal menerima peningkatan curah hujan lebih tinggi dari biasanya.
Prakiraan ini merujuk pada negara-negara yang dilanda kekeringan pada tahun lalu yang kini berpotensi menghadapi ancaman La Nina. Sabrin menyebut, pada tahun lalu, El Nino telah menjadi penyebab dibatasinya ekspor bahan pokok di India karena kekeringan melanda. Padahal India merupakan pemasok beras terbesar di dunia.
La Nina merupakan satu fenomena alam periodik di Samudera Pasifik. Berakibat pada suhu muka laut di wilayah tersebut mengalami penurunan lebih dari 0,5 derajat celcius, sehingga udara terasa lebih dingin ketimbang biasanya. Dampak lain adalah curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata dan dapat menjadi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan angin kencang. Fenomena ini berkebalikan dari El Nino yang terjadi pada tahun lalu, yaitu suhu permukaan laut di wilayah tengah dan timur Samudera Pasifik menjadi lebih hangat.
International Research Institute for Climate and Society (IRI) sebelumnya juga melaporkan bahwa La Nina diprediksi akan dimulai pada Juli mendatang. Mereka memaparkan data yang menunjukkan air yang lebih dingin dari biasanya di Pasifik Timur. Potensi lebih besar akan terjadi pada medio Agustus-September-Oktober. “Jika La Nina kembali terjadi, hal ini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya musim semi dan musim panas basah tahun ini di Australia bagian timur,” tulis mereka dalam laporannya.
Adapun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memotret peluang kecil fenomena La Nina yang merupakan pemicu anomali iklim basah. Artinya, jumlah curah hujan tahunan pada tahun ini diperkirakan umumnya berkisar pada kondisi normal. Namun, terdapat beberapa wilayah yang akan mengalami hujan tahunan di atas normal yaitu meliputi sebagian kecil Aceh, Sumatera Barat bagian selatan, sebagian kecil Riau, dan sebagian kecil Kalimantan Selatan.
Kemudian potensi hujan lebih tinggi di sebagian kecil Gorontalo, sebagian kecil Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat bagian utara, sebagian kecil Sulawesi Selatan, sebagian kecil Papua Barat dan Papua bagian utara. Sebaliknya, potensi hujan tahunan di bawah normal juga akan terjadi di sebagian Banten, sebagian kecil Jawa Barat, sebagian kecil Jawa Tengah, sebagian Yogyakarta, sebagian kecil Jawa Timur, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, dan Papua bagian selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini