Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Yang tergusur di pulau sakambing

Burung kakaktua jenis sulphurea abboti hanya terdapat di pulau sakambing. kini terancam kepunahannya ppa jawa timur mencoba mencegahnya. (ling)

23 Juni 1984 | 00.00 WIB

Yang tergusur di pulau sakambing
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
POHON jagung yang subur di ladang petani Pulau Sakambing itu bergoyang. Terlihat tiga empat ekor burung kakaktua, yang bertubuh ramping dan berjambul kuning, asyik mematuk-matuk buah jagung yang bernas. Si pemilik ladang, sambil meneriakkan umpatan, menghalau burung-burung itu dengan mengibaskan pelepah nyiur. Tapi kakaktua itu hanya pindah ke pohon jagung lain, sebelum mereka diusir lagi. "Penduduk menganggap kakaktua adalah hama yang menggerogoti panen mereka," kata Sumaryoto Atmosoedirdjo, staf ahli PPA Jawa Timur. Tetapi beberapa lama sebelum itu, sekelompok kakaktua juga terkejut oleh berisiknya baling-baling helikopter yang ditumpangi Sumaryoto Atmosoedirdjo. Dan buyarlah kakaktua yang sedang bertengger di hutan bakau di seputar Pulau Sakambing. Lama sudah PPA Jawa Timur berniat menyelidiki kakaktua di Pulau Sakambing ini. Buku Parrots of the World karangan J.M. Forshaw (terbitan Neptune, New York, 177) menyebut bahwa Oberholser adalah pengelana pertama yang menemukan kakaktua indah di kawasan ini sekitar 400 tahun lalu. Karenanya, burung itu diberi nama Cockatoo sulphurea abboti (Oberholser). Menurut Forshaw, jenis abbotti ini cuma ada di sekitar Pulau Sakambing yang terletak 10 km di utara Pulau Masalembo - tempat tenggelamnya KM Tampomas tiga tahun silam. Betulkah? Sumaryoto membenarkan hasil penelitian itu. Ia bahkan memperkirakan, burung yang species-nya cuma ada di Pulau Sakambing ini sekarang tinggal 200 ekor. Cockatoo sulphurea mempunyai enam subspecies yang tersebar di Sulawesi, Pulau Buton, Kepulauan Nusa Tenggara Barat, Flores, dan pulau-pulau yang ada di Laut Jawa. Beberapa subspecies kemudian berkembang biak di pulau-pulau lain, juga di Singapura. Tapi jenis Cockatoo sulphurea abbotti cuma terdapat di Pulau Sakambing. Pulau Sakambing adalah salah satu pulau yang berada di Kecamatan Masalembo. Luasnya 320 ha, dan berjarak sekitar 260 km dari Surabaya. Pantai pulau ini masih ditumbuhi tumbuhan, seperti bakau (Rhiophora sp) dan api-api (Avicennia sp). Tetapi karena pulau ini sekarang dihuni penduduk (jumlahnya sekitar 5.000 jiwa), maka habitat satwa di sana terancam punah. Di Pulau Sakambing kini cuma tersisa sedikit hutan. Di pantainya, sekarang bahkan telah dibuat sekitar 50 ha tambak bandeng. "Karenanya, saya prihatin habitat kakaktua yang langka ini semakin sempit," ujar Sumaryoto. Maka, dia ngotot agar gugusan Masalembo ini dijadikan daerah suaka burung. Kakaktua yang bisa hidup di puncak pohon ini umurnya bisa Iebih dari 50 tahun. Membuat sarang dengan melubangi pohon, mereka berkembang biak dengan telur yang sedikit. Telurnya, yang jumlahnya sekitar tiga butir itu, dierami kakaktua jantan (siang hari) dan kakaktua betina (malam hari). Manusia memeliharanya dengan harapan bisa diajar berbicara. Tapi jarang kakaktua yang bisa sepintar hurung beo dalam hal berbicara. Meski demikian, kakaktua selalu menjadi incaran penggemar burung. Harga seekor kakaktua muda di Jakarta atau Surabaya sekitar Rp 75.000. Di Pulau Sakambing sendiri sulit mencari penjual kakak tua. Mereka baru menangkap burung itu kalau ada pesanan. Harga kakaktua di Pulau Sakambing tidak dinilai dengan lembaran uang, melainkan ditukar dengan enam jeriken (60 liter) solar yang harganya Rp 500 per liter. Celakanya, banyak jenis burung yang tak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia. Jadi, pangkal kepunahannya, terutama, adalah menjadikan kakaktua sebagai burung piaraan. Pemeliharaan kakaktua oleh manusia sudah berlangsung lama. lni terlihat pada ukiran patampah dalam upacara hadiah pengantin lelaki di Madura. Perahu kuno yang hilir mudik antara Masalembo dan Madura pada tiang layarnya selalu ada ukiran kakaktua. Sebab burung itu dianggap sebagai lambang keselamatan. Dalam legenda, Pulau Sakambing adalah pulau persinggahan tentara Karaeng Galenggong dari Bugis yang membantu Jokotole dari Madura dalam melawan Raja Kartanagara dari Singasari. Karenanya, hingga kini penduduk pulau itu berbahasa campuran Bugis dan Bajau, tetapi tetap mengaku orang Madura. Lewat pelaut-pelaut Madura inilah kakaktua Pulau Sakambing "diamankan" peladang-peladang jagung. Ongkos dan Kalianget ke Masalembo Rp 5.000 per orang untuk jarak 114 mil. Dari Masalembo, perjalanan masih harus ditempuh dua jam lagi dengan perahu motor. Untungnya, kakaktua Pulau Sakambing bisa terlindung dari pemburu-pemburu tradisional, karena laut di sekitarnya terkenal ganas. Tetapi bisakah kepunahan dicegah? Ahli ornitologi di dunia selama ini telah mencatat kepunahan satwa-satwa jenis burung ini. Sejak tahun 1600, ada 90 jenis burung yang musnah karena daging dan bulunya diburu manusia. Beberapa dari jenis itu species-nya bahkan tak terwakili di museum, meski berupa gambar. Kemudian para ahli mencatat, sejak 1977 ada 410 jenis burung dalam ancaman bahaya akibat minyak yang tertumpah di lautan. Tapi, bagi kakaktua Pulau Sakambing, sementara ini ancaman itu masih dua: habitatnya yang semakin sempit dan pemburu kakaktua yang tergoda harga tinggi dari peggemar burung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus