SEBENARNYA ini tari perang, tetapi empat penari wanita itu melakukan gerakan yang sangat halus seperti tidak bertenaga. Dengan sebilah keris di tangan setiap penari, adegan begitu lamban dan melelahkan. Bahkan ketika para penari mencabut pistol yang diselip di perut, gerakan itu tetap saja lesu. Sekitar 90 menit tari itu di pentaskan, separuh dari sekitar 250 penonton sudah meninggalkan gedung pertunjukan. Tetapi inilah tari Serimpi Pramugari, yang berbilang tahun hilang dan dapat direkonstruksikan oleh Daruni, mahasiswi tingkat IV ASTI Yogyakarta. "Saya yang ikut menarikan saja merasa lelah, apalagi yang menontonnya," kata Daruni, seusai pertunjukan Rabu pekan lalu di aula ASTI Yogya. Ada dua tari klasik jenis serimpi yang direkonstruksikan dan ditampilkan malam itu. Satu lagi, Serimpi Jemparing, dihidupkan kembali oleh Enis Niken, juga mahasiswi ASTI tingkat IV. Tari ini, yang dibawakan empat penari dewasa dan empat penari anak-anak, terasa lebih lincah - selain lebih pendek - dibandingkan Serimpi Pramugari. Kedua tari klasik Keraton Yogya ini sudah lama menghilang. Serimpi Pramugari konon dipentaskan terakhir oleh Among Bekso pada tahun 1950-an, tak jelas benar persisnya dan di mana dipentaskan. Bahkan siapa pencipta kedua serimpi itu dan kapan diciptakan tak ada data. Secara samar-samar, kedua mahasiswi ASTI tadi hanya mendapatkan penjelasan yang tidak begitu akurat bahwa Serimpi Pramugari "pernah dimainkan" pada saat Hamengkubuwono VII dinobatkan sebagai raja, sedangkan Serimpi Jemparing menyusul kemudian. Tetapi, untuk merekonstruksikannya, naskah yang ada cukup membantu. Sulit melacak asal usul sejarah tari yang digalinya, kedua mahasiswi ASTI ini ternyata tidak sulit merekonstruksikan tarinya. Naskah bertulis tangan dengan huruf Jawa, yang ditemuinya di Perpustakaan Keraton Kridomardowo itu, sudah menjelaskan pakem-pakem tari itu secara berurutan. "Karena pada dasarnya gerak itu sudah tertulis dalam nas, kah, kita tinggal memainkannya," kata Daruni, penari yang sejak kecil getol menari Jawa ini. Notasi dalam naskah itu, misalnya, adegan pertama sasembahan dilanjutkan tasikan. Dengan "instruksi" seperti itu, semua penari Jawa sudah maklum apa yang dimaksudkan. Akan halnya Daruni memilih tari klasik ini, ada kisahnya sendiri. Ia sebelumnya sudah mencari-cari tari klasik apa yang bisa "digali", sebagai salah satu syarat akademis sebelum menyuguhkan tari kreasi sendiri, untuk ujian sarjana tari di ASTI. Kebetulan, Dr. Soedarsono, dosen mata kuliah Seminar Tari di ASTI, yang juga kepala Proyek Javanologi Departemen P dan K di Yogya, menyarankan memilih tari klasik keraton. Alasan Soedarsono, penggalian ini sejalan dengan Proyek Javanologi yang melestarikan kesenian tradisional. Dus, berarti juga, ada anggaran yang bisa diberikan. Tawaran ini disambut Daruni, dan bertemulah dia dengan naskah Serimpi Pramugari. "Pertama kali saya tertarik dengan judulnya kok pakai pramugari, lantas saya pelajari," katanya. Ternyata, ia nyaris putus asa setelah enam bulan mempelajari tari itu lewat naskah. "Bukan tariannya sulit, tapi naskahnya terlalu panjang, saya sampai susah mengingat urutannya," kata Daruni. Untuk mempreteli sebagian, tentu tak mungkin, karena ini ujian rekonstruksi tari. Tari yang mengisahkan Pangeran Mangkubumi - yang kemudian menjadi HB I menaklukkan bupati Pekalongan, Djajaningrat, ini uniknya memakai pistol. Lagi-lagi Daruni tak mengetahui asal usul pistol itu. Pokoknya, ia merasa taat kepada naskah yang juga memberi petunjuk tentang busana. Lain halnya dengan Enis Niken, 21, gadis semampai berambut panjang kelahiran Yogyakarta. Ia tak sesulit Daruni dalam merekonstruksikan Serimpi Jemparing. "Saya hanya latihan tak lebih dari 15 kali, itu pun tak selalu lengkap," kata Enis. Bagi gadis ini, dalam merekonstruksikan tari klasik keraton, yang lebih memusingkan adalah soal biaya. "Untuk kedua tari serimpi ini, kami menghabiskan tak kurang dari 500 ribu rupiah," kata Enis. Keduanya memang bergabung untuk "menyewa" 36 orang penabuh gamelan dan "memesan" penari untuk rekonstruksi ini, yang tentu saja perlu diberi honor. Untunglah, karena rekonstruksi ini sejalan dengan Proyek Javanologi, ada sumbangan dari proyek Rp 200.000. Tentang hasil rekonstruksi itu sendiri, beberapa pengamat menyebutkan baik. Dinusatama dari Among Bekso, misalnya, memuji keberhasilan Daruni, yang rekonstruksinya memang lebih sulit dibandingkan Enis. Namun, keberhasilan seperti itu, bagi K.P.H. Soedarisman Poerwokoesoemo, ketua Tim Hukum Keraton Yogya, "Tidak terlalu istimewa untuk mahasiswa ASTI." Masalahnya, setelah tari yang langka itu dapat digali, untuk apa? Soedarsono punya jawaban, "Setidak-tidaknya, orang mengenali kembali dan syukur ada yang menarikan."Juga ada niat lain, memasyarakatkan jenis tari yang nyaris hilang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini