RUSMONO Hadi, jejaka bcrusia 34 tahun dari Surabava itu, mengarungi hidup dengan memprihatinkan. Tiap dua minggu sekali dia kencing darah. Penderitaan itu sudah dia jalani sejak 15 tahun yang lalu. Untuk mempertahankan hidup, dia bergantung pada darah donor yang ditransfusikan ke dalam tubuhnya. Transfusi itu begitu rutinnya, sehingga dia tidak memerlukan pertolongan rumah sakit atau orang lain untuk mengerjakannya. Dia melakukannya di mana saja dan kapan pun kalau tuntutan darah baru dari tubuhnya sudah begitu mendesak. Mandi tidak menjadi halangan untuk pekerjaan mengalirkan darah sebanyak 1.400 cc ke dalam pembuluh darahnya itu. Rusmono bisa mencantolkan botol berisi darah pada paku di kamar mandi, dan membiarkan darah segar tadi mengalir ke dalam tubuhnya, sementara dia sendiri menikmati segarnya air. Sekali transfusi bisa memakan waktu sembilan jam. Walaupun demikian, Rusmono tidak mau waktu yang sebanyak itu terbuang percuma. Dia terkadang tampak mengalirkan darah ke dalam tubuhnya sambil makan, merokok ataupun menonton televisi. Kelihatan bercak-bercak hitam di lengan kirinya. Bekas tusukan jarum transfusi. "Pokoknya, tangan kiri ini yang saya sediakn untuk transfusi. Biar hancur tak apa-apa," kata Rusmono kepada wartawan TEMPO, Choirul Anam, yang datang menjenguk. "Asal jangan tangan kanan. Sebab, tangan kanan ini masih sangat berguna untuk mereparasi dinamo," ujar penderita yang mempertahankan hidupnya dari penghasilan mereparasi dinamo dan rupa-rupa peralatan elektro. Penderitaannya itu datang dengan tiba-tiba. Ketika berusia 19 tahun, selagi asyik-asyiknya main bola, Rusmono kena terjangan bola persis pada bagian bawah pusarnya. Ia jatuh tak sadarkan diri. Begitu ia siuman, kakinya sudah tak kuat berjalan. Sementara itu, di bagian pinggulnya terasa seperti ada benda keras yang mengganjal. Keesokan harinya dia terperanjat ketika melihat darah tumpah bersama air seninya. Untung, hanya sekali itu. Hari-hari berikutnya kencingnya sudah normal. Tetapi perasaan "sudah aman dari darah" itu ternyata hanya semu. Dua minggu setelah kecelakaan itu dia mulai bekerja seperti biasa. Termasuk mendorong sepeda motor ayahnya yang sering mandek. Sejak itu darah kembali terbuang bersama kencingnya. Dua tahun lamanya dia ditangani dua orang dokter, tetapi hajat kecilnya selalu saja berdarah. Ketika sudah begitu lemah dan hanya mampu terbaring di tempat tidur, barulah ia dibawa ayahnya ke dokter lain. Dan dari dokter ahli penyakit darah ini dia dikirim ke RS Soetomo. Berminggu-minggu dia diopname di rumah sakit itu untuk mengetahui penyakit apa yang dideritanya. Masih jelas dalam ingatannya ketika tulang pinggulnya dibor untuk mengambil contoh tulang sumsum dari situ. Tapi penyebab penyakitnya belum juga ketahuan. Dia hanya ditolong dengan transfusi darah. Karena biaya perawatan dan pemeriksaan begitu mahal, pernah suatu ketika dia nekat untuk berhenti transfusi. "Habis, uang sudah tak ada. Saya kasihan pada Bapak. Saya lebih baik memilih mati. Saya benar-benar frustrasi ketika itu," ceritanya. Untuk membiayainya, selama perawatan di rumah sakit, tanah orangtuanya seluas 2.450 m2 sudah mengkerut tinggal 50 m saja lagi. Meskipun ia sudah nekat, ajalnya belum kesampaian. Dua saudara sepupunya dari Jakarta datang dan memboyongnya ke ibu kota. Lima bulan dia diopname di RS Cipto Mangunkusumo, tapi penyebab penyakit tak ketahuan. Yang bisa menyelamatkannya hanyalah transfusl darah. Cuma, yang jelas, barulah di RSCM diketahui penyakit yang dia derita itu adalah Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (munculnya hemoglobin dalam air seni secara mendadak). Beberapa dokter ahli hematologi di RS Soetomo menyebutkan, penyebab penyakit ini belum ketahuan. Begitu juga obatnya belum ada, kecuali dengan transfusi darah. Penyakit ini terjadi karena kelainan-kelainan pada butir darah merah yang sel-selnya gampang pecah. Hemoglobin, sebagai unsur dalam darah yang membawa oksigen, larut dalam air seni, sehingga si penderita gampang lemas. Kencing berwarna merah kecokelatan dan kadang-kadang disertai pendarahan lewat hidung. Dan kegagalan tulang sumsum membentuk sel darah merah ditandai dengan panasnya badan memuncak lebih dari 38 derajat. Muka pucat dan mata penderita kuning. Sampai sekarang baru tercatat lima penderita penyakit PNH di Indonesia, termasuk Rusmono Hadi, yang karena penderitaannya itu hingga kini belum menikah. Rusmono Hadi mulai berangkat ke PMI untuk meminta darah donor yang dia terima dengan gratis, kalau dia sudah menyaksikan darah dalam air seninya. Dan kalau badannya lemas. Alfian, seorang dokter ahli transfusi yang pernah menangani Rusmono di Dinas Transfusi Darah PMI Surabaya, mengatakan bahwa tingkat HB Rusmono "normalnya 11". Padahal, untuk orang biasa 14 sampai 16. Gejala lemas yang dirasakan Rusmono itu muncul bila kadar HB sudah anjlok sampai 7. "Kalau HB-nya di-top-kan sampai 14 atau 16, justru kehancuran sel darah itu lebih cepat," kata dr. Alfian pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini