Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #289 Seksisme dan Ujaran Kebencian Kepada Perempuan Marak dalam Pilkada 2024

Lontaran seksisme itu juga mengarah ke ujaran misoginis terhadap perempuan banyak dilakukan saat pilkada 2024.

5 Desember 2024 | 21.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pilkada 2024 menghadirkan sejumlah pemimpin baru politik Indonesia, tetapi perhelatan itu juga menjadi panggung terbuka bagi ujaran kebencian bernada seksisme. Tak hanya diskriminasi berdasarkan gender, lontaran seksisme itu juga mengarah ke ujaran misoginis terhadap perempuan. Salah satu lontaran yang marak mengenai janda, yang menjadi bahan tertawaan di media sosial. Mengapa seksisme online marak di setiap pemilu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo

Seksisme dan Ujaran Kebencian Kepada Calon Perempuan Marak dalam Pilkada 2024

Setiap Pemilihan Umum, perempuan kerap menjadi sasaran diskriminasi dalam kampanye melalui ujaran-ujaran yang tak pantas. Anda mungkin sempat mendengar celotehan bernada seksis yang dilontarkan oleh sejumlah pasangan calon kepala daerah dalam kampanye Pilkada 2024 lalu.

Misalnya, pernyataan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1, Suswono, mengenai janda kaya yang menikahi pemuda pengangguran pada 26 Oktober lalu. Calon gubernur DKI lainnya, Dharma Pongrekun, pernah menyebutkan “guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di taman kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT sejak dini”.

Begitu pula calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah dalam debat perdana Pilkada Banten, Rabu, 16 Oktober 2024. Ia menyebut perempuan jangan diberi beban berat, terutama menjadi gubernur. Lontaran dalam pidato luring itu kerap diamplifikasi oleh akun-akun tertentu di media sosial sehingga menyebar cukup luas ke ruang digital. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan adanya kampanye yang masih menormalisasi pernyataan seksisme, subordinasi perempuan, dan kekerasan seksual itu.

Berbagai lontaran seksis selama pilkada membuktikan bahwa perempuan kerap distereotipkan sebagai pribadi yang tidak pantas memimpin atau kurang percaya diri menghadapi kritik. Persoalan lontaran seksisme jadi semakin berat karena adanya hambatan kultural dan pengetahuan yang masih dihadapi oleh perempuan–termasuk calon pemimpin daerah perempuan. 

Menurut “Women as Political Communication Sources and Audiences”, beban domestik juga mempersempit akses perempuan ke jaringan dan pengetahuan. Dari sisi budaya, perempuan digambarkan sebagai pemalu, suka menangis, takut; sebaliknya, laki-laki identik dengan keberanian pantang menyerah, dan tidak pernah menangis. Alhasil, dalam setiap bursa pilkada cemoohan terhadap calon perempuan seperti ini dianggap lazim di tengah minimnya jumlah calon pemimpin perempuan.

Dalam tulisan Konde.co, calon pimpinan kepala daerah di Gunungkidul, Yogyakarta, Endah Subekti Kuntariningsih, pernah mendapatkan cercaan terkait status jandanya ketika maju dalam bursa Pilkada. “Jangan pilih janda, ya, jangan pilih perempuan, perempuan itu kerjanya cuma di belakang dan tidak bisa memimpin.” Penampilan mulai cara pakai baju, cara dandan, warna rambut, juga tak luput jadi bahan cemoohan.

Selain seksisme, narasi misoginis menyasar kandidat perempuan di media sosial, terutama di TikTok. Pemantauan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Monash Data & Democracy Research Hub (MDDRH) menemukan narasi-narasi yang mempertanyakan kemampuan kandidat perempuan. “Di beberapa video terkait Pilkada NTB, kami menemukan komentar-komentar yang menyudutkan perempuan yang tidak pantas menjadi pemimpin,” tutur co-director MDDRH Ika Idris dalam keterangan tertulis.

Narasi seksis yang mengakar tersebut Membuat jalan politik perempuan semakin terjal, dan menjadikan pemilu maupun pilkada tidak ramah terhadap perempuan. 

**Cek Fakta Tempo telah hadir selama lima tahun membantu publik menghadirkan informasi yang sesuai fakta, serta melawan misinformasi dan disinformasi. Kami membutuhkan masukan Anda agar cek fakta Tempo terus relevan menjawab kebutuhan pembaca serta menghadapi tantangan disinformasi yang semakin kompleks. Semoga Anda bisa meluangkan waktu selama 5 menit untuk mengisi survei pada tautan ini.

Ada Apa Pekan Ini?

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi Tipline kami.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus