Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua pendukung Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi setuju untuk mencopot Mahdi dari jabatan orang nomor satu di Irak. Kata sepakat ini diambil setelah gelombang unjuk rasa di Ibu Kota Bagdad melawan pemerintahan Mahdi semakin deras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari reuters.com, Rabu, 30 Oktober 2019, Moqtada al-Sadr, ulama kelompok syiah yang menguasai suara mayoritas parlemen Irak, telah meminta kepada Perdana Menteri Mahdi agar dilakukan pemilu dini. Namun permintaan ini ditolak Mahdi sehingga al-Sadr menyerukan pada rival politiknya Hadi al-Amiri, agar membantunya mendongkel Mahdi dari tampuk kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendemo berkumpul dalam demonstrasi selama jam malam, tiga hari setelah protes anti-pemerintah nasional berubah menjadi kekerasan, di Baghdad, Irak 4 Oktober 2019. [REUTERS / Alaa al-Marjani]
Amiri, yang memimpin aliansi parlemen yang memegang suara mayoritas terbesar kedua di parlemen, mengeluarkan sebuah pernyataan pada Selasa malam, 29 Agustus 2019 yang berisi setuju untuk membantu menggulingkan Perdana Menteri Mahdi.
"Kami akan bekerja sama untuk mengamankan kepentingan masyarakat Irak dan mengamankan negara," kata Amiri, dalam sebuah pernyataan.
Mahdi menduduki jabatan Perdana Menteri Irak baru satu tahun atau saat Irak mengalami kebuntuan politik, dimana al-Sadr dan Amiri sama-sama gagal mengamankan suara untuk membentuk sebuah pemerintahan.
Keduanya lalu menunjuk Mahdi buah dari kandidat kompromi yang kemudian mengarah ke sebuah koalisi pemerintahan yang rapuh.
Gelombang unjuk rasa di Irak meletup pada 1 Oktober 2019 yang dipicu oleh ketidak puasan masyarakat akibat kesulitan ekonomi dan korupsi yang telah dua tahun menggerogoti stabilitas Irak. Sejak unjuk rasa terjadi, setidaknya 250 orang tewas.