Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pantai Gading Jumlah Penduduk: 20 juta Luas Negara: 324 ribu kilometer persegi Organisasi: Fédération Ivoirienne de Football Berdiri: 1960 Keikutsertaan: 2006 Gelar Terbaik: Juara Piala Afrika 1992 Peringkat FIFA: 16 (November 2009)
SETELAH bola-bola undian itu terkupas, Carlos Dunga langsung membuat kesimpulan penting. Dia dan tim asuhannya, Brasil, harus langsung tancap gas. Lawan pertamanya, Korea Utara, memang ringan. Tapi dua lawan berikutnya? ”Dengan Portugal, kami biasa bertemu dan saling mengalahkan. Saya yakin di arena Piala Dunia motivasi pemain pasti berlipat,” kata Dunga. Nah, khusus menghadapi Pantai Gading, salah satu perwakilan dari Benua Afrika, tak ada cara, menurut dia, selain bekerja lebih keras.
Dunga jelas tidak dungu. Ketakutan seperti itu ternyata bukan hanya miliknya. Sejak jauh-jauh hari, Fabio Capello—manajer tim nasional Inggris—terus komat-kamit berharap tim asuhannya terhindar dari Pantai Gading di babak awal. Dia merasa beruntung setelah hasil pengundian memisahkan tim Tiga Singa dari Kawanan Gajah—julukan Pantai Gading. Yang harus hati-hati adalah Portugal. ”Pertandingan pertama kami sangat menentukan,” kata Cristiano Ronaldo.
Grup G merupakan ”neraka paling jahanam” di Piala Dunia Afrika Selatan tahun depan. Gara-gara Portugal tidak masuk unggulan, negeri ini pun berkumpul dengan Brasil, Korea Utara, dan Pantai Gading. Tim terakhir tak boleh dianggap sepele. Bagaimanapun, tim yang dipimpin Didier Drogba ini akan menjadi batu sandungan bagi Portugal. Lengah sedikit saja: wassalam dan silakan angkat koper.
Pantai Gading sendiri justru lebih tenang. Berada di grup keras adalah untuk yang kedua kalinya. Pengalaman tiga tahun lalu masih berbekas. Di Jerman, pagi-pagi benar mereka harus angkat koper akibat terperangkap dalam grup bersama Argentina dan Belanda. ”Ya, itu memang hasil yang buruk. Tapi itu pengalaman pertama bagi kami. Kali ini kami jauh lebih baik. Malah mereka yang harus takut kepada kami,” kata Drogba sambil tersenyum.
Keyakinan serupa disemburkan Vahid Halilhodzic, pelatih tim Pantai Gading asal Bosnia-Herzegovina. ”Kami memang berada di grup berat. Tapi, maaf, kami tak akan menyerah. Kami datang ke sini bukan untuk berlibur, melainkan untuk sebuah ambisi besar,” ujarnya tak lama setelah acara pengundian, awal Desember lalu.
Membawa ambisi besar itu tentu tidak asal berangkat. Seperti kata Drogba, persiapan mereka kali ini lebih baik. Selain formasi pemainnya lengkap dan masing-masing memiliki pengalaman berlaga di Liga Eropa, perolehan nilai mereka selama babak kualifikasi memuaskan. Di babak akhir, mereka hanya kehilangan satu poin pada saat ditahan imbang Malawi. Satu gol dari Drogba itu memastikan keberadaan mereka di Afrika Selatan.
Sepak bola memiliki arti penting di Pantai Gading. Bukan sekadar olahraga, sepak bola juga berpengaruh pada politik negeri itu. Saat negeri ini lolos ke Piala Dunia 2006, keadaan Pantai Gading teramat genting. Negara itu terpecah menjadi dua bagian—utara dan selatan—sejak terjadi pemberontakan dari bagian utara pada September 2002. Konflik utara-selatan itu seperti gangguan laten yang mempengaruhi stabilitas negara kecil itu, termasuk sepak bolanya.
Untunglah, Drogba dan kawan-kawan lolos ke Piala Dunia tiga tahun silam. Seperti halnya politikus di mana pun yang selalu ingin tampil sempurna di depan publik, para pemegang kekuasaan politik di sana punya gaya tersendiri. Presiden Pantai Gading Laurent Gbagbo memberikan hadiah berupa rumah mewah kepada tim sepak bola nasional. Sambutan tak kalah menarik disajikan kaum oposisi dan para pemberontak.
Melihat tanda-tanda tersebut, Drogba pun mengambil kesempatan. Dia, mewakili pemain lainnya, meminta konflik dihentikan, persis beberapa saat sebelum kickoff. Di televisi, dia meminta pihak yang bersengketa menyudahi semua cerita kekerasan. Eh, benar. Sejak itu, Pantai Gading berangsur damai.
Di luar tuahnya di bidang lain, tim Pantai Gading merupakan kekuatan baru sepak bola Afrika. Bersama Ghana, negeri ini menyamai kekuatan yang dimiliki Kamerun atau Nigeria, yang lebih dulu beraksi di ajang Piala Dunia.
Apa sebenarnya kekuatan mereka? Tentu saja, seperti tim Afrika Hitam—untuk membedakannya dengan Afrika Utara atau kawasan Magribi—lainnya, mereka memiliki faktor kekuatan, yakni fisik prima dan bakat lengkap dari masing-masing pemain. Boleh dibilang ini adalah generasi emas sepak bola Pantai Gading. Pemain macam Didier Drogba dan Salomon Kalou adalah pilar di klub masing-masing.
Dua faktor inilah yang kemudian disempurnakan oleh sejarah dan letak geografis. Seperti halnya banyak negara Afrika yang bekas koloni negeri Eropa seperti Prancis, mereka masih memiliki hubungan baik dengan para penjajahnya.
Dengan bekal yang mereka miliki, bermain sepak bola adalah sebuah jalan untuk mengubah hidup. Alhasil, mereka pun merantau ke Eropa. Tak selamanya berhasil, karena banyak pula bakat istimewa tersia-siakan dan hanya menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).
Lantas apa yang bisa dibanggakan Kawanan Gajah ini di Piala Dunia sekarang? Yaya Toure, yang bermain di Barcelona, ogah sesumbar. Yang pasti, kata dia, mereka akan memberikan yang terbaik bagi negerinya di ajang yang mahapenting ini.
Hanya—ini repotnya—Piala Afrika, yang selalu digelar awal tahun, kerap menjadi dualisme bagi tim Afrika. Mereka kerap menjadikannya ajang uji coba sekaligus ”merelakan” musuh mengintip kekuatan tim mereka. Sepertinya Kawanan Gajah juga tak peduli taktik dan strateginya diketahui umum sebelum perang yang sebenarnya di Piala Dunia dimulai. Sang pelatih, Vahid Halilhodzic, memboyong semua pemain hebatnya ke turnamen yang mulai digelar Januari depan di Angola itu.
Irfan Budiman (FIFA.Com, Goal.Com, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo