Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yvo de Boer bukan pelawak. Tapi Sekretaris Eksekutif Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) ini bisa juga melucu. Selasa pekan lalu, misalnya, dia membawa masuk sebuah pelampung penyelamat ke dalam ruangan konferensi pers di Bella Center, gedung utama pertemuan, di jantung Kopenhagen, Denmark. Tingkahnya itu kontan mengundang senyum para wartawan.
Pelampung itu pemberian aktivis Oxfam, organisasi nonpemerintah yang peduli terhadap masalah kemiskinan dan ketidakadilan, yang berbasis di Inggris. Saat itu, Oxfam memang tengah mengadakan aksi teatrikal di gedung tersebut. De Boer membiarkan dirinya menjadi santapan kamera para fotografer. Lelaki kelahiran Wina, Austria, 12 Juni 1954, itu bahkan berpose sambil memegang pelampung dari ban mobil dengan tulisan "1,5 million voices, act now save lives".
Aksi De Boer mewarnai pertemuan para wakil negara anggota UNFCCC dalam Konferensi Para Pihak (COP). Konferensi ini diadakan untuk memantapkan Protokol Kyoto supaya mampu mengikat negara maju secara hukum menurunkan emisi gas rumah kaca.
De Boerlah orang yang bertanggung jawab mengatur perundingan itu berjalan lancar. Pejabat PBB berkewarganegaraan Belanda ini juga harus melayani keluhan para peserta konferensi yang terpaksa antre sampai dua kilometer untuk masuk gedung itu di tengah suhu yang menggigit tulang, minus dua derajat Celsius.
Di sela kesibukan yang padat, De Boer menerima wawancara wartawan Tempo, Untung Widyanto, dalam beberapa kesempatan di arena konferensi.
Para peserta, organisasi nonpemerintah, dan wartawan harus antre lama memasuki Bella Center. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Saya memang pihak yang harus disalahkan banyak orang. Masalahnya, kami tidak dapat memasukkan orang yang ukuran kakinya 12 ke dalam sepatu berukuran 10. Kapasitas gedung cuma 15 ribu orang, tapi 45 ribu orang ingin masuk. Ini hal yang mustahil. Saya meminta petugas keamanan memberikan prioritas kepada delegasi anggota UNFCCC yang akan memasuki gedung agar mereka segera bersidang.
Bagaimana Anda melihat demonstrasi besar-besaran pada pekan pertama?
Pasti berpengaruh pada para perunding. Hal itu menunjukkan orang-orang di luar sana ingin orang yang di dalam gedung Bella Center cepat-cepat bertindak.
Bagaimana Anda menilai Konferensi Para Pihak Ke-15 di Kopenhagen ini?
Ini konferensi paling transparan yang pernah saya ikuti. Memang kita tidak bisa mendapatkan kesepakatan yang memuaskan semua orang.
Bagaimana jalannya persidangan?
Pada pekan pertama berjalan baik. Ada kemajuan pada jalur Kelompok Kerja Ad Hoc Tindak Kerja Sama Jangka Panjang dan Protokol Kyoto (lembaga pelengkap dalam perundingan COP). Misalnya soal adaptasi dan Pengurangan Emisi dari Penggundulan dan Perusakan Hutan (REDD). Ibaratnya ini baru setengah jalan. Kita menunggu di depan mobil dan sisa perjalanan tampaknya menyenangkan, mudah, dan santai. Negara industri telah menawarkan target pengurangan emisi karbon. Pertanyaannya adalah apakah ini memang cukup.
Apa kelanjutan dari perundingan itu?
Memasuki pekan kedua, kami terus mengkonsultasikan secara informal hal ini dengan para menteri, termasuk isu-isu politik yang menyertainya. Kelompok Kerja Ad Hoc memberikan laporan dan ketua dari dua kelompok membawa teks yang mereka laporkan dalam sidang pleno. Kepada para juru runding, saya sarankan gunakanlah kesempatan ini untuk berdiskusi dengan para menteri yang sudah hadir di Kopenhagen.
Anda bicara soal REDD. Apa yang masih belum disepakati?
Proses dalam metodologi memang belum jelas. Juga bagaimana dukungan pendanaannya.
Bagaimana di bidang keuangan?
Sudah ada komitmen yang jelas dari Uni Eropa dan sejumlah negara lain. Pada akhirnya kita membutuhkan daftar yang tepat dari setiap negara. Persoalannya, apakah mereka bersedia memberi?
Selama persidangan, Amerika Serikat tetap menolak jalur melalui Protokol Kyoto?
Sejak awal, mereka memang tidak terlalu tertarik pada Protokol Kyoto. Mereka tidak mau diikat secara hukum dengan hasil di Kopenhagen. Amerika Serikat ingin negara-negara berkembang juga melakukan sesuatu.
Apakah Amerika dan Cina setuju dan apa usul baru dari Cina?
Ada lebih dari dua negara yang mengusulkan kesepakatan. Mereka menginginkan kesepakatan yang mengikat secara hukum. Masalahnya, ada perbedaan pandangan mengenai makna dari mengikat secara hukum.
Kelompok Afrika ngotot jalur Protokol Kyoto tetap dipertahankan. Komentar Anda?
Tidak hanya Kelompok Afrika yang ingin Protokol Kyoto bertahan hidup. Banyak negara menginginkan hal yang sama. Mereka berbicara kepada semua kelompok regional untuk mendapatkan kesepakatan pada akhir konferensi.
Tapi Kelompok Afrika paling keras suaranya dan terus menekan.
Tidak ada pihak yang menghalangi. Mereka hanya ingin memastikan ada cukup perhatian pada Protokol Kyoto dengan target yang jelas.
Bagaimana Anda menilai peran delegasi Indonesia dalam konferensi Kopenhagen?
Sangat membangun. Usul-usul Indonesia menjadi masukan penting bagi konferensi. Rachmat Witoelar (ketua delegasi Indonesia) bahkan dipercaya menjadi fasilitator oleh Presiden COP Ke-15 Connie Hedegaard dalam sidang yang membahas isu target negara maju di bawah Protokol Kyoto. Indonesia memang berpengalaman dalam COP Ke-13 di Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo