PARA petani masih menuai padi di persawahan Kampung Ciherang,
Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung pekan lalu. Sekalipun
upacara panen raya yang di buka Gubernur Aang Kunaefi sudah
selesai 4 September. Biasanya musim panen di areal sawah 82 Ha
itu, di Desa Kiangroke dan Kamasan, 800 meter di atas permukaan
laut, tak lebih dari dua hari. Sekarang, "kami kekurangan
tenaga," kata H. Zakaria, 65 tahun, petani dasus di Ciherang
kepada Hasan Syukur dari TEMPO.
Intensifikasi Khusus (Insus) nampaknya memang membawa keajaiban.
Kalau di Desa Yosomulyo (Banyuwangi) produksi bisa mencapai 11,9
ton per hektar di Ciherang melonjak antara 8,8 ton sampai 12,88
ton. Terdiri dari jenis variasi unggul tahan wereng (VUTW) IR 36
dan IR 38. Sebelum Insus produksi padi jenis lokal yang tak
tahan wereng tapi enak rasanya itu, paling banyak hanya empat
ton per hektar.
H. Masykur, 67 tahun, ketua panitia Insus di sana bisa memaklumi
kalau sementara pengamat beranggapan prestasi di Ciherang
sebagai "fantastis". Juga aktif sebagai Koordinator Perkumpulan
Petani Pemakai Air (P-3A) Ciherang, Masykur malah beranggapan,
adalah "mustahil" rekor yang dipecahkan di Ciherang itu. "Ini
bila orang menghitung per hektar," katanya. "Perhitungan yang
begitu memang belum dikurangi dengan pematang dan dan selokan
yang tidak ditanami padi."
Lalu? "Ya, perhitungan hasil Insus di sini memakai sistem
ubinan," katanya. Yakni, dari hasil tiap 2,5 x 2,5 meter. Namun
begitu, petani itu mengakui produksi sehebat itu juga disebabkan
sudah berjalannya irigasi tertier di Ciherang yang diketuainya.
"Sebelum adanya tertierisasi paling sedikit tiga hektar sawah di
sini gamblung (tak bisa ditanami) karena kekurangan air,"
ujarnya.
Proyek tertier itu selesai dibangun pada akhir 1979. Menelan Rp
45 juta, hasil padat karya penduduk itu, menurut Masykur, bisa
mengairi sawail seluas 1.172 hektar di sembilan desa di
Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Pamempeuk. Ketepatan memberi
air itu yang ternyata penting bagi sawah Insus. Sebab, seperti
kata seorang petani di Banjaran, sawah Insus yang padat pupuk
itu bisa mengeras kalau kurang diari. Satu hektar sawah Insus
minimal membutuhkan enam ton pupuk, dua ton lebih banyak dari
sawah Bimas.
Tapi yang menarik adalah letak Ciherang sendiri, yang diapit
oleh dua jalan raya Banjaran Pengalengan dan Banjaran Soreang.
Letak yang strategis begitu boleh dibilang dimiliki setiap
daerah Insus, sehingga perhatian pun bisa lebih ditumpahkan ke
sana.
Dasep Kartika, 45 tahun, Ketua Hmpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) Kabupaten Bandung, termasuk yang pro Insus. Dipilihnya
Ciherang, menurut: Dasep, datang dari HKTI Kabupaten Bandung,
ketika diminta membuat usulan proyek Insus. Toh tokoh I HKTI itu
merasa was-was juga. "Bila gagal mau dikemanakan muka kami,"
katanya pekan lalu kepada TEMPO.
Kini yang menjadi masalah bagi proyek Insus itu, terutama yang
berhasil baik, adalah mempertahankan reputasi mereka. Kalau
Ciherang sudah mampu memproduksikan sampai 11,9 ton per Ha,
orang-orang seperti Zakaria, Masykur dan Dasep tentu tak ingin
melihat ,produksi yang berikutnya akan lebih kurang dari yang
sekarang.
Malca benar juga apa yang dikatakan Sampan Endo Sasmito, petani
Insus dari Desa Yosomulyo yang memenangkan lomba Insus tahun
ini. "Kalau dengan Insus produksi bisa naik, itu semata-mata
karena pelaksanaan teknis tanamanya serba tepat: Pemberian
pupuknya, umur bibit dan airnya selalu tepat jadwal." Dan yang
memikirkan ketepatan itu, seperti kata Sampan, adalah para
pengurus Insus, jadi bukan masing-masing petani yang terlibat
dalam proyek Insus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini