DI tengah hiruk pikuk kejaksaan menggebrak semua sektor yang diduga korup, termasuk pajak, sebuah keputusan kontroversial muncul dari Pengadilan Negeri Samarinda. Majelis Hakim yang diketuai Abdul Kadir Mappong, Sabtu pekan lalu, membebaskan si raja kayu, Haji Muhammad Jos Soetomo alias Kang King Tat, dan kakaknya Ava Hartono alias Kang King Hwa dari tuduhan memanipulasikan pajak dan iuran hasil hutan sebesar Rp 4,6 milyar. Pada hari itu pula majelis hakim memerintahkan jaksa penuntut umum, Bagio Supardi, membebaskan kedua pengusaha itu dari tahanan dan merehabilitasikan kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabat mereka. Tepuk tangan dari sekitar 500 pengunjung persidangan hari itu dengan meriah menyambut pembebasan Jos sang dermawan. Salah seorang hadirin malah tidak lupa membaca salawat Nabi yang disambut hadirin lainnya dengan ucapan "sallim alaih". Seperti upacara selamatan saja, Jos, yang 4 April 1984 merayakan ulang tahunnya ke-39, begitu selesai sidang repot menerima ucapan selamat dari pengunjung. Direktur Utama Sumber Mas Group yang hari itu memakai safari warna cerah, krem - biasanya safari biru tua - tidak banyak berkomentar atas pembebasannya itu. "Syukur alhamdulillah," hanya itu yang diucapkannya. Semua tuduhan dan tuntutan Jaksa Bagio Supardi berantakan di persidangan Majelis Hakim menolak tuduhan Jaksa bahwa Jos telah memanipulasikan fasilitas bebas bea yang diberikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk impor alat-alat berat dan barang-barang modal bagi perusahaan PMDN, miliknya, PT Sumber Mas Timber dan PT Meranti Indah Plywood. Menurut dakwaan Jaksa, barang-barang itu kemudian digunakan oleh perusahaan Jos yang lain, yaitu PT Kayan River Indah Product, PT Kayan River Indah Plywood, PT Meranti Sakti Indah Plywood, dan PT Bumi Hijau Kalimantan. Ternyata, menurut Hakim, di persidangan tidak satu pun saksi yang diajukan Jaksa mengaku pernah melihat barang-barang fasilitas PMDN itu digunakan oleh perusahaan-perusahaan Jos yang lain. Sebaliknya, pada pemeriksaan Hakim terbukti pula bahwa pemasukan barang-barang modal itu dan penempatannya di perusahaan-perusahaan Jos Soetomo sesuai dengan ketentuan-ketentuan BKPM dan Bea Cukai. Bahkan, menurut para saksi di persidangan, perusahaan-perusahaan Jos yang non-PMDN tidak membutuhkan alat-alat yang disangka Jaksa disalahgunakan itu. Satu-satunya saksi yang diandalkan Jaksa Ruslan Effendi, bekas Kepala Cabang PT Kayan River Timber Product di Tarakan yang menjadi sumber utama kejaksaan dalam mengusut perkara Jos - justru mentah di persidangan. Ruslan juga tidak pernah melihat peralatan-peralatan perusahaan PMDN disalahgunakan, walau ia melaporkan begitu. "Saya'kan di Tarakan, bagaimana saya bisa melihat di areal," ujar Ruslan di sidang. Padahal, Ruslan mengaku mengirimkan 40 berkas pengaduan kepada berbagai instansi dan media massa Ibu Kota tentang manipulasi Jos, setelah ia mengundurkan diri dari perusahaan itu. Akibatnya, tuduhan Jaksa menjadi bolong-bolong. Juga tuduhan bahwa PT Sumber Mas Timber dan PT Kayan River Timber telah merugikan negara dengan menunggak Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Iuran Hasil Hutan Tambahan (IHHT) sebesar Rp 237 juta. Menurut pemeriksaan Hakim, semua tunggakan yang disebutkan Jaksa sudah dilunasi kedua perusahaan itu. Bahkan Jos dan kakaknya, Ava, membuktikan dengan "tanda lunas" kedua iuran itu dari Dinas Kehutanan. Meskipun Jaksa mengemukakan data-data dari BRI Samarinda - bank tempat membayar iuran itu - Hakim lebih mempercayai bukti dari Dinas Kehutanan, sebagai yang berwenang menagih iuran itu. Kegagalan Jaksa Bagio Supardi, yang sebelumnya menuntut hukuman kedua bersaudara itu masing-masing 7 tahun penjara, bukan hanya di segi itu. Bagio juga gagal untuk tidak melepaskan Jos dan Ava setelah putusan Hakim dengan alasan ia masih mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan itu. Sikap Jaksa itu, tentu saja, mengundang perdebatan dengan tim pembela yang terdiri dari Talas Sianturi, A. Temarubun, Nyonya Soetanti Winarso dan Nyonya Endang Soemarsono. Para pembela berpendapat, sesuai dengan KUHAP, seorang tersangka yang dibebaskan hakim harus dilepaskan dari tahanan walau jaksa mengajukan kasasi. Sikap pembela ini juga didukung Hakim. "Jaksa harus melaksanakan perintah hakim," ujar Hakim Mappong. Barulah, menjelang sore, Jaksa mengalah dan melepaskan Jos dan Ava, yang ditahan kejaksaan sejak September lalu. "Agaknya, Jaksa sudah mendapat lampu hijau dari Kejaksaan Agung untuk melepaskan klien kami," ujar Temarubun. Selain sengketa itu, yang menarik adalah "keberanian" Hakim untuk melepaskan Jos dan Ava dari tuntutan hukuman. Berubahkah kebijaksanaan pemerintah untuk menindak korupsi pajak? Hakim Mappong membantah ada pengarahan dari atas untuk membebaskan pengusaha kayu itu. "Ini benar-benar menurut pertimbangan Majelis. Tidak ada satu pesan pun yang mempengaruhi," ujar Mappong kepada TEMPO. Namun, sebelum Mappong mengambil keputusan, Jaksa Agung Ismail Saleh telah mendahului hakim itu dalam soal serupa. Hendra Rahardja, Direktur Harapan Group, yang akhir tahun lalu diusut karena tuduhan manipulasi pajak sekitar Rp 17 miIyar, ternyata tidak jadi diadili. Pemilik Gajah Mada Plaza, perhotelan di Singapura, dan penyalur motor Yamaha itu hanya diwajibkan membayar kembali tunggakan pajaknya. "Semuanya sudah diselesaikan baik-baik pemerintah sesungguhnya tidak menginginkan jatuhnya banyak korban," ujar Ismail Saleh. (TEMPO, Ekonomi & Bisnis, 31 Maret). Direktur Jenderal Pajak, Salamun A.T. yang mengaku sebagai partner kejaksaan dalam mengusut kasus-kasus pajak, menolak untuk menjelaskan "kebijaksanaan" pemerintah dalam menangani kasus seperti Hendra Rahardja. "Yang pasti, kami tidak mencari-cari korban. Kami hanya ingin semua orang menyadari kewajiban untuk membayar pajak," ujarnya. Angin barukah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini