Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alexis Sanchez melangkah perlahan menuju titik putih di depan gawang Argentina saat laga final Copa America 2015 di Estadio Nacional Julio MartÃnez Prádanos, Santiago, Cile, 5 Juli lalu. "Fiuhhh…," Alexis mendesis seraya mengembuskan napas panjang. Ketegangan tercetak di wajahnya, yang basah oleh keringat. Di tribun, tak kurang dari 45 ribu penonton berdebar menanti aksinya.
Detik-detik seakan-akan bergerak melambat ketika pemain depan tim nasional Cile itu akhirnya menendang bola. Penjaga gawang Argentina, Sergio Romero, langsung bereaksi. Ia melompat ke kiri. Namun bola ternyata melayang lambat ke tengah gawang, tempat ia semula berdiri. Romero, yang sudah mati langkah, hanya bisa pasrah saat komentator pertandingan berteriak: "Goool!"
Sanchez sejenak tertegun sebelum akhirnya membuka bajunya dan berlari ke pinggir lapangan. Gol tersebut memastikan kemenangan Cile atas Argentina dalam drama adu penalti di babak final dengan skor 4-1. Tiga gol Cile lainnya dicetak Matias Fernandez, Arturo Vidal, dan Charles Aranguiz.
Sejarah pun tercetak. Ini gelar pertama Cile selama hampir satu abad keikutsertaannya di Copa America. "Kami sudah lama sekali memimpikan kemenangan ini," kata penjaga gawang Cile, Claudio Bravo.
Cile sebelumnya empat kali menembus babak final Copa America, yakni pada 1955, 1956, 1979, dan 1987. Namun baru pada final kelima ini negara itu berhasil meraih trofi. Sebuah penantian yang teramat panjang dan karena itu sangat layak dirayakan. Ribuan orang memadati jalan-jalan di Kota Santiago. Para pemain diarak dengan bus terbuka sebelum diterima Presiden Michelle Bachelet di istana kepresidenan. Mereka berpesta hingga pagi.
Alexis Sanchez menjadi bintang utama dalam perayaan tersebut. Namun pahlawan Cile di turnamen itu sejatinya bukan Sanchez, melainkan pelatih Jorge Sampaoli. Ia tak hanya memberikan pikiran dan tenaganya untuk tim nasional Cile, tapi juga perasaannya. Sebab, Argentina, yang dikalahkannya, tak lain adalah negaranya sendiri.
Sampaoli lahir di Santa Fe, Argentina, 55 tahun lalu. Ia tumbuh, besar, bahkan sempat bergabung dengan klub Newell's Old Boys di Kota Rosario, Argentina. Bisa dibayangkan bagaimana emosinya teraduk saat melihat Lionel Messi cs tertunduk lesu. Sebagai orang Argentina, Sampaoli seharusnya berada di sisi Messi.
Sebagai pelatih, Sampaoli tahu bagaimana ia harus bersikap. "Saat Cile menunjuk saya sebagai pelatih, sudah menjadi kewajiban saya memenangi turnamen ini," ujarnya.
Komitmen. Ini kata yang selalu dipegangnya sejak ia memutuskan menjadi pelatih sepak bola setelah pensiun sebagai pemain karena cedera pada usia 19 tahun. Saat melatih klub amatir Belgrano de Arequito di Argentina pada 1994, misalnya, ia pernah mendapat sanksi tak boleh berada di pinggir lapangan ketika timnya bertanding. Namun Sampaoli tak kehilangan akal. Ia memanjat pohon di dekat lapangan. Dari sana, ia memberikan instruksi kepada para pemainnya.
Aksi gila tersebut membuat takjub Presiden Newell's Old Boys ketika itu, Eduardo José López. "Saya tak pernah melihat orang dengan dedikasi seperti ini," katanya.
López kemudian merekrut Sampaoli sebagai manajer untuk klubnya. Sampaoli sempat melatih beberapa klub di Argentina dan Peru sebelum akhirnya melatih Cile pada awal Desember 2012. Ia menggantikan Claudio Borghi, yang dipecat setelah Cile menelan lima kali kekalahan beruntun.
Bisa dibilang, saat itu tim nasional Cile berada di titik nadir. Padahal, sebelum dilatih Claudio Borghi, negara itu sempat bersinar saat dipegang Marcelo Bielsa, pelatih yang juga berasal dari Argentina. Cile bahkan lolos ke putaran final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Beberapa hari setelah ditunjuk, Sampaoli langsung memutuskan Cile harus menghidupkan kembali filosofi yang pernah ditiupkan Bielsa, yakni sepak bola menyerang tanpa jeda. Untuk itu, pelatih berkepala plontos ini membutuhkan pemain dengan tipe petarung yang bermental beton, bernapas kuda, dan memiliki fisik sekuat badak.
Untungnya, tak sulit mencari pemain dengan kriteria tersebut di Cile. Sebab, sebagian besar pemain Cile berasal dari keluarga buruh. Mereka tumbuh di tengah kemiskinan. Alexis Sanchez, Arturo Vidal, dan Gary Medel adalah beberapa nama yang masuk radar Sampaoli. Ketiganya adalah pemain yang masa kecilnya berkerabat dengan kemelaratan.
Sanchez, misalnya, pernah menjadi penari salto di jalanan Kota Santiago. Pada saat yang sama, ia bekerja sebagai tukang cuci mobil. Semua demi bertahan hidup.
Kisah Vidal bahkan lebih suram. Kepada Gazzetta TV pada Juni lalu, pemain yang sukses membawa Juventus meraih scudetto musim lalu ini menuturkan masa lalunya. "Saat berusia 13 tahun, saya dan keluarga pernah tak memiliki apa pun di meja makan. Padahal ibu saya sudah bekerja keras sepanjang hari," ujarnya.
Menurut pemain 28 tahun ini, kebanyakan anak di Cile saat itu hidup serba susah. Sepak bola menjadi satu-satunya tempat mereka melupakan rasa lapar. "Dulu kami biasa bermain sepak bola di lapangan berbatu. Sejujurnya, masa sulit itulah yang membuat kami menjadi seperti ini," kata Vidal.
Dengan karakter pemain seperti Arturo Vidal dan Alexis Sanchez inilah jiwa sepak bola menyerang tanpa jeda yang diterapkan Sampaoli menemukan raganya. Sanchez dan Vidal sudah memperkuat Cile ketika masih diarsiteki Marcelo Bielsa. Sampaoli juga memanggil enam pemain eks besutan Bielsa, yaitu Claudio Bravo, Mauricio Isla, Gonzalo Jara, Gary Medel, Jean Beausejour, dan Jorge Valdivia.
Di tangan Sampaoli, anak-anak didikan Marcelo Bielsa itu tampil lebih matang. Visi bermain mereka juga lebih tajam. Meski tak semuda saat dilatih Bielsa, mereka tetap agresif. Mereka tetap tak mengenal istilah menunggu bola. Setiap pemain wajib mengejar bola. Itu sebabnya Gary Medel mendapat julukan Pitbull dan Arturo Vidal dipanggil Warrior. "Setiap pemain harus bisa menyerang selama 90 menit," ujar Sampaoli.
Dengan DNA warisan dari Bielsa ini, bulan madu Sampaoli bersama tim nasional Cile berjalan indah. Mereka meraih delapan kemenangan dan hanya sekali kalah dalam 12 laga pertama.
Tergabung di Grup A Copa America, Cile membungkam Ekuador 2-0 dan mencukur Bolivia 5-0. Dua kemenangan besar ini meloloskan Cile ke babak perempat final. Uruguay, juara bertahan yang menanti di perempat final, dipaksa pulang setelah dikalahkan 0-1. Nasib yang sama dialami Peru, yang dibekuk 1-2 di semifinal.
Opta, lembaga penyaji data sepak bola yang berbasis di London, menobatkan Cile sebagai tim paling dominan sepanjang turnamen Copa America 2015 (lihat infografis).
Dengan kemenangan ini, Cile mengakhiri penantian 99 tahun. Nama Sampaoli pun akan tercatat sebagai pelatih tersukses sepanjang sejarah sepak bola Cile.
Di tengah pujian itu, Sampaoli tak lupa menyebut Bielsa. "Saya hanya mentransfer ide-idenya yang luar biasa ke para pemain," ucapnya.
Dwi Riyanto Agustiar (ESPN FC, Sky Sports, Bleacher Report, The Guardian)
Dominasi Cile
- Tim dengan gol terbanyak (13)
- Tim dengan rata-rata gol per game terbanyak (2,17)
- Tim dengan tendangan terbanyak (94)
- Tim dengan umpan terbanyak (3.593)
Agresivitas Pemain Cile
- Jorge Valdivia menjadi pemain dengan assist terbanyak (3). Dia juga tercatat sebagai pemain yang menciptakan peluang terbanyak (15).
- Eduardo Vargas menjadi pencetak gol terbanyak (4)
- Enam pemain Cile (Gary Medel, Charles Aranguiz, Marcelo Diaz, Arturo Vidal, Mauricio Isla, dan Jorge Valdivia) masuk 7 pemberi umpan terbanyak.
- Claudio Bravo menjadi kiper dengan clean sheet (tidak kebobolan) terbanyak (4).
- Gary Medel menjadi pemain kedua yang paling banyak menyapu bola (34).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo