Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tsunami Besar Membayangi Mentawai

Gempa dan tsunami besar seperti yang melanda Aceh pada 2004 bakal terulang di Kepulauan Mentawai. Mencari tahu potensi untuk membantu mitigasi bencana.

13 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gempa besar meruak dari dasar Samudra Hindia pada Ahad, 26 Desember 2004. Getaran tektonik berkekuatan 9,2 pada skala Richter itu sampai ke Bumi Serambi Mekah, Aceh. Tak sampai satu jam, gelombang laut setinggi 30 meter datang dari tengah laut. Mula-mula melahap pesisir, lantas gelombang laut itu meluluh-lantakkan setengah Provinsi Aceh dan memakan ratusan ribu jiwa.

"Kedahsyatan gempa dan tsunami Aceh berpotensi terulang di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat," kata Nugroho Dwi Hananto, peneliti geoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kepada Tempo di kantornya, 3 Juli lalu.

Tsunami itu, menurut dia, akan menerabas lebih dulu empat pulau di Kepulauan Mentawai: Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Setelah itu, tsunami akan terus melesak dan sampai ke pantai barat Sumatera dalam waktu 30-45 menit.

Nugroho sampai pada kesimpulan itu setelah penelitiannya bersama para peneliti dari Singapura, Prancis, dan Amerika Serikat menemukan bahwa di bawah permukaan dasar laut Kepulauan Mentawai masih tersimpan tenaga besar yang belum terlepas. Selama Juni lalu, dia bersama sembilan peneliti lain dari Earth Observatory Singapore-Nanyang Technology University, Institute de Physique du Globe de Paris, dan Schmidt Ocean Institute Amerika Serikat memetakan struktur bawah laut di Cekungan Wharton dan Mentawai Gap, lepas pantai barat Mentawai, untuk mengungkap potensi gempa dan tsunami besar.

Tim peneliti berlayar menggunakan kapal riset Falkor milik Schmidt Ocean Institute. Dua lokasi pemetaan itu merupakan zona subduksi (tumbukan) antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Beberapa penelitian tentang zona ini sebelumnya mengungkap belum ada gempa tektonik besar atau disebut gempa megathrust, yang terjadi selama 200 tahun terakhir. Alih-alih melepaskan tenaga, kedua lempeng ini malah terus saling menekan dengan kecepatan rata-rata 5,7 sentimeter per tahun.

Laju lesakan dua lempeng benua ini semakin kuat lantaran dorongan struktur aktif—lazim disebut sungai bawah laut—yang berada di kedalaman 5.000-6.500 meter. Sungai ini, kata pemimpin ekspedisi, Satish Singh, memiliki kedalaman sekitar 5 meter dan lebar 100 meter. "Walhasil, memunculkan cekungan di bawah permukaan yang menambah energi potensi gempa," tutur pria yang juga profesor di Institute de Physique du Globe de Paris itu dalam konferensi video yang digelar di kantor LIPI, Jakarta, akhir Juni lalu. "Gempa megathrust dapat terjadi kapan saja," ujarnya.

Zona subduksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia memang memanjang dari utara Sumatera sampai pantai selatan Jawa. Tapi, di section Jawa, kecepatan lesakan dua lempeng tidak sekencang di barat Sumatera. "Malah, bisa dibilang, laju lempeng di Jawa sudah mulai mentok," ujar Nugroho. Selain itu, di Jawa minim sungai bawah laut.

Nugroho agak takut membayangkan jika getaran gempa tersebut sampai ke palung—tebing curam dan dalam di dasar laut—yang banyak tersebar di permukaan lempeng. Dengan tegas dia menjelaskan, "Seberapa pun besar gempanya, jika getaran sampai ke palung, kemungkinan timbul tsunami sangat besar."

Rahma Hanifa, peneliti di Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, mengatakan gempa berkekuatan 6,8 skala Richter saja sudah mampu memicu tsunami jika getarannya sampai ke palung. "Salah satu kasusnya adalah tsunami Pangandaran pada Juli 2006," ujar Rahma, yang tak tergabung dalam penelitian yang dipimpin Singh. Istilah untuk fenomena gempa ini, kata Rahma, adalah tsunami earthquake. "Gempa berskala kecil tapi malah dapat menimbulkan tsunami besar."

Di Mentawai pun pernah terjadi kasus tsunami earthquake. Saat itu, 25 Oktober 2010, gempa bumi berkekuatan 7,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Mentawai. Tak berselang lama, saat warga Mentawai masih dalam suasana hati terkejut, tiba-tiba saja mereka diterjang gelombang setinggi tujuh meter. Tsunami itu pun memakan 415 korban jiwa, menghilangkan 128 orang, serta membuat 270 orang luka berat dan 12 ribu lainnya mengungsi.

Gempa dan tsunami memang misteri. "Termasuk waktu kemunculannya," kata Rahma. Adapun Nugroho mengibaratkan Mentawai sebagai sarang burung, permukaan dasar laut adalah cangkang telur, dan tsunami serta gempa adalah bayi burung yang menunggu waktu untuk menetas. "Keluarnya kedua bayi unggas dari cangkangnya tak bisa ditebak," kata Nugroho.

Meski persoalan "kapan" dan "seberapa besar" gempa dan tsunami masih terselubung misteri, studi Nugroho dan Singh beserta tim memiliki semangat lain. Singh menjelaskan, penelitian itu untuk, "Mencari tahu potensi dan penyebab tsunami di Mentawai, sehingga bisa membantu menentukan langkah tepat dalam mitigasi bencana."

Di sepanjang pesisir barat Sumatera Barat, ada lebih dari 500 ribu orang yang tinggal berdekatan dengan laut. Selain itu, ada tujuh juta orang yang tinggal di sepanjang pantai Sumatera tengah dan selatan, termasuk Kepulauan Mentawai. "Pertanyaannya sekarang, bagaimana menyelamatkan dan meminimalkan korban," ujar Udrekh Hanif, Kepala Bidang Mitigasi Bencana, Pusat Teknologi Informasi Sumber Daya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Menurut Udrekh, saat ini BPPT sedang bekerja sama dengan pemerintah Jepang membangun sistem tanggap bencana gempa dan tsunami di Indonesia. Sistem bernama Dense Oceanfloor Network System for Earthquakes ini rencananya akan dimiliki Indonesia dalam waktu dekat. Sistem kerjanya, kata dia, mirip dengan Ocean Bottom Seismometer. "Merekam gerak bumi di bawah lautan dan menganalisis potensi tsunami yang disebabkan oleh gempa," tuturnya.

Dalam uji coba beberapa waktu lalu, sistem ini diletakkan di lepas pantai barat Kepulauan Mentawai. Tapi untuk penerapannya, menurut Udrekh, Dense Oceanfloor akan diberi tugas melacak gempa dan potensi tsunami di kawasan Selat Sunda. Alasan penempatannya di lokasi ini, menurut dia, semata karena pemerintah pusat terletak di Pulau Jawa, khususnya Jakarta.

Saat mendeteksi adanya getaran, sistem Dense Oceanfloor akan langsung menginformasikan ke masyarakat, melalui banyak media, tentang peringatan terjadi gempa dan menyarankan penduduk untuk pergi ke tempat aman. Sedangkan saat menangkap gempa yang berpotensi tsunami, alat ini akan meminta masyarakat mengevakuasi diri sejauh mungkin dari laut.

"Penelitian kami nantinya akan dapat mengisi simulasi tanggap bencana semacam itu," kata Nugroho, optimistis. Riset-riset selanjutnya pun akan terus dilakukan. "Sampai rencana mitigasi yang paling baik terumuskan."

Amri Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus