Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Akhir Mimpi Bartoli

Petenis tunggal putri Marion Bartoli menjuarai Wimbledon. Berlatih seperti petinju.

14 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marion Bartoli melenggang di catwalk. Sepatu hitam berhak tinggi berpadu manis dengan gaun hitam ketat yang membungkus tubuh sintalnya. Sedangkan rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Petenis asal Prancis itu terus menebar senyum.

Rentetan lampu blitz dan tepuk tangan bergemuruh ketika Bartoli mengangkat Venus Rosewater-trofi Wimbledon berbentuk piringan perak-yang diraihnya Sabtu dua pekan lalu. "Saya memimpikan ini sejak berusia 6 tahun," katanya sumringah.

Wimbledon Champions Ball-pesta perayaan kemenangan Wimbledon-yang digelar di InterContinental Hotel, Park Lane, London, Minggu malam pekan lalu, itu juga dihadiri Andy Murray. Petenis 26 tahun itu mengakhiri penantian Inggris selama 77 tahun setelah menekuk Novak Djokovic di final.

Keduanya berpose bersama. Tapi bukan hamparan catwalk dan lampu kamera itu yang membuat Bartoli tampil glamor. Sambil terus tersenyum, matanya melirik kiri-kanan, mencari satu sosok yang dua hari lalu membuatnya geram: John Inverdale.

Ya, Inverdale-lah yang membuatnya harus tampil cantik malam itu. Bukan lantaran dia pujaan hatinya, justru sebaliknya: Inverdale adalah "musuh"-nya. Inverdale adalah presenter Radio Five Live, channel olahraga jaringan British Broadcasting Corporation (BBC).

Satu jam sebelum final tunggal putri digelar, Inverdale berseloroh, "Apa Anda pernah berpikir bahwa ayahnya (Bartoli) pernah berkata kepadanya, 'Kamu tidak secantik (Maria) Sharapova, karena itu, untuk menarik perhatian, kamu harus bertarung dan berjuang habis-habisan di lapangan'."

Olok-olok tersebut menyulut kemarahan publik. Tak kurang dari 700 panggilan telepon masuk ke redaksi BBC. Mereka menilai seloroh itu tidak hanya tak perlu, tapi juga menghina Bartoli. BBC kemudian meminta maaf. Begitu juga Inverdale.

Bartoli, meski memaafkan Inverdale, sengaja mengundangnya datang ke Wimbledon Champions Ball. Ia ingin komentator itu melihat sisi dirinya yang lain, yang cantik dan seksi. "Mungkin dia akan mengubah cara berpikirnya," ucapnya.

Dengan berat 63 kilogram dan tinggi badan 170 sentimeter, Bartoli memang tak sesemampai Maria Sharapova, petenis Rusia yang tingginya 188 sentimeter dan berat 59 kilogram. Bartoli tak langsing dan kakinya tak jenjang. Tapi dialah yang terakhir berdiri di atas rumput Wimbledon.

Ia menekuk Elina Svitolina pada putaran pertama, lalu melibas Christina McHale di putaran kedua. Camila Giorgi menjadi korbannya pada putaran ketiga. Karin Knapp menjadi korban berikutnya di babak 16 besar. Bartoli juga mengandaskan Sloane Stephens di perempat final dan Kirsten Flipkens di semifinal.

Puncaknya, ia menekuk petenis asal Jerman, Sabine Lisicki, dua set langsung dengan skor 6-1, 6-4. Ia mencetak sejarah. Ini menjadi gelar Grand Slam pertamanya sejak tampil di lapangan tenis hampir dua dekade lalu!

Kemenangan yang sulit dipercaya, bahkan dalam mimpi terliar Bartoli sekalipun. Sebab, ia datang ke Wimbledon bukan sebagai unggulan. Dalam daftar peringkat yang disusun organisasi petenis wanita dunia, ia hanya menduduki urutan ke-15.

Cara bermainnya pun tak lazim: menggenggam raket dengan kedua tangan, lalu dengannya melakukan forehand dan ­backhand. Servis dan penempatan bolanya pun tak maut-maut amat.

Inverdale, dari segi ini, mungkin saja benar: Bartoli membutuhkan wajah secantik dan tubuh sesingset Sharapova untuk membetot perhatian. Petenis 28 tahun itu hanya punya satu hal yang tak dimiliki Sharapova dan petenis-petenis molek lain: keberuntungan.

Bartoli, sejak putaran awal hingga final, menghadapi lawan yang semuanya menempati peringkat di bawahnya: dari Elina Svitolina di putaran awal hingga Sabine Lisicki di final. Keberuntungan kedua, petenis-petenis unggulan putri bertumbangan karena cedera.

Sharapova kandas di putaran kedua setelah terpeleset dua kali dan mengalami cedera pinggul. Beberapa jam sebelumnya, petenis unggulan lain, Victoria Azarenka, menyatakan mundur dari Wimbledon setelah terjatuh dan mengalami cedera lutut.

Mantan petenis putri nomor satu dunia, Caroline Wozniacki, juga mengalami cedera pergelangan kaki sehingga tumbang di tangan Petra Cetkovska dari Republik Cek. Cedera juga mendera petenis Kazakstan, Yaroslava Shvedova, sehingga ia terpaksa menarik diri dari pertandingan babak keduanya.

Namun Bartoli menampik anggapan bahwa kemenangannya semata karena keberuntungan. "Ini proses yang panjang," ujarnya. Jejak Bartoli memang panjang. Bayangkan saja, sebelum memenangi Wimbledon, ia telah mengikuti 47 kali Grand Slam.

Torehan ini membuatnya menjadi petenis putri paling ngotot yang ingin memenangi kejuaraan tenis paling bergengsi itu. Bandingkan dengan Jana Novotna, yang hanya mencoba 45 kali sebelum menang di Wimbledon 1998, atau dengan Francesca Schiavone, yang 39 kali bolak-balik di Grand Slam tapi baru menang di Prancis Terbuka 2003.

Tak diragukan, Bartoli memang gigih. Fisiknya sangat tangguh. Berlatih tenis sejak berusia 5 tahun, ia digembleng ayahnya. Bartoli mengingat saat itu raket tenis yang dipegangnya bahkan lebih tinggi daripada tubuhnya.

Sang ayah, Walter, bukan petenis profesional. Dia seorang dokter yang mempelajari tenis melalui buku. "Saya mengkombinasikan teknik-teknik yang saya baca. Jika ada yang cocok untuk Marion, saya akan menerapkannya."

Sebagai dokter, Walter juga mempelajari mekanisme pergerakan pergelangan lengan dan bahu sang anak setiap kali ia mengayunkan raket. Dari situ, dia menemukan ada yang salah dengan lengan putrinya. "Lengannya terlalu pendek," kata Walter.

Untuk menyiasati, ia lalu menyusun pelatihan fisik. Tak main-main, Walter mendidik putrinya bak petinju. Ia memasang sarung tinju seberat 10 ons di tangan Bartoli. Dengan sarung tinju itu, ia lalu mengayunkan raket.

Pada saat bersamaan, kedua kakinya juga dipasangi karet yang membuatnya tak leluasa bergerak. Pelatihan fisik ini digenjot untuk menutupi kekurangan lengan Bartoli sekaligus mendongkrak kelincahannya.

Adapun teknik unorthodox-menggenggam raket dengan kedua tangan-didapat Walter ketika ia menonton Monica Seles mengalahkan Steffi Graf di final Prancis Terbuka 1992. "Monica Seles dan saya sama memiliki tangan kiri yang lemah," ucap Bartoli. "Dengan teknik dua tangan ini, kelemahan itu bisa diatasi."

Di bawah didikan Walter, Bartoli kemudian malang-melintang di lapangan tenis. Ia memboyong sejumlah trofi, antara lain ASB Classic Auckland 2006, AIG Japan Open Tennis Championships 2006, dan Monterrey Open 2009. Ia mengoleksi delapan gelar tunggal WTA dan enam gelar ITF.

Namun Bartoli selalu kandas di Grand Slam. Pencapaian tertingginya adalah partai final di Wimbledon 2007. Padahal impiannya adalah memboyong pulang gelar Grand Slam. Mimpi itu makin jauh karena waktu terus menggerus usianya.

Pada Februari 2013, Bartoli mengambil keputusan sulit: memecat ayahnya sebagai pelatih. Ia tak punya pilihan selain mengganti pelatih jika ingin meraih gelar Grand Slam. "Terkadang kita memang harus berani mengambil keputusan jika ingin berubah," katanya.

Dia lalu merekrut Nicolas Perrotte sebagai pelatih fisik dan Jana Novotná sebagai pelatih teknik. Namun Novotna hanya bertahan 10 hari. Bartoli kemudian berganti pelatih lagi. Kali ini ia merekrut juara Wimbledon 2006, Amélie Mauresmo.

Pada kenyataannya, Mauresmo lebih banyak berperan sebagai konsultan psikis ketimbang melatih teknik. Ia menyuntikkan semangat, mengembalikan mood, dan menegakkan kepercayaan diri Bartoli. Untuk itu, Mauresmo dibantu pelatih psikis Xavier Moreau.

"Dia memiliki banyak cara untuk mengatasi tekanan yang saya alami," ujar Bartoli. Ia mencontohkan, Mauresmo memintanya tidur selama 30 menit sebelum laga semifinal Wimbledon melawan Kirsten Flipkens. Mauresmo juga memintanya menyanyi dan menari di kamar ganti. Cara ini efektif mengembalikan konsentrasi dan energinya.

Di final, setelah menekuk Sabine Lisicki, Bartoli langsung ngacir memeluk Mauresmo, yang duduk di bangku terdepan. Ia mempersembahkan trofi yang diimpikannya sejak cilik itu sebagai kado ulang tahun Mauresmo ke-34, yang jatuh sehari sebelumnya. "Ini momen yang menakjubkan," kata Bartoli.

Mauresmo hanya menitikkan air mata. Sejarah berulang di depannya. Bartoli memang menjadi petenis Prancis pertama yang menang di Wimbledon sejak Mauresmo melakukannya pada 2006.

Dwi Riyanto Agustiar (BBC, Wimbledon, Sport Illustrated, Telegraph)


Jalan marion bartoli Ke Final Wimbledon 2013
  • Elina Svitolina (putaran pertama)
  • Christina McHale (putaran kedua)
  • Camila Giorgi (putaran ketiga)
  • Karin Knapp (babak 16 besar)
  • Sloane Stephens (perempat final)
  • Kirsten Flipkens (semifinal)
  • sabine lisicki (final)

    YANG CEDERA

  • Maria Sharapova
  • Victoria Azarenka
  • Caroline Wozniacki
  • Yaroslava Shvedova
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus