Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagal menghadangnya saat masih menjadi rancangan, sejumlah organisasi telah bersiap mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, karena khawatir aturan baru tersebut bakal kembali memberi peluang kepada pemerintah buat mengekang kebebasan masyarakat untuk berserikat.
Sebaliknya, pemerintah menganggap Undang-Undang Ormas 2013 ini dibutuhkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Undang-undang lama dianggap terlalu represif, tidak sesuai dengan asas demokrasi dan kebebasan berserikat yang dijamin oleh konstitusi. "Undang-undang baru ini justru lebih longgar," kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Kontroversi undang-undang ini membuat repot Gamawan dalam dua tahun terakhir. Dialah yang mewakili pemerintah bolak-balik ke DPR untuk membahas rancangannya. Belum lagi nanti kalau uji materi jadi diajukan.
Padahal pekerjaan rumah Gamawan juga tak sedikit. Dia harus ikut menangani konflik di beberapa daerah, seperti mengurus warga Syiah yang terusir dari kampung halamannya di Sampang, Madura. Dia juga harus merealisasi target pemberlakuan serentak KTP elektronik (e-KTP) pada Maret tahun depan. Belum lagi harus mewakili pemerintah dalam pembahasan revisi beberapa perundangan, seperti Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. "Enak jadi rakyat ketimbang jadi pejabat," katanya.
Di tengah kesibukannya, Jumat pagi dua pekan lalu, Gamawan meluangkan waktu menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya dan Qaris Tajudin serta fotografer Nurdiansah di ruang kerjanya, gedung A lantai 2 Kementerian Dalam Negeri, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Dari balik kaca ruangannya, tampak gedung Mahkamah Agung dan Istana Negara berjejer bersebelahan di sisi kanan. "Enaknya jadi Menteri Dalam Negeri, bisa mengatur waktu kalau dipanggil rapat Presiden. Tak akan terkena macet," ujarnya.
Mengapa pemerintah perlu memperbarui UU Ormas?
Ini inisiatif DPR, bukan pemerintah. Kami tak berinisiatif karena ada kecenderungan nanti akan dianggap ingin kembali ke zaman Orde Baru. Padahal kami memang sudah tidak nyaman dengan undang-undang lama, yang sangat represif. Semangatnya tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar yang sudah diamendemen, yang memberi porsi sangat besar terhadap hak asasi manusia.
Tapi pengesahan undang-undang baru tersebut justru dikritik. Banyak organisasi kemasyarakatan menganggapnya sebagai peluang pemerintah untuk kembali represif dan membatasi kebebasan.
Saya tidak melihat ada pasal yang membatasi mereka. Undang-undang baru ini justru lebih longgar. Dulu ormas harus berasaskan Pancasila, sekarang boleh lainnya sepanjang tak bertentangan dengan Pancasila. Undang-undang lama mengharuskan bantuan asing mendapat persetujuan pemerintah, kalau tidak, organisasi tersebut dapat dibubarkan. Kini pemerintah cukup mengetahuinya, tak perlu menyetujui. Belum lagi soal pembubaran. Pemerintah dulu cukup meminta fatwa Mahkamah Agung untuk membubarkan organisasi. Sedangkan kini harus melalui proses peradilan.
Aturan baru menyebutkan ormas harus mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel. Bahkan bantuan asing dikatakan harus dikelola sesuai dengan perundangan. Apakah artinya akan ada audit terhadap keuangan ormas?
Ormas akan diaudit kalau ada indikasi pelanggaran hukum. Maksud saya, misalkan mereka diduga mendapat bantuan asing untuk pencucian uang atau merakit bom. Kalau itu terjadi, apa kami tidak perlu mengetahui? Kalau pemerintah, DPR, dan partai politik diminta transparan, ormas harus mau juga dong untuk transparan soal dari mana sumber dana dan peruntukannya.
Berapa jumlah ormas saat ini?
Sekarang ini sudah lebih dari 139 ribu ormas yang terdaftar di tingkat pusat. Belum yang terdaftar atau tidak terdaftar di daerah.
Kenapa harus membuat gantinya? Bukankah DPR bisa menghapus undang-undang lama tanpa perlu diganti?
Selama ini undang-undang lama itu memang ada. Tak pernah dihapus, tapi juga tak bisa diterapkan karena semangatnya adalah semangat Orde Baru. Nanti kalau saya berlakukan, pasti semuanya akan teriak. Sebaliknya, ketika ada aksi sweeping atau kekerasan yang dilakukan satu-dua ormas, kami malah dituduh membiarkan atau tidak menindaknya. Lagi-lagi kami dianggap salah.
Artinya benar juga anggapan banyak kalangan bahwa undang-undang baru ini adalah untuk mengembalikan kontrol negara terhadap ormas-yang selama ini tak bisa lagi dilakukan menggunakan aturan lama?
Pemerintah dan partai politik sekarang dikontrol. Jadi, ketika ormas diatur, dia juga harus mau. Tidak mungkin dalam kehidupan bernegara ada hal yang tak diatur. Justru di situlah peran negara, mengatur. Sebab, UUD 1945 juga tegas menyebutkan bahwa kebebasan harus ada batasan. Batasan kebebasan yang diatur oleh undang-undang itu semata-mata untuk menjamin kebebasan orang lain tak terlanggar. Kalau semuanya sebebas-bebasnya, itu namanya chaos.
Bagaimana Anda bisa menjamin kontrol tak akan menjadi represif?
Pasal-pasal di dalamnya itulah yang menjamin, mengunci, tidak memungkinkan pemerintah untuk bertindak represif. Itu jaminan saya. Taruhlah soal pembubaran, harus lewat mekanisme hukum. Dengan itu semua, bagaimana pemerintah mau berbuat represif seperti masa lalu? Sebenarnya kekhawatiran pemerintah bakal represif kan karena orang banyak mencurigai kekuasaan. Mungkin juga karena trauma masa lalu.
Bicara soal trauma, beberapa waktu lalu Anda mengatakan pemerintah ingin memulangkan warga Syiah asal Sampang, Madura, ke kampung halamannya. Bagaimana caranya?
Kami masih berdialog, terutama dengan pemerintah daerah. Memindahkan mereka dari tempat pengungsian di aula besar di Sampang ke rumah susun di Sidoarjo sebenarnya merupakan langkah baik. Tapi yang paling ideal adalah memulangkan kembali ke daerahnya. Inilah yang belum kami temukan solusinya, karena sebagian masyarakat di Sampang belum bisa menerima kehadiran mereka kembali, sehingga kepulangan mereka bisa menimbulkan konflik lagi. Pemerintah daerah juga belum berani memberi jaminan keamanan jika mereka kembali.
Sejujurnya, seberapa yakin pemerintah bisa memulangkan mereka?
Keyakinan pemerintah sangat bergantung pada sikap masyarakat di Sampang dan sikap pengungsi itu sendiri. Sebagian di antara pengungsi itu ada juga yang tak mau kembali. Begitu pula masyarakat di kampung halaman mereka, tak semuanya menolak.
Jika pemerintah tak bisa menjamin mereka dengan aman kembali ke kampung halaman-sebagaimana juga tak bisa mencegah konflik yang menyebabkan mereka terusir-bukankah ini menunjukkan negara telah gagal memberi perlindungan?
Kan, tidak seperti itu persoalannya. Masalah ini harus dilihat secara menyeluruh. Hal terpenting adalah kehidupan masyarakat harmonis. Kita kadang-kadang menempatkan negara sebagai segala-galanya, tapi sering juga meminimalkan peran negara. Berapa banyak peran yang dulu diurus negara dan sekarang tak lagi?
Tapi keamanan tetap tugas dan wewenang negara.…
Betul. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita harus melihat kehidupan ini secara seimbang, obyektif.
Persoalannya, jika negara benar gagal melindungi mereka di kampung halamannya sendiri, ancaman keamanan sebenarnya bisa muncul di mana saja. Bahkan di pengungsian yang Anda nilai lebih baik saat ini.
Oke, negara memang harus mengawasi. Tapi apakah kalau ada konflik di antara dua orang, negara juga yang salah. Manusia itu bergerak ke kebun, sawah, peternakan, sekolah. Apakah itu harus diawasi satu per satu oleh negara? Yang ingin saya katakan adalah pengawasan negara akan efektif kalau memang iklimnya baik. Ini yang kini sedang dibangun oleh pemerintah di Sampang.
Mengapa pada saat ada kejadian itu, Bupati Sampang malah berpihak kepada kelompok yang mengusir warga minoritas.
Nah, kami juga harus menyadarkan Bupati Sampang agar mendukung upaya mengembalikan pengungsi Syiah. Bukannya hanya membebankan urusan ini kepada pemerintah pusat.
Tapi tampaknya gaya kepemimpinan kepala daerah seperti itu muncul di banyak wilayah. Demi menjaga citra, mereka berpihak kepada mayoritas, meski belum tentu itu benar.
Betul. Karena dipilih dalam pemilihan langsung, mereka perlu membangun citra positif. Mereka akan memihak orang yang banyak. Soal benar atau tidak, bagi mereka, itu urusan kedua. Tapi, menurut saya, masalah Syiah di Sampang ini memang bukan perkara mudah. Dua tahun saya mencari solusinya, tapi belum kami temukan.
Apakah hal itu menjadi salah satu alasan Anda ingin melakukan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah? Dalam revisi tersebut, Anda mengusulkan pemilihan langsung kepala daerah dihapus dan kembali ke model lama dipilih oleh DPRD?
Selama pemilihan langsung yang dilakukan sejak 2005, sudah ada 100-an orang meninggal akibat konflik pilkada. Selain itu, pemilihan langsung tersebut terlalu mahal. Bukan hanya soal biaya penyelenggaraannya, melainkan juga kasus yang muncul. Sejak dipilih langsung, sebanyak 297 kepala daerah sudah menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi. Jumlah itu sudah lebih dari 50 persen jumlah 524 kepala daerah.
Bukankah, kalau dipilih oleh DPRD, mereka juga bisa melakukan korupsi?
Pemilihan kepala daerah langsung itu pakai modal besar. Sekarang setiap calon bisa mengeluarkan duit bermiliar-miliar. Sedangkan gaji bupati itu hanya Rp 6,2 juta dan gaji gubernur Rp 8,7 juta. Coba bayangkan, ketika dia sudah duduk menjadi pejabat, kira-kira apakah dia rela modalnya tak kembali dan makan dari gajinya saja?
Tapi lewat pilkada langsung juga ditemukan beberapa pemimpin daerah yang bagus, independen, tak dikendalikan oleh kepentingan partai politik.…
Tentu saja kami berharap partai cerdas sehingga mencalonkan pemimpin yang baik. Inilah yang harus dibenahi. Nanti sepuluh tahun lagi ketika kondisi memungkinkan, rata-rata usia pendidikan dan pendapatan per kapita kita cukup tinggi, bisa saja demokrasi langsung dikembalikan. Karena itu, rakyat kini juga harus menuntut peran partai politik.
Undang-undang apa lagi yang akan direvisi?
Tadi malam di DPR ada debat dalam pembahasan revisi Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Kami membahas soal bagaimana cara memperoleh dokumen kependudukan untuk anak yang lahir di luar nikah, hasil kawin siri, atau bahkan tak diketahui siapa bapaknya. Ini masalah yang harus ditangani secara hati-hati.
Ya, banyak anak yang menjadi korban-tak punya dokumen kependudukan untuk mendaftar sekolah-hanya gara-gara bapaknya tidak jelas. Solusi yang Anda tawarkan?
Sudah kami putuskan untuk menyederhanakannya. Setiap anak pasti punya ibu, artinya cukup ibunya saja yang membuat surat keterangan tentang anaknya. Tidak apa-apa meski belum diketahui bapaknya. Nanti kalau ada bapak yang mengakui, tinggal dicantumkan ke dokumen anak tersebut.
Apa lagi yang baru dalam UU Kependudukan?
KTP akan saya berlakukan seumur hidup. Supaya jangan setiap tahun mengurus KTP. Untuk mereka yang mengimani aliran kepercayaan, akan kami beri tanda strip, karena tidak masuk kelompok agama.
Sebenarnya apakah masih relevan mencantumkan status agama dalam KTP?
Relevan sekali, karena nanti kalau ada temuan jenazah bisa diketahui bagaimana cara menguburkannya. Selain itu, apa sih ruginya kalau hal tersebut dicantumkan?
Pencantuman agama itu sering kali menjadi alat diskriminasi.…
Tapi kan yang jumlahnya banyak di Indonesia adalah warga beragama. Kalau penganut kepercayaan kan sedikit sekali jumlahnya.
Bagaimana dengan e-KTP, yang ditargetkan berlaku mulai Maret tahun depan? Sedangkan urusan alat pembaca kartu (card reader) saja belum ada kejelasan.
Menurut saya, keributan dalam urusan e-KTP lebih banyak dari yang sebenarnya. Orang yang berkepentingan terlalu banyak. Saya saja, ketika mengumumkan bahwa putra bangsa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Institut Teknologi Bandung bisa menciptakan card reader hanya dalam waktu setahun, difitnah telah bekerja sama dengan sebuah perusahaan untuk memonopoli hasil riset tersebut. Padahal saya hanya mengatakan, siapa yang ingin membeli card reader, silakan saja adakan sendiri.
Tahun depan tugas Anda sebagai menteri selesai. Mau ngapain?
Saya mau jadi rakyat saja. Jika ingin maju, kita harus sudah tahu kapan akan turun. Kalau menuruti keinginan, tidak akan ada batasnya. Lagi pula sekarang lebih enak jadi rakyat lho daripada jadi pejabat. Menjadi pejabat itu pesuruh negara, pakai uang negara, abis itu dimarah-maÂrahi tiga kali sehari: pagi, siang, dan sore. Capek, deh!
Gamawan Fauzi Tempat dan tanggal lahir: Solok, Sumatera Barat, 9 November 1957 Pendidikan:Doctor honoris causa bidang manajemen pendidikan kebijakan publik dari Universitas Negeri Padang (2011) | Magister Manajemen Universitas Andalas | Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas Karier Menteri Dalam Negeri (2009-sekarang) | Gubernur Sumatera Barat (2005-2009) | Bupati Solok (1995-2005) | Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Sumatera Barat | Sekretaris pribadi Gubernur Sumatera Barat | Staf Kantor Direktorat Sosial Politik Pemerintah Provinsi Sumatera Barat |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo