Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS terhadap mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto benar-benar membuat pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia ketakutan. Mereka ngeri bakal bernasib sama dengan IM2: dianggap merugikan negara triliunan rupiah dan eksekutifnya dijebloskan ke penjara.
Sejumlah perusahaan yang resah itu milik investor asing. Indosat, misalnya, kepunyaan Qatar Telecom. XL dikuasai Axiata dari Malaysia. Axis merupakan milik Saudi Telecom Company dan Maxis dari Malaysia. Seperti IM2, umumnya perusahaan itu menjalankan bisnis berbasis kerja sama sewa jaringan. Sebagai operator, mereka menyewakan jaringan kepada perusahaan penyedia jasa Internet alias Internet service provider.
Selama bertahun-tahun praktek begini berjalan lancar. Bisnis telekomunikasi pun menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Sumbangan sektor telekomunikasi mencapai 13 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada 2011 saja, bisnis telekomunikasi mencapai Rp 360 triliun. Dalam dua tahun terakhir, sektor ini tumbuh sekitar 20 persen, lebih dari tiga kali lipat di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemerintah, termasuk penegak hukum, semestinya mempertimbangkan iklim bisnis yang baik ini. Guncangan bisnis telekomunikasi akan besar pengaruhnya terhadap ekonomi nasional. Situasi itulah yang dikhawatirkan terjadi setelah vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap IM2.
Pekan lalu, majelis hakim memvonis Indar Atmanto hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Majelis juga memutuskan IM2 mengganti kerugian negara sekitar Rp 1,3 triliun. Angka itu merupakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang dipakai tim jaksa. Padahal hasil audit Badan Pengawasan itu telah dinyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak sah dan cacat hukum. Indosat pun telah membayar upfront fee dan biaya penggunaan frekuensi sebesar Rp 320 miliar dan Rp 1,37 triliun.
Kejanggalan sangat kentara ketika majelis hakim mengabaikan fakta bahwa kerja sama penyewaan jaringan merupakan praktek wajar dan tidak melanggar hukum. Fakta itu, antara lain, disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai regulator. Mengabaikan pendapat Kementerian Komunikasi sama saja dengan menafikan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 yang menjadi landasan bisnis telekomunikasi di negara ini.
Keputusan majelis hakim itu nyata-nyata mengesahkan kesalahpahaman jaksa tentang kerja sama penyewaan jaringan, seperti diatur Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Merupakan ironi bahwa majelis hakim justru menyatakan perjanjian kerja sama itu perbuatan melawan hukum.
Dalam standar bisnis komunikasi data yang berlaku di seluruh dunia, penyedia jasa Internet tidak mungkin membangun jaringan sendiri karena tidak akan efisien. Mereka biasanya menyewa jaringan dari operator. Bila penyedia jasa Internet dipaksa memiliki jaringan sendiri, hukum besi ekonomi akan berlaku: terjadi inefisiensi dan konsumen akan membayar mahal.
Perlawanan hukum IM2 sangat bisa dipahami. Dukungan juga perlu diberikan kepada Masyarakat Telekomunikasi Indonesia, yang mengadukan putusan majelis hakim ke Komisi Yudisial.
Sebaiknya majelis hakim tingkat banding mengoreksi putusan kontroversial ini, sebelum para investor asing itu menggugat lewat arbitrase internasional. Jangan sampai wajah penegakan hukum Indonesia semakin coreng-moreng.
berita terkait di halaman 98
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo