Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Antara Bidak dan Bajaj

Indonesia punya banyak pecatur junior yang potensial. Sebagian besar berasal dari keluarga pas-pasan.

4 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cita-cita yang lama terpendam itu akhirnya terwujud. Pecatur Masruri Rahman, 11 tahun, kesampaian membahagiakan ayahnya. Awal bulan lalu, sepulang mengikuti Kejuaraan Dunia Catur Tingkat Sekolah alias World School Chess Championships di Yunani, ia bisa membelikan bajaj bekas untuk sang ayah.

Uang untuk membeli kendaraan roda tiga itu terkumpul dari hadiah menempati posisi ketiga di kejuaraan tersebut. Penyumbangnya? Banyak orang. Salah satunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menyumbangkan Rp 25 juta, sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyerahkan hadiah Rp 10 juta. Sedikit uang yang tersisa dia pilih untuk ditabung.

Keinginan Ruri, panggilan akrab Masruri, membahagiakan sang ayah, Muzakir Rahman, 50 tahun, bisa dipahami. Bapaknya itu merupakan orang pertama yang memperkenalkannya dengan catur. Berkat olahraga otak inilah ia bisa bepergian ke berbagai negara dan mengumpulkan hadiah uang—sesuatu yang mungkin tak pernah dibayangkan Muzakir.

Bajaj bekas itu akan sangat berguna untuk keluarganya. Maklum, selama ini Muzakir menarik bajaj kepunyaan orang lain. Sekarang, dengan bajaj sendiri, dia bisa mencari nafkah lebih banyak. Nantinya, bajaj bekasnya pun bisa ditukar-tambah dengan bajaj baru berbahan bakar gas sesuai dengan program pemerintah.

Ruri memang berasal dari keluarga dengan ekonomi yang amat pas-pasan. Nafkah sebagai penarik bajaj yang tak seberapa membuat Muzakir hanya bisa mengontrak rumah kecil untuk tempat berteduh keluarganya. Rumah kontrakan mereka terletak di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. ”Saya masih tidur bersama dua saudara,” ujarnya.

Namun keterbatasan itu tak membuat prestasi Masruri cekak. Dalam usianya yang masih sangat belia, Masruri sudah menyabet gelar master nasional. Tahun lalu, dia juga menjuarai Kejuaraan Catur Pelajar ASEAN.

Prestasi Farid Firman Syah di Yunani lebih hebat. Master nasional ini meraih peringkat pertama di kelompok umur 15 tahun. Sedangkan Master Nasional Wanita (MNW) Chelsea Monica Sihite ada di peringkat keenam kelompok usia 13 tahun.

Mereka meneruskan tradisi pecatur-pecatur cilik berbakat di negeri ini. Sebelumnya ada Taufik Haulay dan Susanto Megaranto atau Irene Kharisma Sukandar. Susanto bahkan berhasil menjadi grandmaster termuda di negeri ini, menumbangkan rekor yang sebelumnya dipegang Utut Adianto.

Berbeda dengan cabang olahraga lain, catur memang memungkinkan atletnya memulai karier pada usia kanak-kanak. Prestasi anak-anak Indonesia di cabang olahraga ini patut dibanggakan. ”Dibanding pecatur dari negara maju sekalipun, pecatur kita tidak boleh dianggap enteng,” kata Utut Adianto, yang kini aktif di Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi).

Stok atlet tak pernah menipis. ”Di seluruh Indonesia, saat ini paling tidak ada 70-an pecatur junior,” kata Utut menambahkan. Proses menjaring pecatur berbakat berlangsung secara alamiah. Eka Putra Wirya, Ketua Harian Percasi, mengatakan anak-anak itu tersaring dari berbagai turnamen atau kejuaraan. ”Biasanya dari kejuaraan daerah. Mereka yang memiliki kemampuan yang baik serta-merta akan terjaring,” ujarnya.

Perjalanan karier Masruri sendiri bisa menjadi contoh. Sebelum pindah ke Jakarta, keluarganya tinggal di Tegal, Jawa Tengah. Ia mula-mula mengikuti sebuah kejuaraan kecil. Itu pun ibunya harus pontang-panting mencari pinjaman ke beberapa tetangga agar bisa membayar biaya pendaftaran Rp 50 ribu. Beruntung, Ruri berhasil tampil mengesankan dalam turnamen itu.

Setelah keluarganya pindah ke Jakarta, kariernya makin terbuka. Dia aktif mengikuti berbagai kejuaraan, baik di dalam maupun luar negeri. Keberangkatannya ke Yunani bulan silam merupakan pertandingan internasionalnya yang ketiga. ”Saya senang. Bapak dan Ibu juga senang,” kata Masruri, yang kini berlatih di Pemusatan Latihan Daerah Percasi Jakarta.

Ada pula pecatur yang bakatnya tercium secara tak sengaja. Hal itu dialami Farid. Belia 14 tahun ini tak pernah mengikuti lomba catur. Kebetulan saja orang tuanya berdagang rokok tak jauh dari Sekolah Catur Utut Adianto di Bekasi, Jawa Barat. Di dekat gerobak rokok itu, Farid kerap bermain catur melawan orang tuanya. Melihat permainannya, seorang anggota staf Utut terkesan. ”Dia meminta saya bergabung di sekolah caturnya,” kata Farid.

Bocah itu tentu tak menolak. Setelah bergabung di sekolah catur, barulah ia mengikuti berbagai kejuaraan. Sejak 2002, dia juga bertanding ke luar negeri. Kini Farid sudah mengantongi Elo rating 2011. Masih butuh 300 poin untuk menjadi master internasional. ”Mudah-mudahan tahun depan tercapai,” katanya optimistis.

Bibit pecatur berbakat boleh berlimpah, tapi bila salah pembinaan bisa-bisa karier mereka justru kandas di tengah jalan. Utut Adianto hampir mengalaminya. Gangguan terasa begitu hebat di usia remaja. ”Masa itu merupakan fase terberat bagi seorang pecatur muda,” katanya.

Hambatan dari keluarga, menurut Utut, merupakan kendala terberat. Soalnya, kebanyakan pecatur muda berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan, bahkan kekurangan. ”Olahraga ini kan sangat murah,” ujarnya. ”Kalau keluarganya kaya, mungkin dia memilih bermain tenis atau yang lain.”

Keadaan itu membuat banyak pecatur junior tergiur mencari uang dengan tampil di berbagai undangan catur berhadiah. Kebiasaan inilah yang menghancurkan karier mereka lantaran tak punya waktu lagi untuk belajar dan berlatih. Lambat-laun nama mereka pun menghilang dari peredaran.

Nah, salah satu pecatur yang bisa menaklukkan godaan itu adalah Susanto Megaranto, 20 tahun. Santo, nama panggilannya, berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang pedagang gabah yang belakangan bangkrut. Memilih karier bercatur secara serius, dia ikut Sekolah Catur Enerpac di Roxy, Jakarta Barat. Sehari-hari ia hanya bermain catur, diselingi sekolah. Hasilnya, dia berhasil menjadi grandmaster pada usia 17 tahun.

Elo rating mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Gunadarma itu sudah mencapai 2530. Sekarang ia tengah mengejar poin 2600. Jika itu tercapai, Santo akan bisa mendapatkan gelar grandmaster super, seperti yang pernah diraih Utut. ”Akhir tahun ini mudah-mudahan bisa tercapai,” katanya. Untuk mengejar target, ia rela cuti dari kuliahnya.

Bagi seorang pecatur, Elo rating memang punya arti penting. Dengan poin tinggi, ia akan berada di orbit percaturan internasional. Tiap kali bertanding di turnamen internasional, dia bakal mendapat bayaran. Jumlahnya berbeda-beda, tergantung kelas turnamen.

Ketekunan dan keberhasilan Santo mengilhami Irene Sukandar. Sejak tiga tahun silam, keluarga master internasional wanita ini memilih boyongan dari rumah lama mereka di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ke Bekasi, Jawa Barat. Itu semata-mata agar Irene bisa serius belajar di Sekolah Catur Utut Adianto.

Semula, tiap hari dia harus menempuh perjalanan bolak-balik yang memakan waktu lima jam. Kini, setelah pindah rumah, dia hanya perlu waktu 10 menit ke sekolah catur itu.

Irene juga terpaksa menomorduakan pendidikannya. ”Rasanya enggak mungkin saya mendapatkan dua-duanya sekaligus. Harus ada yang mengalah,” katanya. Pelajar kelas II SMA Nusantara, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu kini hanya ke sekolah dua hari dalam sepekan. Di hari lain, dia mengikuti latihan catur dari pukul 09.00 sampai 16.00.

Pengorbanan serupa dilakukan Farid. Sekolahnya di SMP PGRI Rawalumbu, Bekasi, hanya dilakukan tiap Senin dan Kamis. Hari lainnya melulu untuk catur. Bila tak ada latihan atau pertandingan, barulah ia bisa sedikit bernapas. Di saat seperti itu, tak sulit mencari Farid. Datang saja ke gerobak rokok milik ayahnya. Selasa malam pekan lalu, misalnya, ia kedapatan sedang berada di sana. ”Saya lagi kebagian jaga warung,” katanya polos.

Biarpun Farid cuma anak penjual rokok, jalan terbuka baginya untuk menjadi grandmaster catur. Juga bagi Masruri, anak si penarik bajaj.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus