Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mengalami Kemacetan dan Cukup Lancar

4 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Bujono

  • Wartawan

    AKURAT atau tidak, siaran tiga radio swasta di Jakarta tentang lalu-lintas Jakarta menjadi hiburan bagi para pengendara dan penumpang mobil yang sedang di jalanan Jakarta. Tiap pagi dan petang, di hari kerja (inilah jam-jam macet di sebagian Jakarta), satu di antara tiga radio itu selama empat jam, diselingi dua atau tiga iklan dalam waktu tertentu, terus-menerus menyampaikan informasi lalu-lintas (dua radio yang lain tidak terus-menerus). Sumber info, para pendengar yang sedang dalam perjalanan. Mereka tampaknya sudah menjadi satu komunitas, info lalu-lintas sering bergeser tentang yang lebih pribadi: soal warung sate, mie atau soto ceker yang lekker, obat asam urat, sampai soal pernikahan dan rumah sakit yang susternya ramah-ramah. Siaran disampaikan—tentu saja—dalam bahasa Indonesia; kadang diselingi kata-kata Jawa, Sunda, Inggris, juga Belanda, meski jarang.

    Sang penyiar yang sendiri itu tentulah memiliki ketahanan untuk berbicara berjam-jam. Bukan saja suaranya tetap jelas sepanjang siaran, ia juga suka boros kata. Suatu ketika, katanya: ”Bapak Amin sudah setengah jam tak bergerak di Salemba menuju Matraman. Arah sebaliknya, kondisi lalu-lintas macet juga.” Sebenarnya ia bisa berhemat tanpa kondisi—”lalu-lintas macet” sudah sangat jelas.

    Mirip dengan kasus ”kondisi” adalah kata mengalami. ”Mampang menuju Ragunan sudah mengalami kemacetan total.” Langsung terbayang di kepala saya mobil-mobil, bus kota, taksi, antre. Tapi siapa yang ”mengalami kemacetan”? Jalan Mampang atau lalu-lintas di jalan tersebut? Lalu ”mengalami kemacetan”? Mungkin Bung Penyiar bisa lebih hemat tanpa mengalami: ”Lalu-lintas di Mampang menuju Ragunan, seperti biasanya, saat ini macet.”

    Kata ”mengalami” mengingatkan pada kata lain yang sering kali tak perlu digunakan: melakukan. ”Melihat anggota ormas yang kemarin membikin kerusuhan berdatangan, para pemilik toko segera melakukan penutupan toko.” Ini siaran berita di radio yang lain. Meski kita menangkap maksudnya dengan jelas, ”... segera menutup toko masing-masing,” jelas lebih ringkas dan lebih jelas.

    Tampaknya, susunan dua kata tersebut bisa diganti menjadi satu kata (melakukan penutupan = menutup; mengalami kemacetan = macet), dan dengan demikian lebih jelas maksudnya. Bukankah ”mengalami kemacetan” bisa berarti tak benar-benar macet?

    Lain daripada itu, penyiar kita kadangkala membacakan pesan singkat dari pendengar yang berniat memberikan informasi lebih detail. ”Pak Goro menginformasikan, Jalan Rasuna Said–Mampang dua arah masih cukup lancar.” Mungkin ”cukup” di situ dimaksudkan untuk menggambarkan lalu-lintas yang tak macet, namun juga tak lancar. Tapi seperti apa? Lebih jelas informasi yang menyusul: ”Di Jalan Pramuka kendaraan melaju dengan kecepatan 20 sampai 30 km.” Informasi ini ditujukan untuk mereka yang sedang berkendaraan di jalan, jadi kecepatan tersebut mestinya tergambarkan oleh mereka.

    Menggambarkan jumlah dan angka yang tidak pasti, tak mudah. Sejumlah, cukup, beberapa, sangat, sekitar, lebih dari, mendekati, kurang-lebih, ribuan, misalnya, terpaksa digunakan karena jumlah atau keadaan yang pasti tak diketahui. ”Sekitar seratus demonstran mengelilingi Tugu Selamat datang di Bundaran Thamrin, menyebabkan lalu-lintas di kawasan tersebut lambat merayap.” Anda yang hendak memasuki kawasan tersebut tentulah tak peduli jumlah demonstran itu; yang penting lalu-lintas tak lancar, karena itu Anda mencari jalan lain. Namun, bila Anda ternyata bagian dari demonstrasi itu dan Anda absen, dan Anda tahu seharusnya hanya 50 orang yang turun ke jalan, Anda pastilah bertanya-tanya: ”Wah, dari mana teman-teman mendapat tambahan demonstran?”

    Ketidakakuratan informasi lalu-lintas Jakarta bukan disebabkan oleh bahasa saja: lalu-lintas yang makin tak keruan ini bisa berubah dalam lima menit. Jadi, ikuti nasihat zaman kuno ini: pergi sebelum pukul enam pagi, pulang janganlah di bawah pukul 10 malam. Dan mungkin sekian tahun lagi, angka itu pun harus dikoreksi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus