LEPAS 3 pertandingan percobaan dengan kesebelasan luar negeri,
Tony dan Aliandu pekan lalu sempat mengadakan pertemuan pers di
asrama Ragunan, Pasar Minggu. "Saya belum sepenuhnya puas dengan
permainan anak-anak", kata Tony, "tapi ada tanda-tanda bahwa
mereka mempunyai kemauan untuk mempraktekkan apa yang kami
inginkan". Tony tak lupa membeberkan teori-teori sepakbola dasar
antara lain seperti menjemput bola, yang hingga kini masih harus
dijadikan kebiasaan pemain-pemain PSSI. Pelaksanaannya lewat
proses pentahapan.
Singkatnya, tahap pertama membiasakan semangat jemput-bola.
Tahap kedua, pemain harus memperhatikan dua petunjuk:
menggunakan sebaik-baiknya "lebar dan panjang" lapangan
menggunakan kesempatan menembak sebanyak-banyaknya. Jarak tembak
yang paling efektif, menurut Tony dan Aliandu, sekitar 25 meter
dari gawang. Kesadaran akan lebar dan panjang lapangan permainan
sangat menentukan gerak membuka gawang lawan dan lapis-melapis
antara pemain depan, tengah dan belakang, baik dalam waktu
menyerang maupun bertahan. Sehingga terhindar gap antara lapisan
yang satu dengan yang lain.
Teori tersebut belum sepenuhnya dapat dipraktekkan. Sebab makan
stamina. Jadi, kalau pada pertandingan pertama lawan
Kristiansand misalnya, para pemain hanya mampu mengembangkan
pola permainan tersebut hanya dalam waktu 15 menit, "itu memang
sudah instruksi", kata Aliandu. "Mereka memang diminta
memperlambat tempo permainan. Dan mereka diminta menghadapi
ejekan penonton seperti masuk kuping kiri keluar kuping kanan".
Pertandingan berikutnya baru ditingkatkan. Sampai pada waktunya
baru kondisi puncak dicapai. "Untuk mencapai timing dan
memelihara kondisi puncak", kata Tony menambahkan, "adalah soal
yang paling sulit". Tak banyak yang baru, kecuali dalam menilai
Hadi Ismanto, pemain produk TC Salatiga. Tony menilai pemain ini
terlalu mengandalkan kekuatan fisik dan keberanian. "Padahal
bodycharge (benturan) memakan lebih banyak tenaga daripada start
10 meter". Tanpa menyinggung Coerver, Tony pun mengecam latihan
yang lebih ditekankan pada kepribadian individuil. "Yang kita
inginkan adalah kepribadian satu team".
Pertemuan pers tersebut banyak menjelaskan gagasan Tony dalam
sepakbola, meskipun nampaknya tidak banyak berbeda dari
ajarannya 20 tahun yang lampau. Menjawab pertanyaan TEMPO
tentang perbedaan team PSSI dulu dan sekarang, Tony menilai pada
umumnya sama saja. "Hanya dulu perbedaan kwalitas lebih
menonjol: Liong Houw dan Rukma misalnya. Yang satu jauh lebih
menonjol dari yang lain. Sekarang rata-rata sama. Dulu saya
harus mulai dari bawah. Tapi sayang semuanya habis ditelan
Skandal Senayan akhir 1961 ".
Untuk menghindarkan malapetaka serupa, agaknya Tony kini lebih
bijak menghadapi para asuhannya. Mereka satu-per-satu diminta
tumplekan isi hati mereka, termasuk daftar kebutuhan material
sehari-hari. Tercapai persetujuan: uang-saku sehari Rp 3000
insentif dari pertandingan lokal (pungut bayaran) Rp 50.000 dan
internasional Rp 75.000. Agaknya faktor perangsang ini yang
sesungguhnya ikut memperlancar sukses PSSI di Singapura nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini