SKETSA adalah kesan dalam yang mendasar dari dunia visuil
seorang pelukis", tulis Oesman Effendi dalam folder pameran yang
berlangsung di Ruang Pameran TIM -- 16 s/d 20 Nopember.
Puluhan sketsa yang lebih suka dinamakan "kesan dalam" milik
pelukis Nashar, Rusli dan Oesman Effendi sendiri dengan hitam
putih dan berwarna dihadirkan sebagai sesuatu yang unik.
Ketiganya mempunyai persamaan dan perbedaan yang menarik untuk
dilihat. Ke-3 pelukis senior ini seakan-akan hendak memberikan
variasi baru dalam kegiatan rutin Ruang Pameran, di samping juga
mengingatkan bahwa dari hal-hal yang spontan dan sederhana dalam
sketsa harus ada perhatian yang lebih layak.
"Adakah sesuatu yang tak beres dalam dunia sketsa pelukis atau
senilukis Indonesia?" demikian Oesman Effendi bertanya.
Pertanyaan yang baik sekali untuk dijawab oleh sketsa-sketsa itu
sendiri.
Tak Terasa
Kita melihat dalam pameran bahwa sketsa-sketsa ditampilkan
sedemikian rupa sederhananya, sehingga lebih menyerupai sebagai
"persiapan" dari lukisan yang akan datang. Memang, mungkin
pelukisnya tetap hendak mengatakan bahwa sketsa kadangkala
memiliki dunia tersendiri yang berdiri sendiri, artinya setaraf
nilainya dengan lukisan biasa. Meski begitu, di pameran ini hal
itu tak terasa oleh kita. "Kesan-kesan dalam" tersebut rasanya
tak diperlakukan sebagai barang yang sudah selesai dengan bulat.
Meskipun sketsa-sketsa dari Rusli cukup menunjukkan penghormatan
dari pelukisnya sendiri terhadap karyanya itu.
Pada pelukis ini ada tercium sesuatu yang selesai dari "kesan
dalam"nya. Sementara pada Nashar kita melihat "kesan dalam"
tersebut bagaikan semacam proses pengamatan batin dan tanjakan
emosi yang sifatnya intuitif. Sementara pada Oesman Effendi kita
melihat kesan dalam tersebut seperti "analisa", yang kadangkala
menyerupai catatan-catatan kemungkinan terhadap sesuatu subjek,
entah "kota", "kapal" atau "bulan".
Tak kurang dari 62 buah sketsa hitam putih milik Nashar (lahir
di Pariaman 1928) menunjukkan perkembangan paling baru pelukis
yang terkenal ini. Kalau dahulu sumber lukisannya adalah bentuk
nyata dalam kehidupan, kini kita hanya melihat sisa-sisa bentuk
tersebut.
Sketsa Nashar telah membebaskan garis sebagai batas dari wadag.
Garis tersebut telah dibiarkannya hidup sebagai garis, menjadi
wadag itu sendiri, dalam hubungannya dengan kesan-kesan yang
diperoleh batinnya. "Kalau dalam pertunjukan bisa ditontonkan
sesuatu tanpa berdasarkan sebuah cerita, kenapa dalam lukisan
tidak bisa ditampilkan sesuatu bentuk-bentuk yang tertentu
sebagaimana yang sebelumnya saya lakukan?" kata Nashar
memberikan penjelasan apa yang sedang ditemuinya pada saat ini.
Kadangkala garis-garis tersebut menjadi ornamen, kadangkala
menyarankan bentuk-bentuk yang samar tetapi dramatik. Proses
peralihan ini rupanya masih gencar berlangsung sehingga
kesan-kesan dalam itu hampir semuanya memenuhi format kertas.
Dari segi ini skets Nashar terasa lebih menyerupai catatan
pribadi yang menunggu penuangan kembali ke atas kanvas yang
sebenarnya, untuk dikerjakan kembali sebagai lukisan yang
selesai dan bulat. Kendatipun pelukisnya seringkali sempat
menyodorkan beberapa buah sketsa yang memang mampu berdiri
sendiri dalam kesederhanaan hitam putih itu.
Wanita
Selanjutnya lebih dari 30 buah kesandalam Rusli (dalam format
yang rata-rata lebih besar) menunjukkan sesuatu yang lebih
selesai. Tak bedanya dengan lukisan-lukisan Rusli yang
bermaterial cat minyak di atas kanvas, sketsa Rusli juga
memiliki efisiensi yang amat memperhitungkan komposisi serta
kekuatan dari ruang kosong, untuk menampilkan suara-suara dari
sesuatu yang sunyi, dari garis-garis yang pelit, dari
sodokan-sodokan ujung kwas yang lihai.
Di sini kita melihat beberapa figur wanita, suasana rituil dan
kehidupan sehari-hari di Bali. Rusli telah menunjukkan bagaimana
dia sempat mempergunakan garis sebagai sesuatu yang cantik dan
sederhana dalam menampilkan beberapa segi kehidupan, sehingga
kita tak sempat lagi menuntut soal warna. Dengan hitam putih
garis-garisnya telah mampu berbicara menggantikan warna.
Sketsa-sketsanya yang berwarna, yang juga hadir dengan format
sangat kecil, lebih menunjukkan catatan emosi, yang merupakan
kesan-kesan spontan mungkin sekali masih menuntut kanvas yang
lain untuk penyelesaiannya lebih lanjut.
Kemudian sekitar 50 buah kesan dalam dari Oesman Effendi muncul
sebagai catatan analisa pelukisnya terhadap suasana kota. Kita
melihat gerak, tanggapan pribadi pelukis terhadap kehidupan kota
yang ribut yang hampir berubah menjadi rimba gedung dan
lalu-lintas.
Dalam selembar kertas kadangkala dihadirkan pula beberapa buah
kesan terhadap satu subjek dalam pandangan yang berbeda-beda.
"Ingat, sketsa tetap lontaran pertama atau pada tahap pertama
dari suatu pengungkapan yang berkesan pada pelukis", tulis O.E.
Dan ini memang tercermin dalam sketsa-sketsanya.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini